Ugal-ugalan Memblokir Anggaran demi Bantuan Sosial
Keputusan pemerintah memblokir anggaran negara untuk alokasi bantuan sosial membahayakan. Sarat kepentingan elektoral.
LANGKAH pemerintah memblokir anggaran 2024 kementerian dan lembaga makin menunjukkan sikap ugal-ugalan Presiden Joko Widodo dalam mengelola keuangan negara. Tidak hanya merontokkan kredibilitas anggaran, tindakan tersebut juga bisa dipandang sebagai upaya mengangkangi peraturan perundang-undangan.
Kebijakan pemblokiran anggaran atau automatic adjustment tercantum dalam Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor S-1082/MK.02/2023 yang diteken pada 29 Desember 2023. Dalam surat tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta semua kementerian dan lembaga negara menyisihkan minimal 5 persen anggaran belanja mereka dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 demi mengumpulkan duit cadangan sebesar Rp 50,14 triliun. Alasannya, jika terjadi gejolak akibat kondisi geopolitik global, APBN siap menjadi bantalan guncangan yang muncul, seperti kenaikan harga pangan.
Program bantalan tersebut akan berbentuk penambahan bantuan sosial dan subsidi pupuk. Nyatanya, belum juga krisis terjadi, program-program bantalan yang lewah ini justru bakal segera digelontorkan kepada masyarakat, bahkan berdekatan dengan hari pencoblosan Pemilihan Umum 2024. Bau politisasi bansos pun kian menyengat, mengingat anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Pada APBN 2024, sebetulnya besaran anggaran perlindungan sosial sudah mencapai Rp 496 triliun, naik Rp 20 triliun dari anggaran 2023. Dengan adanya bansos tambahan, Sri Mulyani harus mencari duit Rp 11,25 triliun untuk menambal program itu.
Penambahan subsidi pupuk dengan kebutuhan sebesar Rp 14 triliun juga dilakukan ketika tata kelolanya masih amburadul. Tahun lalu saja, dari realisasi anggaran subsidi pupuk yang mencapai Rp 42,1 triliun, pemerintah hanya mampu menyalurkan 6,1 juta ton pupuk murah. Padahal kebutuhannya mencapai 10,7 juta ton. Hampir 40 persen dari realisasi itu malah digunakan untuk menutup kurang bayar kepada PT Pupuk Indonesia.
Kebijakan automatic adjustment terasa makin ngawur karena Sri Mulyani dalam surat edarannya menyatakan beberapa pos dikecualikan dari pemblokiran. Salah satunya belanja untuk pembangunan ibu kota negara Nusantara yang jelas-jelas bukan proyek mendesak dan malah membebani keuangan negara. Justru gara-gara automatic adjustment banyak program yang lebih penting terancam terbengkalai.
Seharusnya, sejak Jokowi menyatakan pandemi Covid-19 berakhir pada Juni 2023, pemerintah segera mengembalikan aturan pengelolaan anggaran seperti kondisi sebelum masa pandemi. Mekanisme perubahan APBN harus transparan dan tertib: melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat dan melalui sidang paripurna.
Dengan sengaja mempertahankan skenario pengelolaan anggaran seperti pada masa pagebluk, tatkala skema automatic adjustment ini berlaku, Jokowi patut dicurigai sedang mengakali undang-undang. Jokowi dan kroni berikutnya bisa dengan sesuka hati mencaplok anggaran untuk program-program yang tak menguntungkan rakyat, seperti subsidi kendaraan listrik.
Sekali lagi, Jokowi menunjukkan bahwa ia memang pantas mendapat julukan man of contradictions alias manusia penuh kontradiksi. Bagaimana tidak, empat bulan sebelum surat edaran automatic adjustment itu keluar, Jokowi sendiri yang mengingatkan Sri Mulyani agar menjaga anggaran negara.
Baca liputannya:
Adapun Sri Mulyani, sebagai bendahara negara yang pernah mendapat gelar salah satu menteri keuangan terbaik di dunia, seharusnya berani menolak aneka keinginan Jokowi. Apalagi dia belakangan ini rutin mengingatkan anak buahnya agar menjaga profesionalisme dan integritas.
Dengan terus menuruti kemauan tak masuk akal Jokowi, Sri Mulyani tak hanya sedang mempertaruhkan kredibilitasnya, tapi juga menyabung stabilitas fiskal negara.