Stop Intimidasi terhadap Aktivis dan Masyarakat Sipil
Serangkaian intimidasi ditujukan kepada mereka yang kritis terhadap pemerintah. Kegiatan berkesenian pun terkena sensor.
INTIMIDASI terhadap masyarakat sipil makin parah menjelang pemilihan umum. Mahasiswa dan aktivis yang kritis terhadap pemerintah ditekan. Parahnya, pemerintah berpura-pura seolah-olah situasi sedang baik-baik saja. Presiden Joko Widodo pun mengklaim pemerintahannya tidak membatasi kebebasan berpendapat.
Korban intimidasi itu antara lain Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM UGM) Gielbran Muhammad Noor. Setelah organisasi yang dipimpinnya menggelar mimbar bebas serta memasang baliho besar dengan tulisan “Jokowi Alumnus Paling Memalukan” di Bundaran UGM pada 8 Desember 2023, rentetan serangan diarahkan kepadanya. Sejumlah orang yang diduga intel mendatangi kampus UGM di Yogyakarta dan mengorek informasi tentang Gielbran. Data pribadi dan keluarganya pun kemudian dibeberkan di media sosial.
Gielbran menambah panjang daftar korban represi terhadap masyarakat sipil. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat terjadinya 107 peristiwa serangan dan ancaman terhadap praktik kebebasan sipil dalam kurun Desember 2022-November 2023. Bentuk serangan ataupun ancaman terbesar berupa pembubaran paksa kegiatan sebanyak 41 peristiwa, intimidasi 37 kasus, dan penangkapan sewenang-wenang 35 kejadian. Sebagai catatan, dalam satu peristiwa bisa terjadi lebih dari satu pelanggaran terhadap praktik kebebasan sipil. Akibat serangan-serangan tersebut, 73 orang terluka, 1 orang tewas, dan 622 orang ditangkap secara sewenang-wenang.
Jumlah intimidasi terhadap masyarakat sipil bisa jadi lebih besar dari yang ditemukan Kontras. Sebab, tidak semua serangan terhadap aktivis terlaporkan ataupun terekam media, baik nasional maupun lokal.
Tingginya tingkat serangan dan ancaman terhadap masyarakat sipil menjadi indikator menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Padahal, di tengah lembaga yudikatif dan legislatif yang dengan mudah dikooptasi kepentingan penguasa, satu-satunya harapan untuk mengontrol pemerintah adalah masyarakat sipil. Jangan sampai negara ini jatuh pada otoritarianisme dengan tidak berfungsinya kontrol terhadap kekuasaan.
Kontrol yang dilakukan pegiat demokrasi, seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, terhadap pemerintah direpresi dengan kriminalisasi. Adapun media dan jurnalis mengalami kekerasan ketika mengawasi praktik lancung kekuasaan. Mahasiswa yang mengkritik pemerintah, seperti Gielbran dan Ketua BEM Universitas Indonesia Melki Sedek Huang, pun diintimidasi aparat. Sedangkan aktivitas seni yang kritis belakangan ini kerap menjadi obyek sensor dan pembatasan. Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi dilindungi konstitusi.
Jika serangan dan ancaman terus berlanjut, tinggal menunggu waktu saja Indonesia mengalami penutupan ruang gerak masyarakat sipil. Kondisi tersebut ditandai dengan hilangnya kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai dan berserikat, serta jaminan keamanan bagi mereka yang punya pendapat berbeda dengan penguasa.
Alih-alih menghentikan tindakan aparatnya, Jokowi menutup mata atas serangkaian ancaman terhadap hak mendasar masyarakat itu. Ia mengklaim pemerintahannya tak membatasi kebebasan berpendapat. Penyangkalan ini menandai ketidakpedulian rezim terhadap hal-hal substansial dalam kehidupan berdemokrasi.