Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kesenjangan psikotes

Nurhayati darubekti,31, dari ugm meneliti tentang kesenjangan budaya dalam psikotes. kendati normal, serba percaya psikotes adalah mentalitas budaya yang tidak sehat.

7 Desember 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Percaya pada psikotes adalah mentalitas budaya. Normal tapi tidak sehat. JANGAN putus asa kalau hasil psikotes Anda buruk. Mungkin perangkat untuk mengetes masih ada yang tidak mampu mengukur kapasitas Anda yang sebenarnya. Kesalahannya: perangkat ini dibuat dan diuji pada lingkungan kebudayaan yang lain dengan Anda. Akibatnya, timbul kesenjangan komunikasi antara Anda dan perangkat tes tadi. Pembelokan terjadi karena simbol-simbolnya tak sama. Karena subyek yang dites tak memahami pertanyaan tes, mana mungkin bisa didapatkan jawaban yang sebenarnya. Persoalan itu timbul karena semua perangkat tes yang digunakan di Indonesia kebanyakan dibuat di negara maju. Perangkat tes itu bisa dibeli di mana-mana oleh biro psikologi. Pembelokan sering terjadi karena perangkatnya yang digunakan sekadar diterjemahkan. Kesenjangan budaya dalam psikotes itu menjadi bahan penelitian Nurhayati Darubekti, 31 tahun, dalam membuat tesis pascasarjana. Dua pekan lalu psikolog ini resmi mendapat gelar sarjana utama dari Universitas Gadjah Mada, Yogya. Tesisnya dinyatakan menghasilkan kesimpulan berguna. Menurut Prof. Mulyani Martaniah yang membimbing Nurhayati, penelitian semacam itu memang sudah berulang kali dilakukan. Kesimpulannya senantiasa dimanfaatkan untuk menyusun penyesuaian perangkat tes yang diadaptasi ke kondisi budaya di sini. Perangkat tes di lembaga-lembaga terpercaya, menurut Mulyani, rata-rata sudah menjalani penyesuaian tersebut. Misalnya, dalam menerjemahkan coal. Bila kata itu diterjemahkan "batu bara", mungkin membingungkan subyek tes di sini. Penerjemahannya yang arif adalah "arang". Kebanyakan dampak kesenjangan budaya dalam psikotes merugikan subyek yang dites. "Akibatnya, si subyek mendapat skor rendah dan kualifikasinya dinilai rendah pula," kata Nurhayati. Padahal, kenyataannya hasil tes itu adalah pembelokan kenyataan akibat perangkat tes yang tidak memadai. Dalam penelitiannya, secara khusus ia menguji perangkat CFIT (Cultural-Fair Inteligence Test) Skala 3. Tes ini umumnya dipakai untuk mengukur tingkat kecerdasan siswa di sekolah menengah atas dan mahasiswa. CFIT adalah perangkat tes yang sudah diusahakan tidak berjarak dari kebudayaan manapun. Tes ini nyaris nonverbal, dan tidak minta jawaban berbentuk uraian. Tapi subyek yang dites diminta menyelesaikan berbagai permainan. "Perangkat ini dirancang untuk mereduksi sebanyak mungkin pengaruh kesenjangan budaya dan tingkat pendidikan," kata Nurhayati. Kendati CFIT sudah diusahakan punya aspek multibudaya, pada hasil tes tetap bisa ditemukan pembelokan. Secara khusus Nurhayati meneliti ketentuan lama mengerjakan tes tadi. Dari pengujian berulang-ulang ia menemukan bahwa lama pengerjaan tes perlu ditambah satu menit. Dalam ketentuan aslinya, tes ini mesti diselesaikan dalam 25 menit. Di Indonesia, jangka waktu itu seharusnya 26 menit. Sebelum menyimpulkan penambahan satu menit, Nurhayati menguji kembali penemuannya. Ia meneliti validitas dan reliabilitas (kesamaan bermakna pada hasil pengujian berulang-ulang) waktu 26 menit yang disimpulkannya. Penelitian Nurhayati melibatkan 3.000 siswa SLA, selama dua tahun. Perbedaan satu menit itu bisa berdampak fatal. Nurhayati mempercontohkan pengujian yang sama atas CFIT di Amerika Serikat -khususnya ketika tes ini diterapkan pada masyarakat kelas bawah. Penambahan waktu dalam pengerjaan tes itu membuat sekelompok subyek tes bisa mengerjakan berbagai soal. Tadinya mereka mendapat skor sangat rendah, karena mati langkah dalam menjalani tes. Dalam tesisnya, Nurhayati mengemukakan sejumlah aspek dalam tes yang dipengaruhi latar belakang budaya, di antaranya bahasa, motivasi, sikap terhadap tes, daya saing, kecepatan, kebiasaan, horison pengetahuan, dan keterampilan. Pengaruh budaya pada psikotes dalam beberapa tahun terakhir ini sudah diteliti di mana-mana. Dasarnya adalah keraguan pada pandangan sebelumnya yang mempercayai bahwa kelainan mental merupakan gejala universal. Ternyata, untuk mengetahui kelainan mental itu tentu diperlukan perhitungan latar belakang budaya. Peristiwa besar yang membalikkan pandangan lama terjadi pada 1986. Perangkat tes yang paling berpengaruh dalam menetapkan mental normal dan abnormal itu terbukti menunjukkan pembelokan. Perangkat yang tidak sahih karena mengikuti norma setengah abad lalu itu adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). MMPI yang disusun pada 1930 digunakan di 46 negara dan diterjemahkan dalam 115 bahasa itu juga dipakai di Indonesia. Yang patut menjadi kepedulian para psikolog adalah pembelokan psikotes yang menghasilkan kesimpulan "ada kelainan mental". Kesalahan ini mencemaskan, mengingat tambah luasnya psikotes diterapkan, seperti untuk menyeleksi lamaran dalam penerimaan pegawai, sekolah, atau pendidikan. Prof. Mulyani melihat perlunya peranan ISPI (Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia). Peran asosiasi bisa diartikan sebagai upaya bersama mengontrol penggunaan perangkat psikotes. Setiap psikolog yang terlibat kegiatan ini diharapkan punya tanggung jawab dan mengevaluasi perangkat tes yang dibelinya. Untuk melakukan pengujian memang diperlukan biaya. Dalam hal ini, Mulyani mengakui belum semua perangkat tes mengalami standardisasi. Selain psikolog, para pemimpin perusahaan yang memanfaatkan psikotes juga perlu berhati-hati. Laci Anda sangat mungkin menyimpan informasi yang salah. Serba percaya pada psikotes adalah mentalitas budaya -kendati normal -yang tidak sehat. Jim Supangkat (Jakarta), Moch. Faried Cahyono (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus