Ironi Ekonomi Hijau di Indonesia
Ekonomi hijau baru sebatas jargon. Kebijakan pemerintah berjalan ke arah sebaliknya.
KINI apa-apa mengandung kata "hijau". Ekonomi hijau, energi hijau, teknologi hijau. Kampanye dampak krisis iklim telah membawa kesadaran global bahwa aktivitas manusia harus ramah terhadap lingkungan untuk mencegah krisis iklim. Tapi, di Indonesia, yang “hijau-hijau” baru sebatas jargon: indah diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Sampai kemudian negara tetangga seperti Singapura justru lebih dulu berinvestasi di sektor energi ramah lingkungan.
Perusahaan-perusahaan Singapura di bawah Temasek berencana membangun panel surya raksasa di Batam, Kepulauan Riau. Ada juga perusahaan yang membangun properti ramah lingkungan, yang semua pendukung operasi gedung dan bangunannya memakai energi terbarukan hingga daur ulang air minum. Mereka melihat Indonesia sebagai lokasi yang bagus untuk berinvestasi dengan membidik pasar regional yang kian membutuhkan investasi yang hijau-hijau itu.
Desakan global agar negara-negara dan lembaga investasi mengubah arah pembangunan menjadi ramah lingkungan dalam beragam konferensi internasional telah mengubah bisnis besar. Bukti ilmiah tentang produksi gas rumah kaca yang kian meringkas waktu ke puncak krisis iklim membuat kesadaran itu pelan-pelan berwujud investasi-investasi ramah lingkungan tersebut.
Masalahnya, jalan pembangunan dan arah ekonomi Indonesia tak seperti negara-negara lain. Pemerintah Joko Widodo menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja untuk menarik investasi dengan memberi kemudahan kepada industri ekstraktif yang merusak bumi. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara memangkas pengawasan dan sanksi terhadap perusahaan yang mengeruk sumber daya alam secara tak ramah lingkungan. Bahkan kita akan menjual pasir laut yang merusak ekosistem karbon biru.
Kita tak menyambut rezeki nikel dengan menyiapkan tata kelolanya agar keberlimpahan bahan baku baterai itu tak merusak hutan yang menjadi andalan terakhir upaya mencegah krisis iklim. Pemerintah kita turut dalam euforia energi terbarukan kendaraan bermotor tanpa mengantisipasi dampak buruknya. Di Indonesia, syarat keberlanjutan yang dituntut ekonomi hijau tak dipenuhi akibat regulasi yang tak mendukungnya.
Jikapun ada regulasi yang mencoba mendukung bisnis hijau, pemerintah terkesan ragu-ragu dan menuruti kemauan industri. Regulasi perdagangan karbon mentok di peraturan teknis karena kekhawatiran terjadi kebocoran karbon ke negara pembeli. Penerapan pajak karbon berulang kali dibatalkan karena industri tak siap dengan disinsentif bagi produsen emisi itu.
Baca liputannya:
- Bagaimana Singapura Membiayai Transisi Energi Secara Murah
- Cara Bursa Saham Indonesia Lebih Ramah Lingkungan
- Ekonomi Hijau dalam Bayang-Bayang Greenwashing
Maka bisa dikatakan, dalam konteks pembangunan hijau, pemerintah kita terkesan cepat memutuskan, bahkan sembunyi-sembunyi, jika membuat regulasi yang berdampak buruk. Sementara itu, dalam mendukung kebijakan bagus, pemerintah terkesan ragu-ragu, menimbang dengan hati-hati, bahkan menuruti kepentingan bisnis yang terkena dampaknya.
Jika terus seperti ini, Indonesia akan kehilangan masa emas memanfaatkan keberlimpahan sumber daya alam dengan memaksa pasar mengikuti aturan main yang kita buat. Singapura gesit melakukan investasi ramah lingkungan karena melihat permintaan global yang besar, mengkondisikan pembeli, hingga menciptakan ekosistem bisnis yang mendukungnya. Sedangkan Indonesia terus memakan ironi dan menjadi penonton negara lain yang pandai memanfaatkan peluang.