TITIK api itu meletik dari satu noktah mungil di peta Prancis: Clichy-sous-Bois. Dari wilayah pinggiran Paris itu, lidah api menjalar ke 30 kota dan memantik geger besar selama tiga pekan. Anak negeri Prancis terhenyak menatap luka lama yang berdarah lagi setelah empat dekade. Pada 1968, imigran muslim Prancis merontak karena merasa dianaktirikan dari warga pribumi. Oktober lalu, tragedi serupa datang kembali. L’histoire se repete, sejarah pun berulang.Elizabeth D. Inandiak—seorang novelis, penulis skenario film, penerjemah Serat Centhini ke dalam bahasa Prancis—menyeruak ke jantung kehidupan para imigran muslim. Dia mengais kenangan masa kecilnya bersama mereka, membandingkannya dengan kerusuhan akbar 1968. Laporannya dituliskan kembali oleh wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Hanibal W.Y. Wijayanta, R. Fadjri, dan L.N. Idayanie.
AKU lahir di Kampung Arab, 46 tahun lalu, sebagai pribumi kulit putih. Masa kecilku tersimpan rapi di sebuah apartemen di atas apotek nenekku, di rue Montesquieu, Lyon, sebelah utara Paris. Kawasan itu tak jauh dari Place Dupont, alun-alun pusat kota yang penuh merpati. Jalanan di sana sempit, menjalar, dan suram. Pada sore hari tempat itu sesak dipenuhi imigran Aljazair. Mereka sekadar mengobrol atau menemani anaknya bermain. Karena itulah tempa
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.