Salah Jalan Gubernur Papua
Lukas Enembe dituding menggelapkan dana otonomi khusus Papua. Sudah berkali-kali dibidik dalam kasus korupsi.
MESKI dielu-elukan pendukungnya sebagai tokoh besar, sepak terjang Lukas Enembe tak sepenuhnya untuk kemashalatan Papua. Sepuluh tahun menjadi Gubernur Papua, namanya beberapa kali muncul dalam penyidikan sejumlah kasus korupsi. Namun Lukas selalu lolos dari jeratan hukum. Tak hanya berkat jejaring pengaruhnya yang luas, tapi juga karena kegamangan penegak hukum sendiri.
Kali ini, pria 55 tahun asal Tolikara, Papua, itu tak berkutik. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Lukas di sebuah restoran di Jayapura pada Selasa, 10 Januari lalu, dan langsung menerbangkannya ke Jakarta. Sejak September tahun lalu, Lukas sudah ditetapkan sebagai tersangka suap Rp 1 miliar dari PT Tabi Bangun Papua. Selama empat bulan, KPK kesulitan menjemput paksa Lukas tanpa bentrok dengan ribuan pendukung yang siang-malam menjaga rumahnya.
Nilai besel yang menjerat Lukas memang terkesan remeh. Tapi, jangan salah. Kasus ini hanya pintu masuk untuk membongkar perkara dugaan korupsi lain senilai Rp 566 miliar yang melibatkan Lukas. Itu pun disebut-sebut belum mencakup seluruh uang negara yang diduga ditilap Lukas saat berkuasa. Lima tahun lalu, Lukas pernah disidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dalam kasus korupsi dana beasiswa bernilai miliaran rupiah.
Tak hanya itu, Lukas ditengarai menggelontorkan fulus ke berbagai kelompok kekerasan bersenjata (KKB) Papua. Pada awal Januari lalu, nama Lukas terseret kasus Anton Gobai, seorang pilot yang tertangkap membawa sepuluh pucuk senjata api laras panjang tipe M-4 di Provinsi Sarangani, Filipina. Anton adalah penerima beasiswa sekolah pilot dari Pemerintah Provinsi Papua. Ia terafiliasi dengan Tentara Pembebasan Nasional, sayap Organisasi Papua Merdeka. Adapun Lukas dituduh ikut mendanai pembelian senjata itu.
Penangkapan Lukas Enembe menandakan ada perubahan pendekatan pemerintah di Papua. Ini bisa menjadi momentum pembenahan di sana. Sudah jadi rahasia umum bahwa bantuan pemerintah pusat untuk Bumi Cenderawasih salah sasaran. Sejak 2001, pemerintah menggelontorkan dana otonomi khusus Papua sekitar Rp 1.000 triliun. Separuh duit itu mengalir saat Lukas memimpin Papua. Namun selama itu pula angka kemiskinan Papua tercatat paling tinggi di Indonesia.
Berbagai kasus yang menyeret Lukas membuktikan dana otonomi khusus Papua sudah nyata-nyata diselewengkan. Hasil survei penilaian integritas KPK yang digelar pada 2021 menunjukkan indeks korupsi Papua dan Papua Barat hanya 64. Skor serendah itu menandakan provinsi tersebut rentan korupsi. Angka ini lebih rendah dari indeks nasional sebesar 72,4. Alih-alih digunakan membangun pelayanan publik, dana bantuan kerap dianggap sebagai “jatah” kepala daerah.
Pemerintah pusat jangan mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini Jakarta perlu berbicara dengan para pemangku kepentingan di Papua untuk merumuskan program pembangunan yang lebih komprehensif dengan berbasis kajian sosiologi dan antropologi. Faktanya, ada 255 suku di Papua dengan bahasa dan kebudayaan berbeda. Semua harus diajak berbicara. Perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada Juli 2021 sudah tegas menyebutkan pentingnya peran lembaga kemasyarakatan, adat, dan keagamaan untuk pembangunan di sana.
Yang paling penting, pemerintah harus meninggalkan pendekatan keamanan di Papua. Lembaga adat dan pranata sosial tak boleh hanya dianggap pelengkap. Penggunaan kekerasan terbukti melahirkan sosok seperti Lukas Enembe yang dianggap menjadi simbol perlawanan. Sementara itu, orang asli Papua terus hidup di bawah garis kemiskinan.