Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkembangan kasus Lippo sudah sampai pada titik tanpa ada jalan kembali. Semua celah untuk balik ke titik nol telah tertutup. Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung memang memastikan, setelah revaluasi aset yang dialihkan (AYDA), CAR Bank Lippo akan melonjak di atas 20 persen. Namun, itu tidak berarti skandal Lippo bisa dianggap tak pernah terjadi dan masalahnya lalu selesai. Sama sekali tidak begitu. Demikian pula ucapan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Herwidayatmo, yang menyebutkan bahwa dalam kisruh Lippo belum ada kerugian yang harus ditanggung negara. Dengan kata-kata bersayap seperti ini, hendaknya kita jangan terkecoh lalu menganggap bahwa persoalannya sudah tak perlu lagi diusut. Justru sebaliknya, aparat penegak hukum harus memastikan bahwa kisruh Lippo itu merupakan skandal besar yang wajib dibongkar sampai tuntas.
Dalam hal itu penegakan hukum perlu diprioritaskan, tak lain karena bisnis perbankan sangat mengandalkan kepercayaan. Pemerintah memang pemegang saham mayoritas di Bank Lippo. Namun, hal itu tidak banyak artinya bila masyarakat kehilangan kepercayaan pada bank tersebut. Tapi, untuk memulihkan kepercayaan, banyak hal mesti dikerjakan. Manipulasi pasar yang menyebabkan harga saham Bank Lippo merosot tajam tentu harus diurai dan dijernihkan. Rekayasa yang menyebabkan adanya laporan keuangan ganda juga mesti disingkap sampai ke akar masalah.
Apakah sesudah itu para pelakunya dijatuhi sanksi atau bahkan diadili, itu sangat bergantung pada temuan di lapangan. Pengusutan yang kini tengah dilakukan Bapepam sudah sangat tepat, apalagi bila didukung penuh oleh pihak kejaksaan.
Di sisi lain, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan ketegasannya terhadap para bankir pengurus Bank Lippo. Harapan ini tidak berlebihan karena Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, pun sudah menyetujui agar mereka dimasukkan dalam daftar orang tercela (DOT). Akan janggal sekali, misalnya, bila BI sebagai pengawas sektor perbankan bersikap lamban dan ragu-ragu. Dan lebih tak masuk akal jika BI menunjukkan pilih kasih atau memberi dispensasi. Katakanlah pemilik lama Bank Lippo (keluarga Riady) terindikasi bersalah, maka tanpa pilih kasih BI harus bertindak. Begitu pula terhadap para direktur dan komisaris yang menjadi perpanjangan tangan pemilik lama tersebut.
Tapi itu pun belum cukup. Dalam kasus Lippo, di mana saham pemerintah senilai Rp 6 triliun dipertaruhkan, tentu pihak BPPN dan para komisaris yang mewakili pemerintah di bank tersebut bagaimanapun tidak bisa lepas tangan. Mungkin selain mereka dimasukkan dalam DOT, bukan mustahil kalau ganjaran yang dijatuhkan pada mereka akan lebih berat. Soalnya, tanpa partisipasi orang-orang pemerintah, akan sulit bagi pemilik lama untuk merekayasa dan menggembosi saham Bank Lippo. Memang Grup Lippo terkenal lihai dalam soal rekayasa—menurut Kwik Kian Gie, Grup Lippo sudah menyukseskan empat rekayasa terhadap Bank Lippo. Justru karena itu, BPPN dan para komisaris semestinya lebih waspada. Jadi, bukannya merestui diam-diam untuk kemudian saling melempar tanggung jawab seperti yang banyak diberitakan selama tiga pekan terakhir ini.
Menyelamatkan Bank Lippo adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Tapi majalah ini juga berpendapat bahwa pengusutan skandal Bank Lippo dan proses pengadilan terhadap para pelakunya adalah bagian tak terpisahkan dari penyelamatan itu. Sekali saja Bapepam dan BI mengabaikan hukum, proses penyelamatan Bank Lippo bisa berantakan. Jadi, kita tunggu DOT dari BI yang secepatnya disusul keputusan Bapepam pada 17 Maret mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo