Busuk KPK Tak Sekadar di Kepala
Sepeninggal Firli Bahuri, Komisi Pemberantasan Korupsi masih berjalan mundur mendekati kuburannya. Perlu pembenahan radikal.
AMSAL ikan busuk mulai dari kepala tidak cukup lagi untuk menggambarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Kondisinya jauh lebih buruk. Komisi antikorupsi sudah busuk di sekujur tubuh, bahkan hingga ke organ dalamnya. Hanya pembenahan radikal yang bisa mengembalikan muruah lembaga yang pernah ditakuti para koruptor itu.
Gelagat buruk terbaru, KPK berencana menunda penyelidikan dan penyidikan kasus yang berhubungan dengan peserta pemilihan umum hingga Februari 2024. Rencana yang diusulkan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron itu menunjukkan KPK makin jauh dari semangat pemberantasan korupsi.
KPK tak hanya membebek pada langkah Kejaksaan Agung yang lebih dulu menyetop sementara penanganan kasus yang melibatkan peserta Pemilu. Kentara betul bahwa pimpinan KPK saat ini menempatkan urusan pemberantasan korupsi di bawah kepentingan politik.
Dalih pimpinan KPK yang sebangun dengan alasan kejaksaan, bahwa pengusutan kasus korupsi peserta pemilu bisa menimbulkan “kegaduhan”, sungguh sesat dan menyesatkan. Semestinya, menjelang pemilu, penegak hukum justru bekerja lebih keras untuk memastikan tak ada koruptor yang lolos dan mengikuti kontestasi demokrasi.
Kuat indikasi hajatan pemilihan umum akan menjadi kesempatan bagi pimpinan KPK untuk “bermain mata” dengan para tersangka korupsi. Majalah ini, misalnya, mendapat informasi bahwa KPK menunda penyidikan kasus suap yang menyeret Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej.
Eddy, profesor hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bukanlah calon anggota legislatif. Dia juga tidak sedang bersiap menjadi calon kepala daerah. Tim penyidik KPK sebelumnya hendak menahan Eddy pada 15 Desember 2023. Penyidik pun sudah menyiapkan semua dokumen rencana penahanan itu. Yang amat mencurigakan, dokumen tersebut justru raib di meja pimpinan KPK.
Informasi terbaru dari berbagai sumber juga menyebutkan KPK menunda penyidikan kasus korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan. Kasus ini diduga melibatkan sejumlah orang penting di lingkaran penegak hukum dan Istana Kepresidenan.
Jika ditarik mundur, busuknya KPK hingga hari ini tak terlepas dari revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada 2019. Meski ditentang keras masyarakat dan pegiat antikorupsi, pada saat itu pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat mengubah KPK dari lembaga independen menjadi subordinat presiden. Sejak saat itu, KPK amat rentan terhadap intervensi kekuasaan.
Setelah pencopotan Ketua KPK Firli Bahuri pada 24 November 2023, mungkin ada yang sempat berharap komisi antirasuah akan kembali ke jalan lurus. Maklum, selama ini Firli menjadi biang kemerosotan kinerja dan wibawa KPK. Tapi harapan itu jauh panggang dari api. Kenyataannya, sepeninggal Firli yang menjadi tersangka kasus suap, KPK terus berjalan mundur mendekati lubang kuburannya.
Tanpa perbaikan mendasar, KPK mustahil akan kembali menjadi lembaga berwibawa dan memberi harapan dalam pemberantasan korupsi. Kalau masih mau diselamatkan, posisi KPK harus dikembalikan seperti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Kuncinya, kembalikan KPK sebagai lembaga independen yang tidak bisa diintervensi kekuasaan eksekutif ataupun legislatif.