Untuk Apa Menteri Perdagangan Longgarkan Impor Batik
Menteri Perdagangan menerbitkan aturan baru yang melonggarkan impor batik. Keberlangsungan usaha perajin batik tradisional terancam.
KEPUTUSAN pemerintah menerbitkan regulasi yang melonggarkan impor batik berpotensi menggerus keberlangsungan usaha pelaku industri batik dalam negeri. Bukannya mendorong keberlanjutan bisnis penghasil produk warisan budaya nasional itu, kebijakan impor tersebut bakal membunuh pelaku industri, terutama perajin batik tradisional.
Pelonggaran impor batik tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Lampiran aturan itu mengecualikan produk tekstil batik untuk keperluan instansi pemerintah dan kepentingan umum dari daftar barang yang dibatasi impornya. Dengan kata lain, tak ada pembatasan impor tekstil batik untuk keperluan instansi pemerintah dan kepentingan umum.
Aturan itu juga hanya mempersyaratkan surat keterangan dari direktur jenderal atas nama menteri, surat perintah atau kontrak dari instansi pemerintah, dan surat keterangan penggunaan barang sebagai bekal bagi importir yang akan mendatangkan batik dari luar negeri.
Ketentuan tersebut berbeda dengan regulasi lama, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86 Tahun 2015 tentang impor batik, yang masih mencantumkan pasal tentang pembatasan impor. Importirnya pun harus memenuhi syarat berupa kepemilikan angka pengenal importir umum dan angka pengenal importir produsen. Impor batik juga harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Tapi kini importir hanya perlu mengantongi katebelece dari lembaga pemerintah yang memberi tugas pengadaan. Mekanisme semacam ini, selain rawan kolusi dan korupsi, memuluskan masuknya batik impor dengan kedok memenuhi kebutuhan pemerintah. Hal ini juga menunjukkan tak ada niat pembuat kebijakan memprioritaskan batik buatan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan instansi pemerintah.
Aturan baru ini memperparah persoalan yang dihadapi pelaku industri tekstil lokal, khususnya produsen batik yang sudah bertahun-tahun digempur produk impor. Setiap tahun, batik impor yang mayoritas berasal dari Cina membanjiri pasar. Derasnya arus barang asing tergambar dalam data Kementerian Perindustrian dan Badan Pusat Statistik yang menyebutkan nilai impor produk batik pada 2020-2021 meningkat dari US$ 88,04 juta (Rp 1,38 triliun) menjadi US$ 112,14 juta (Rp 1,76 triliun).
Yang lebih membuat miris, batik impor yang motifnya meniru desain lokal ini dijual dengan harga lebih murah. Sebagai gambaran, baju batik impor yang dijual secara grosir di beberapa pusat perkulakan dihargai Rp 40-50 ribu per potong atau separuh harga produk lokal dengan kualitas serupa. Produsen batik lokal pun merugi dua kali. Sudah rancangannya ditiru, pasarnya direbut. Belum lagi jika memperhitungkan barang impor ilegal, kian hancurlah lapak batik lokal jika tak ada perlindungan pemerintah.
Karena itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan harus segera meninjau ulang aturan ini. Regulasi ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo mengutamakan produk lokal dalam pemenuhan kebutuhan barang dan jasa lembaga pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mendorong daya saing pelaku industri batik agar siap menghadapi pasar yang makin liberal. Caranya, memberikan insentif dan dukungan agar industri batik lokal kian efisien sehingga harga jual dan kualitasnya dapat menandingi produk asing.