maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Bagaimana Seharusnya Menangani Pengungsi Rohingya

Pemerintah Indonesia tak boleh bersikap hipokrit dan lepas tangan dari urusan pengungsi Rohingya. Demi kemanusiaan.

arsip tempo : 171503813882.

Hipokrisi Indonesia dalam Urusan Rohingya. tempo : 171503813882.

TAK ada gunanya menyalahkan sebagian warga Aceh yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya. Yang pantas dipersoalkan justru kegamangan pemerintah Indonesia dalam menangani “manusia perahu” yang datang bergelombang itu.

Dalam sebulan terakhir, lebih dari 800 pengungsi Rohingya terdampar di sejumlah pantai di wilayah Aceh. Mereka terusir dalam status tanpa kewarganegaraan karena junta militer Myanmar tak mau mengakui eksistensi mereka. Sebelum gelombang terakhir, pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh sudah lebih dari 1.500 orang.

Selama ini, warga Aceh dikenal “ramah” terhadap pengungsi. Ketika negara lain menolak imigran Rohingya, warga Aceh menerima mereka. Di Aceh berlaku hukum adat Panglima Laot, yang mewajibkan semua nelayan membantu setiap orang yang terancam nyawanya di laut. Solidaritas warga Aceh pun tak terlepas dari pengalaman pahit mereka diguncang bencana dan konflik berkepanjangan.

Penolakan warga Aceh belakangan tak akan terjadi bila pemerintah sigap menangani pengungsi Rohingya. Masalahnya, pemerintah malah lepas tangan. Ketika rombongan Rohingya terdampar di Kabupaten Pidie, Aceh, November 2023, Kementerian Luar Negeri menyatakan Indonesia bukan pihak dari Konvensi Pengungsi 1951 sehingga tak punya kewajiban menampung pengungsi.

Sikap pemerintah itu bertentangan dengan status Indonesia sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah seharusnya tidak bersikap hipokrit: getol mengecam pelanggaran HAM nun jauh di negara lain, tapi mengabaikan nasib pengungsi Rohingya di pelupuk mata.

Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Namun Indonesia terikat prinsip non-refoulement, yang melarang suatu negara mengembalikan pengungsi ke negara asal atau melepas mereka dalam kondisi yang bisa membahayakan keselamatan. Prinsip tersebut antara lain ditegaskan dalam Konvensi Anti-Penyiksaan serta Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik yang telah kita ratifikasi.

Pemerintah tak boleh berpangku tangan dan berharap penduduk lokal berinisiatif membantu pengungsi, seperti yang terjadi di Pidie, Bireuen, Aceh Timur, Sabang, dan Aceh Besar. Bagaimanapun kemampuan penduduk lokal sangat terbatas. Lama-lama cadangan kesabaran mereka pun bisa tandas.

Indonesia sebetulnya memiliki Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan itu menyebutkan penanganan pengungsi dilakukan lewat kerja sama pemerintah pusat, Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), dan organisasi internasional. Namun Peraturan Presiden Nomor 125 tak berjalan efektif. Selain belum punya aturan teknis, substansi peraturan itu bermasalah. Pasal 24, misalnya, memberatkan pemerintah daerah yang harus menyediakan tempat penampungan. Padahal pemerintah daerah tak memiliki anggaran khusus untuk pengungsi.

Menolong pengungsi sejatinya kewajiban kemanusiaan, bukan soal ada-tidaknya aturan atau anggaran. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya lebih gigih melakukan upaya diplomatis. Bersama negara lain yang peduli terhadap hak asasi, Indonesia perlu lebih gencar menekan Myanmar agar mengakui eksistensi Rohingya.

Bersama badan UNHCR dan lembaga lain, Indonesia pun hendaknya giat melobi negara tujuan pengungsi agar mau menerima orang Rohingya. Hanya dengan begitu manusia-manusia perahu yang terbuang itu bisa diselamatkan.

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hipokrisi Indonesia dalam Urusan Rohingya"

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 28 April 2024

  • 21 April 2024

  • 14 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan