Tak Perlu Peradilan Militer Mengusut Dugaan Korupsi Basarnas
Peradilan militer diragukan dapat mengusut dugaan korupsi Basarnas. KPK berwenang mengusut keterlibatan tentara aktif.
KEPUTUSAN Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan perkara dugaan korupsi Basarnas atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan kepada Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia merupakan langkah mundur. Peradilan militer bakal membuat pengusutan dugaan suap kepada kepala lembaga itu, Marsekal Madya Henri Alfiandi, dan koordinator administrasinya, Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto, yang telah menjadi tersangka tak akan berjalan secara terbuka.
KPK awalnya menetapkan Henri dan Afri Budi serta tiga orang dari pihak swasta sebagai tersangka suap proyek pengadaan alat deteksi korban reruntuhan di Basarnas. Henri diduga menerima suap Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor sepanjang 2021-2023. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak belakangan meminta maaf dan melimpahkan penyidikan Henri dan Afri Budi kepada Pusat Polisi Militer TNI.
Perubahan sikap KPK dipicu protes TNI. Merujuk pada Undang-Undang Peradilan Militer, Puspom TNI menilai penanganan kasus korupsi Basarnas merupakan kewenangan mereka. Kenyataannya, pada masa lalu, peradilan militer punya preseden buruk dalam menangani skandal rasuah. Dari vonis ringan hingga penyetopan penyidikan.
Pada 2017, majelis hakim Pengadilan Militer Jakarta hanya menghukum Laksamana Pertama Bambang Udoyo, terdakwa korupsi proyek satelit Badan Keamanan Laut (Bakamla), dengan vonis empat setengah tahun penjara. Pengadilan juga gagal mengungkap lebih dalam peran Kepala Bakamla waktu itu, Laksamana Madya Arie Soedewo, yang disebut mengarahkan anak buahnya untuk menerima uang sogok. Puspom TNI pun pernah menghentikan penyidikan terhadap lima prajurit yang diduga terlibat korupsi pembelian helikopter AW-101 yang merugikan negara Rp 220 miliar karena menganggap alat buktinya tak cukup.
Komisi antikorupsi sebetulnya berwenang penuh menangani perkara Basarnas yang melibatkan tentara aktif. Merujuk Undang-Undang KPK, yang terbit jauh setelah UU Peradilan Militer, Komisi dapat mengusut setiap orang yang melakukan korupsi, baik yang tunduk pada peradilan umum maupun militer. Selain itu, ada Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang TNI yang mengatur peradilan militer hanya berlaku bagi tindak pidana militer. Sedangkan prajurit yang melanggar pidana umum, seperti korupsi, tetap mengikuti sistem peradilan umum.
Kasus suap yang melibatkan Henri dan Afri Budi ini jelas merugikan keuangan negara dan tak berkaitan dengan pelanggaran disiplin militer. Karena itu, Kepala Basarnas dan anak buahnya bisa diadili di pengadilan tindak pidana korupsi. Opsi lain adalah membentuk peradilan koneksitas. Puspom tak perlu menggelar peradilan militer, cukup mengirim oditurnya untuk bekerja sama dengan penyidik KPK. Langkah itu sesuai dengan Undang-Undang KPK yang mengatur komisi antikorupsi berwenang mengkoordinasi penyidikan dengan institusi lain, termasuk militer.
Baca artikelnya:
Prinsip koneksitas pernah dipakai KPK saat membongkar korupsi pengadaan helikopter Mi-17 asal Rusia, yang merugikan negara Rp 29 miliar. Prihandono—satu-satunya perwira yang menjadi terdakwa—divonis empat tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2007.
Penerapan peradilan militer hanya akan membuat penanganan perkara korupsi menjadi kabur dan tak tuntas. Potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang akan makin besar di tengah kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan peluang kepada perwira TNI menduduki berbagai jabatan sipil, seperti Basarnas. Melimpahkan kejahatan umum seperti korupsi ke peradilan militer hanya akan memberikan impunitas kepada prajurit TNI.