Apa Bahaya Sistem Kuota Impor Daging
Pemerintah memberlakukan kebijakan kuota impor. Memicu praktik kongkalikong dan suap.
KEPUTUSAN pemerintah menggunakan sistem kuota dalam penetapan alokasi impor daging merupakan langkah mundur. Alih-alih bisa memastikan keamanan pasokan dalam negeri, sistem tersebut akan kembali menjadi ajang praktik suap dan jual-beli kuota.
Kembalinya sistem kuota dalam penetapan alokasi impor daging itu diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas yang digelar Kementerian Koordinator Perekonomian pada pertengahan Desember 2023. Dalam notula rapat ditetapkan alokasi impor daging lembu pada 2024 sebesar 140.951 ton untuk 56 importir. Kebijakan tersebut menganulir aturan penghapusan sistem kuota impor daging yang berlaku sejak 2013.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keputusannya memberikan kuota impor kepada Perusahaan Umum Bulog dan PT Berdikari (Persero) masing-masing 100 ribu ton daging kerbau dari India dan 20 ribu ton daging kerbau dari Brasil. Selain itu, ID Food mendapat alokasi impor 7.000 ton daging sapi.
Pendistribusian kuota kepada importir tidak memiliki landasan yang kuat. Misalnya Bulog yang diketahui belum menyalurkan 50 ribu ton daging impor ke pasar tapi sudah mendapat kuota baru. Begitu juga Berdikari yang realisasi impornya tahun lalu hanya 0,03 persen tapi kembali beroleh jatah impor 100 ribu ton daging pada 2024.
Dalih pemerintah memberikan kuota impor yang jumlahnya di bawah kebutuhan dalam negeri untuk mendorong industri peternakan nasional pun mengada-ada. Sudah lama sektor peternakan sapi di Tanah Air tumbuh amat lambat karena rendahnya tingkat ketersediaan bibit unggul lokal dan produktivitas ternak serta sistem usaha yang tidak optimal. Konsekuensinya, pemenuhan pasokan dalam negeri sangat bergantung pada daging impor.
Saat ini angka kebutuhan daging nasional mencapai 2,6 kilogram per kapita dan hanya separuhnya yang bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sisanya harus diimpor dari sejumlah negara. Jika kuota impor tahun ini yang sebanyak 141 ribu ton dikalikan dengan harga daging Rp 140 ribu per kilogram, nilai bisnis yang akan diperebutkan para importir mencapai Rp 19,74 triliun.
Bisnis gurih dan uang besar ini yang kemudian kerap menjadi arena bermain para pemburu rente, pejabat korup, dan politikus kotor. Pada 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar praktik jual-beli kuota daging impor di Kementerian Pertanian yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan PT Indoguna Utama, perusahaan importir daging papan atas. Luthfi memanfaatkan kewenangan kader partainya yang menjadi Menteri Pertanian.
Kembalinya sistem kuota hampir pasti akan mengganggu rantai pasokan dalam negeri yang bisa memicu kenaikan harga daging. Dengan sistem tanpa kuota saja, para importir memerlukan waktu hampir satu tahun untuk mendapatkan persetujuan dan mendatangkan daging impor. Apalagi jika ditambah pengaturan kuota impor, rantai proses yang mesti dilalui importir bakal makin panjang dan berbelit.
Padahal Ramadan, yang selalu ditandai dengan lonjakan tinggi jumlah kebutuhan daging, sudah makin dekat. Bukan tak mungkin harga daging di pasar meroket melampaui harga eceran tertinggi Rp 130 ribu per kilogram. Langkah lancung melahirkan kembali kebijakan kuota yang pernah dilarang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) wajar menimbulkan kecurigaan: ada yang ingin menciptakan state capture corruption, korupsi yang dibukakan jalan oleh aturan.