Beken itu bencana jika mental tak siap. Nasib Maradona sebagai komoditi yang salah tingkah. ORANG termasyhur ibarat menggendong macan lapar di pundaknya. Dan kebenaran peribahasa itulah kini yang menjadi nasib Diego Maradona, 31 tahun. Kampiun dunia di lapangan hijau ini menjadi pusat perhatian sejak belia dan meraih puncak ketenaran dalam usia muda, 21 tahun. Dia hampir tak pernah sempat menjadi dirinya sendiri. Itulah kesan Osvaldo Ardiles, pemain bola Argentina yang juga beken, yang diutarakannya 1983 dan dikutip Rob Hughes dalam kolomnya di The International Herald Tribune, 3 April lalu. Maradona, menurut Ardiles, telah menjadi komoditi, sehingga dari dia diharapkan sesuatu yang berlebih. "Ini tragedi," kata Ardiles. Jadi, sejak jauh hari ada kawan mengingatkan bala yang bakal menimpa. Namun, merasa sedang berkibar, Maradona tampaknya tak menghiraukan, atau tidak punya waktu lagi mendengar nasihat. Malang, memang: kariernya harus berkesudahan tragis. Baru saja ia diskors 15 bulan dari Federasi Sepak Bola Italia gara-gara pakai kokain, pengadilan Argentina mengancam hukuman 6 sampai 15 tahun penjara, karena bersama dua kawannya ia kedapatan memiliki setengah kilo kokain. Begitu banyak yang sudah dimiliki Maradona. Prestasi, kekayaan berlimpah, istri cantik, dan dua anak lucu hasil kumpul kebo sebelum menikah. Penghasilannya dari Napoli saja tiap tahun dua juta dolar AS. Belum jutaan dolar lainnya dari iklan. Apa lagi yang dicari Maradona? "Terus-menerus menjadi perhatian umum bisa merupakan tekanan dalam dirinya," kata John Syrer kepada Reuters. Menurut ahli psikologi olahraga Inggris itu, inilah yang menimbulkan stres, dan ia tak mampu cepat mengatasi. Atau seperti kata Psikolog Sartono Mukadis, Maradona sudah sampai pada kondisi yang tak boleh berbuat salah. Pada keadaan itu, tiap kesalahan kecil pun bisa fatal. Itu biasa dialami orang yang menjadi sorotan. "Ia mengalami derita orang-orang terkenal," kata Sartono. Perilaku serupa juga melanda Mike Tyson. Petinju kelas berat itu, misalnya, terlibat perkelahian di jalanan dan pertikaian dengan istrinya yang tergolong tak wajar. Sebelum semua kisruh itu memuncak Tyson mengaku menderita manic-depressive. Baik Tyson maupun Maradona kini terkenal dan bermandi harta. Mereka, yang tadinya dari keluarga miskin dengan lingkungan papa, seakan "terkejut badan" dalam kondisinya hari ini. Nama tenar serta bergudang uang bagai beban melebihi daya pikulnya. Maradona, yang sensitif, cemas akan kegagalan, takut hilang pamor, dan waswas jatuh miskin lagi. Sampai ia berniat bunuh diri. "Mereka jadi gamang," ujar Sartono. Sebab, perubahan status mencolok itu meski diraih dengan keringat, toh tanpa diikuti kematangan pribadi. Repotnya, kematangan pribadi bukan tumbuh begitu saja, tapi perlu kesadaran dan proses. Ini contoh. Anak bisa genius dan sukses belajar musik atau matematika ketika masih balita. "Tapi tak ada anak umur empat tahun yang genius dalam sosial, dan bisa menghayati etika-etika sosial," tambah Sartono. Ini bedanya dengan orang dewasa terkenal. Mereka jadi ge-er dan mengira bahwa masyarakat menuntut mereka selalu tampil dan berprestasi prima. Mungkin benar. Namun, ini membutuhkan keberanian tampil sebagai adanya diri yang sebenarnya. Tak sulit menunjuk contoh. Ingat kasus tragis Marlia Hardi? Ibu bijak lembut dalam serial TVRI itu mengejutkan penggemarnya: menggantung diri di kusen pintu rumahnya. Sebagai pemain tonil dengan honor ala kadarnya, sulit baginya melakonkan citra ibu ideal itu dalam hidup sehari-hari. Sebab, ekonomi pribadinya ternyata compang-camping dan dililit utang. Gamang jika urusan sampai ke polisi, "ibu baik hati" itu akhirnya memilih jalannya sendiri. "Nama baik saya tak bisa ditukar dengan uang 15 juta," kata Marlia kepada tetangga, semalam sebelum bunuh diri. Menurut Sartono, hanya orang yang punya kepribadian kuat yang bisa mengatasi problem menjadi orang terkenal. "Sulit untuk orang yang kepribadiannya tak ajek," ujar psikolog lulusan Universitas Indonesia ini. Mereka bisa menjadi gamang, sehingga tak mengenal dirinya sendiri. Dan yang jelas, mereka kehilangan kehidupan pribadi. Begitu jadi public figure, saat itulah privacynya hilang. Itu pula nasib Elvis Presley antara lain, karena tak tahan dilanda publikasi masalah pribadinya, sampai rumah tangganya berantakan. Bahkan suatu kali raja rock ini begitu saja membatalkan kontraknya ketika tubuhnya makin menggelembung. Dia sembunyi berminggu-minggu karena ogah tampil dalam potongan tubuh mirip ikan buntel. "Orang-orang yang jadi sorotan publik biasanya menjadi role taking," kata Sartono. Maksudnya, mereka berperan dengan anggapan perilaku begini atau begitu yang diharapkan orang dari dirinya. Malangnya, model peran yang dimainkannya itu bisa saja keliru. Seorang istri pejabat, misalnya, mungkin ia menyangkal kalau bicara sampai perlu menyelingi dengan bahasa asing, agar dikira hebat. Berpura-pura semacam itu sesungguhnya menyakitkan, sehingga dalam batinnya terjadi konflik. Akibatnya, ia menjadi neurotik. Jika kondisi itu terakumulasi, akhirnya menjurus kepada schizophrenia atau mengidap kepribadian yang terbelah. Kenyataan ini mengisyaratkan seandainya nama sedang menjulang -- sampai ada yang bilang congkak atau mabuk diri -- itulah waktunya berkonsultasi dengan ahli jiwa, agar tidak membuka peluang bagi sang macan tadi melahap tuannya sendiri. G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini