Mengenang 100 Tahun Maestro Asal Laweyan
SUATU senja. Di rumah pelukis Dullah. Sepi. Beberapa tahun menjelang kematiannya, sekitar 1993-an. Tatapan mata Dullah berfokus ke depan. Merenung. Khusyuk. Sesekali ia menggaruk ubun-ubunnya. Rambutnya saat itu menipis. Juga memutih. Empat kanvas bertengger di hadapannya.
Satu yang paling luas menampakkan sapuan paling lengkap. Ada sosok perempuan dengan rambut tergerai. Bermahkota. Anggun. Agung. Lumrahnya seorang ratu. Ia seakan-akan melayang
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini