Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gelombang Gandrung Video Main

Video main adalah produk teknologi hiburan yang nyaris tak bisa dihindari. Barang ini bisa berdampak negatif atau positif terhadap anak.

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN anak-anak Indonesia di perkotaan kini lebih akrab dengan dunia mayantara daripada dengan tanah lapang, tempat rerumputan bisa tumbuh dan kaki-kaki kecil biasa bermain gobak sodor. Arif, siswa kelas empat Sekolah Dasar Bukitduri, Jakarta Timur, misalnya. Begitu bel tanda jam belajar purna berdentang, ia bergegas pulang ke rumah, yang letaknya berdekatan dengan sekolah, hanya untuk berganti baju. Dan semenit kemudian, wes-ewes-ewes, ia menghambur ke kios persewaan video main. Di tempat yang dipenuhi sejumlah anak itu, Arif bisa bermain sepak bola atau kebut-kebutan mobil—semuanya di layar mayantara.

Bermain dalam imajinasi dengan peralatan layar elektronik, misalnya dengan alat yang kini sangat populer bermerek Playstation, memang mengasyikkan. Apalagi jumlah pilihan menu permainan ratusan buah. Karena itu, tak jarang anak-anak yang kecanduan rekreasi di kios video main bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Tak mengherankan, ada banyak anak bau kencur yang bersaku bolong alias boros. Maklum, untuk menyewa video main, setiap anak dipungut biaya per jam Rp 2.000. Bila sehari bermain tujuh jam, sedikitnya mereka harus minta uang Rp 14 ribu kepada orang tuanya. Uang sebesar itu niscaya melebihi uang saku anak-anak kampung sehari-hari.

Tanpa disiplin dan pengertian yang baik menyangkut tips memanfaatkan video main, rekreasi di dunia mayantara itu niscaya bisa berdampak negatif. Misalnya, anak terpaksa mencuri, entah uang atau barang, untuk bisa bermain lebih sering. Itulah yang terjadi pada tujuh anak siswa sekolah dasar di Klaten, akhir Maret lalu. Kepolisian Resor Klaten menangkap anak-anak bau kencur itu karena mencuri peralatan instrumen gamelan. Dilego ke pasar loak, mereka berhasil meraup puluhan ribu rupiah. Kepada Kapten Polisi Budi Santoso, Kepala Satuan Reserse Polres Klaten, anak-anak itu mengaku mencuri peralatan gamelan agar bisa memperoleh uang tambahan untuk menyewa video main.

Memang, kegandrungan anak pada video main beberapa tahun belakangan ini bisa membuat pening para orang tua. Apalagi kios video makin merebak seperti jamur di musim hujan. Ia tak hanya muncul di pusat pertokoan, mal, atau plaza di kota-kota besar, tapi juga merangsek ke pelosok desa, misalnya ya di Klaten itu. Ada sebagian orang tua yang gelagapan menghadapi kenyataan itu dan gamang bersikap: membolehkan atau melarang anak? Ada yang berusaha melarangnya dengan cara tidak langsung. Warga Kampung Deresan di kawasan Gejayan, Yogya, misalnya, sepakat melarang usaha penyewaan video main di wilayahnya.

Apa sebetulnya video main? Video main, ambil contoh Playstation, adalah jenis permainan yang menggunakan teknologi audio-visual yang mampu menampilkan gambar tiga dimensi. Setiap program permainan disimpan di atas sebuah piring laser mini alias compact disk, berkekuatan 32 bit. Pertengahan Maret lalu, perusahaan Playstation mengeluarkan produk baru dengan kekuatan 128 bit, yang mampu menghasilkan gambar mendekati wujud nyata. Perangkat pemutarnya mirip CD player. Hanya, video main bersifat interaktif alias membutuhkan keterlibatan tangan manusia melalui panel berupa stik. Dalam bermain bola, misalnya, seorang anak melihat gambar layar, membayangkan diri menjadi pemain bola yang berada di lapangan, dan ikut menendang bola dengan cara menyentuh stik.

Bagaimana menyikapi gelombang hiburan video main? Menurut Dr. Seto Mulyadi, dosen psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta dan pemerhati pendidikan anak, video main sebagai produk teknologi hiburan adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Yang bisa dilakukan para orang tua adalah mengarahkan anak untuk menggunakan video main secara proporsional. "Sebagai alat, ia netral. Dampaknya bisa positif atau negatif, tergantung pada pemakainya," kata Seto.

Video main, menurut Seto, mengandung unsur positif, antara lain membuat anak berpikir abstrak, unggul mengatur strategi, dan mengetahui cara-cara memenangi persaingan. Tapi, juga ada dampak negatifnya, antara lain bisa membuat anak kurang peka lingkungan dan kurang bisa bergaul. "Itu kalau penggunaan video main berlebihan dan anak menjadi kecanduan," kata Seto. Atas dasar itu, Seto tidak sepakat dengan langkah para orang tua yang asal main larang anak bermain video. Para orang tua dituntut untuk bijak.

Kelik M. Nugroho, Adi Prasetya, L.N. Idayanie (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus