2023: Tahun Politik yang Mengerikan
Pemerintahan Jokowi membunuh demokrasi dengan cara yang demokratis.
TAHUN 2023 menjadi tahun mengerikan (annus horribilis) dalam sejarah politik Indonesia setelah reformasi. Seorang presiden memakai segala cara untuk terus berkuasa: dari rencana menunda pemilihan umum, upaya memperpanjang masa jabatan, hingga merekayasa hukum untuk membuka jalan bagi anaknya agar bisa ikut pemilu. Hasrat berkuasa itu ditopang oleh para hakim dan politikus oportunis yang hanya mengejar kuasa.
Sebagaimana terlihat dari kaleidoskop edisi khusus akhir tahun ini, peristiwa-peristiwa pada 2023 menunjukkan ancaman nyata terhadap demokrasi. Otoritarianisme datang kembali dengan bungkus demokrasi dan dilegitimasi oleh suara mayoritas. Otoritarianisme elektoral dalam pengertian Andreas Schedler, ahli politik Central European University, itulah yang hari-hari ini sedang terjadi di Indonesia.
Pemilu dan partai-partai menjadi syarat prosedural demokrasi belaka. Pemilu tidak menjadi mekanisme untuk menyaring pemimpin dan membatasi kekuasaan. Otokrasi jenis baru ini menghilangkan elemen penting konstitusionalisme demokratis: supremasi hukum, akuntabilitas politik, integritas birokrasi, dan musyawarah publik.
Semua ciri itu ada di sepanjang periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia menekuk konstitusi yang membatasi kekuasaan dan mengakumulasikan kekuatan politik atas nama koalisi. Ia mengokupasi birokrasi agar membebek pada kepentingan politik dan mengabaikan suara orang banyak dalam membuat kebijakan. Pemerintahan Jokowi membunuh demokrasi dengan cara yang demokratis.
Seperempat abad reformasi tampaknya tak membebaskan publik dari pemimpin seperti Jokowi. Reformasi 1998 hanya melahirkan tokoh dan menyuburkan kultus individu tapi melupakan pendidikan politik—mekanisme yang dapat menjaga akal sehat dan kritisisme orang ramai.
Otoritarianisme elektoral disokong pula oleh populisme politik. Masyarakat dibuai—untuk tidak mengatakan dimanipulasi—oleh pencitraan dan kebijakan sesaat seperti bagi-bagi sembako. Di tengah kesulitan ekonomi dan menyempitnya ruang masyarakat sipil, publik dipaksa bersikap pragmatis dan “menerima” pemimpin yang populis.
Partai politik terjebak dalam pragmatisme yang sama. Menghalangi lahirnya pemimpin baru lewat penetapan ambang batas calon presiden (presidential threshold) yang ketat, mereka mengecilkan dirinya semata sebagai tukang pungut suara. Koalisi antarpartai dibangun hanya untuk menyelamatkan diri sendiri—tanpa pertimbangan kesamaan gagasan apalagi ideologi.
Partai mengasosiasikan diri dengan sosok calon presiden yang diunggulkan lembaga survei. Strategi ini dianggap mujarab untuk meningkatkan perolehan suara partai dalam pemilihan calon anggota legislatif—sesuatu yang dikenal sebagai efek ekor jas. Semua partai melakukan strategi itu, tak terkecuali Partai Solidaritas Indonesia—partai muda yang kami soroti dalam liputan khusus kali ini.
Didirikan sembilan tahun lalu, PSI adalah partai yang sungsang sejak dari gagasan. Bersama pemodal partai ini dibangun dan dibesarkan untuk kemudian dijual kepada “investor” laksana bisnis rintisan. Meski menyematkan nama “solidaritas” dan logo mawar merah—lambang solidaritas buruh di Amerika Serikat pada 1886 dan sosialisme demokrat di Eropa—PSI tak punya gagasan selain bagaimana meningkatkan “valuasi” partai agar meningkatkan keuntungan bagi investor awal.
Tak mengherankan jika PSI yang dulu menolak politik dinasti kini bersekutu dengan Jokowi. Partai yang pada 2019 mengecam Prabowo Subianto sebagai tokoh dengan masa lalu yang kelam, kini berada di barisan calon presiden Partai Gerindra ini.
Prinsip “asal perut kenyang” itu juga dipraktikkan para aktivis 1998, mozaik lain dalam pragmatisme politik setelah reformasi. Mereka yang diculik dan disiksa karena menginginkan kembalinya demokrasi kini satu gerbong dengan Prabowo Subianto.
Maka siapa pun pemenang Pemilu 2024, para kera demokrasi akan tanpa malu berlompatan dari satu pohon kekuasaan ke pohon kekuasaan lain. Sampai titik ini kita mesti bersiap: 2024 dan setelahnya menjadi annus horribilis yang lebih mencekam sekaligus memuakkan.