Apa yang Keliru dari Larangan Transaksi Online TikTok Shop
Pemerintah salah alamat melarang transaksi di social commerce. Perlu kajian mendalam akar persoalan.
KEPUTUSAN pemerintah melarang penjualan produk retail di social commerce seperti TikTok Shop keliru dan terkesan reaktif. Sebelum menerbitkan larangan itu, pemerintah semestinya membuat kajian untuk mengetahui penyebab anjloknya transaksi produk retail di toko-toko dan pasar konvensional.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Regulasi baru—yang merupakan revisi atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020—itu mengizinkan platform media sosial mempromosikan barang atau jasa, tapi tidak boleh menyediakan fasilitas pembayaran dan transaksi jual-beli.
Aturan tersebut terbit antara lain untuk merespons penjualan online produk retail melalui platform media sosial seperti TikTok Shop yang kian masif. Pemerintah mengendus gelagat praktik “jual rugi” alias predatory pricing yang merugikan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal.
Praktik predatory pricing memang tidak boleh dibiarkan. Pelakunya menjual barang atau jasa dengan harga sangat rendah untuk menyingkirkan pesaing dari pasar yang sama. Setelah berhasil mengusir pesaing atau menunda masuknya pesaing baru, pelaku predatory pricing biasanya menaikkan harga demi memaksimalkan keuntungan. Pada akhirnya konsumen pula yang menanggung beban karena tidak ada lagi alternatif barang atau jasa yang lebih murah.
Di social commerce berjubel penjual produk impor dengan harga jauh lebih murah dari biaya produksi barang sejenis buatan UMKM lokal. Seiring dengan kian ramainya transaksi di social commerce, penjual produk retail di toko dan pasar konvensional mengeluh tak ada pembeli. Pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya, menjerit karena omzet penjualan mereka merosot. Namun menuding social commerce sebagai penyebab utama ambruknya toko dan pasar produk UMKM jelas salah alamat.
Kita tahu, selama pembatasan mobilitas di masa pandemi Covid-19, perilaku belanja masyarakat juga berubah. Konsumen memilih berbelanja secara online ketimbang berdesakkan di toko atau pasar konvensional. Akibatnya bukan hanya pasar tradisional yang jumlah pembelinya menurun drastis, supermarket modern pun sepi dan beberapa di antaranya harus tutup. Nah, ketika pasar tradisional dan supermarket sepi, tak sedikit UMKM yang sukses bermigrasi ke pasar online dengan memanfaatkan pelbagai platform e-commerce dan social commerce.
Baca liputannya:
- Di Balik Penerbitan Aturan Larangan Berjualan di TikTok Shop
- Wawancara Menteri UMKM: Alasan Pemerintah Melarang Berjualan di TikTok Shop
Perlu pula dicatat, larangan transaksi di social commerce tak otomatis melindungi UMKM lokal. Sebelum e-commerce dan social commerce berjaya, UMKM sudah lama terseok-seok karena bersaing dengan barang impor yang lebih murah. Karena itu, pemerintah tak cukup membuat regulasi di bagian hilir, di ujung mata rantai pemasaran. Di bagian hulu, perlu ada regulasi tepat untuk menahan banjir impor barang murah yang bisa diproduksi UMKM lokal.
Pada saat yang sama, pemerintah perlu menyediakan pelbagai insentif dan kemudahan bagi UMKM lokal agar bisa memproduksi barang retail dengan harga wajar serta tidak memberatkan konsumen.