Irak sepeninggal Saddam Hussein adalah rangkaian bom bunuh diri yang menghantui pasukan koalisi Amerika Serikat, dan mayoritas Syiah yang melihat kesempatan tampil di ajang politik. Ya, Syiah di Irak adalah produk suatu perjalanan panjang. Di kota-kota Najaf, Kufah, dan Karbala, bisa kita saksikan satu peristiwa sejarah terus berdegup hidup: sebuah kesinambungan antara lampau dan kini.
Di pasar-pasar, rumah-rumah penduduk, dan tempat umum lain, terpajang simbol-simbol yang selalu mengingatkan kita akan dua martir besar: Ali bin Abi Thalib dan putranya, Hussein. Martirdom, pengorbanan, bukan hal yang mudah dilupa. Akhir tahun lalu, wartawan TEMPO Rommy Fibri, yang tengah meliput Irak, mampir ke tiga kota tua itu, dan kini menyampaikan hasil lawatannya untuk Anda.
Di depan makam Imam Ali di Najaf, Farid Jabbah, 55 tahun, meletakkan jenazah kakaknya. Tubuh sang kakak terbungkus kain putih dan terbujur kaku, tapi Farid mewakili si mati. Ia menyampaikan salam kepada sang Imam dan mengungkapkan niatnya berpamitan, sebelum pergi ke dunia lain.
Ya, sang kakak akan pergi jauh, tapi Imam Ali? Khalifah keempat yang wafat di tangan seorang ekstremis pada 661 ini tetap ”hidup”: melalui makamnya yang berbentuk e
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.