Ancaman Konflik Horizontal dari Bitung
Konflik Bitung tak boleh meluas. Menjelang Pemilu 2024, konflik horizontal berisiko meletus.
KONFLIK berdarah yang terjadi antara organisasi kemasyarakatan Makatana Minahasa dan kelompok Islam di Kota Bitung, Sulawesi Utara, bisa menjadi bara dalam sekam. Meskipun bisa segera diredam, ontran-ontran akibat perbedaan sikap atas konflik Israel-Palestina itu telah menimbulkan ketegangan yang merembet ke daerah lain di sekitarnya. Polisi harus memastikan tak ada lagi konflik serupa, apalagi jika sampai kejadian ini ditunggangi kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum 2024.
Keributan antara anggota Makatana Minahasa, ormas kesukuan kristiani, dan kelompok Islam yang menamakan diri Barisan Solidaritas Muslim terjadi pada Sabtu, 25 November lalu. Organisasi Makatana yang menggelar pawai peringatan ulang tahun—juga dihadiri ormas lain seperti Pasukan Manguni Makasiouw—bentrok dengan BSM yang mengadakan aksi bela Palestina. Satu anggota Makatana tewas akibat gesekan tersebut.
Polisi serta Pemerintah Kota Bitung dan sekitarnya perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya bentrokan serupa. Meskipun sejumlah tokoh masyarakat di Bitung telah mendeklarasikan perdamaian empat hari setelah keributan, api konflik belum sepenuhnya padam. Di media sosial, anggota ormas dan pendukungnya masih menyebarkan ancaman pembalasan. Sempat muncul rencana pengerahan kelompok jihad ke Bitung. Ketegangan juga menjalar hingga Minahasa Utara dan Manado.
Risiko terjadinya bentrokan jelas tak bisa dianggap remeh. Berbagai kelompok yang terlibat dalam konfrontasi di Bitung memiliki sejarah rivalitas dalam konflik di Poso. Barisan Solidaritas Muslim disinyalir beranggota sejumlah kelompok kombatan yang pernah bertempur di Poso. Pasukan Manguni pun ditengarai ikut angkat senjata dalam konflik penuh darah di kabupaten di Sulawesi Tengah itu.
Sejarah mencatat, konflik berbau agama atau etnis di negeri ini tak pernah mudah diredakan. Konflik Poso antara kelompok Kristen dan Islam terjadi sekitar tiga tahun lamanya, dari 1998 hingga 2001. Adapun konflik Ambon di Provinsi Maluku terjadi pada awal 1999 hingga 2002. Setelah muncul perdamaian di antara pihak yang berseteru, pertikaian itu masih menyisakan dendam dan trauma berkepanjangan.
Perpecahan seperti yang terjadi di Poso dan Ambon tak sulit disulut. Apalagi jika berbagai kekuatan seperti tentara ataupun elite politik lokal dan nasional menunggangi kelompok yang mudah terbakar isu. Hoaks yang membanjiri media sosial bisa lebih mudah menjangkau berbagai kelompok vigilante yang, karena dendam masa lalu atau memiliki toleransi rendah, memiliki hasrat bertempur tinggi.
Potensi konflik kian besar menjelang Pemilu 2024. Seperti pada Pemilu 2014 dan 2019, hampir semua calon yang berlaga memainkan politik identitas yang menimbulkan perpecahan. Gaya politik yang juga muncul dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 itu menyertakan gerombolan intoleran yang tak segan memusuhi kelompok lain. Mereka juga bisa membonceng isu yang tak relevan dalam konteks politik dalam negeri Indonesia, seperti konflik Israel-Palestina.
Baca liputannya:
Tanpa tingkat kewaspadaan yang tinggi dari kepolisian, bibit perpecahan bakal berjebah. Polisi, kepala daerah, dan elite partai sebaiknya tak main-main atau memanfaatkan ancaman tersebut. Konflik horizontal yang terlalu mahal harganya untuk bangsa ini tak boleh lagi terjadi dan harus dicegah sedini mungkin.