Bagaimana Seharusnya Menangani Pengungsi Rohingya
Pemerintah Indonesia tak boleh bersikap hipokrit dan lepas tangan dari urusan pengungsi Rohingya. Demi kemanusiaan.
TAK ada gunanya menyalahkan sebagian warga Aceh yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya. Yang pantas dipersoalkan justru kegamangan pemerintah Indonesia dalam menangani “manusia perahu” yang datang bergelombang itu.
Dalam sebulan terakhir, lebih dari 800 pengungsi Rohingya terdampar di sejumlah pantai di wilayah Aceh. Mereka terusir dalam status tanpa kewarganegaraan karena junta militer Myanmar tak mau mengakui eksistensi mereka. Sebelum gelombang terakhir, pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh sudah lebih dari 1.500 orang.
Selama ini, warga Aceh dikenal “ramah” terhadap pengungsi. Ketika negara lain menolak imigran Rohingya, warga Aceh menerima mereka. Di Aceh berlaku hukum adat Panglima Laot, yang mewajibkan semua nelayan membantu setiap orang yang terancam nyawanya di laut. Solidaritas warga Aceh pun tak terlepas dari pengalaman pahit mereka diguncang bencana dan konflik berkepanjangan.
Penolakan warga Aceh belakangan tak akan terjadi bila pemerintah sigap menangani pengungsi Rohingya. Masalahnya, pemerintah malah lepas tangan. Ketika rombongan Rohingya terdampar di Kabupaten Pidie, Aceh, November 2023, Kementerian Luar Negeri menyatakan Indonesia bukan pihak dari Konvensi Pengungsi 1951 sehingga tak punya kewajiban menampung pengungsi.
Sikap pemerintah itu bertentangan dengan status Indonesia sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah seharusnya tidak bersikap hipokrit: getol mengecam pelanggaran HAM nun jauh di negara lain, tapi mengabaikan nasib pengungsi Rohingya di pelupuk mata.
Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Namun Indonesia terikat prinsip non-refoulement, yang melarang suatu negara mengembalikan pengungsi ke negara asal atau melepas mereka dalam kondisi yang bisa membahayakan keselamatan. Prinsip tersebut antara lain ditegaskan dalam Konvensi Anti-Penyiksaan serta Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik yang telah kita ratifikasi.
Pemerintah tak boleh berpangku tangan dan berharap penduduk lokal berinisiatif membantu pengungsi, seperti yang terjadi di Pidie, Bireuen, Aceh Timur, Sabang, dan Aceh Besar. Bagaimanapun kemampuan penduduk lokal sangat terbatas. Lama-lama cadangan kesabaran mereka pun bisa tandas.
Indonesia sebetulnya memiliki Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan itu menyebutkan penanganan pengungsi dilakukan lewat kerja sama pemerintah pusat, Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), dan organisasi internasional. Namun Peraturan Presiden Nomor 125 tak berjalan efektif. Selain belum punya aturan teknis, substansi peraturan itu bermasalah. Pasal 24, misalnya, memberatkan pemerintah daerah yang harus menyediakan tempat penampungan. Padahal pemerintah daerah tak memiliki anggaran khusus untuk pengungsi.
Baca liputannya:
Menolong pengungsi sejatinya kewajiban kemanusiaan, bukan soal ada-tidaknya aturan atau anggaran. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya lebih gigih melakukan upaya diplomatis. Bersama negara lain yang peduli terhadap hak asasi, Indonesia perlu lebih gencar menekan Myanmar agar mengakui eksistensi Rohingya.
Bersama badan UNHCR dan lembaga lain, Indonesia pun hendaknya giat melobi negara tujuan pengungsi agar mau menerima orang Rohingya. Hanya dengan begitu manusia-manusia perahu yang terbuang itu bisa diselamatkan.