Foto setengah badan itu memang tidak banyak bercerita. Tapi raut wajah yang tercetak di atasnya memancarkan satu hal yang jelas: seorang remaja yang bersih, sehat, dengan sinar mata berbinar-binar dan energik, yang membanggakan orang tua mana pun. Itulah foto yang terpampang dalam stamboek SMU 39 Cijantung, Jakarta Timur, pada 15 Juli 1991.
Remaja ini muncul dalam berita pagi Liputan Enam SCTV, Minggu pekan lalu. Ia telah tumbuh menjadi anak muda dengan postur tinggi tegap, berkulit bersih dan terawat, berambut cepak rapi. Namun, kali ini wajahnya memancarkan aura yang akan menyedihkan orang tua mana pun: ketakutan, kuyu, pucat, sembari tangan terborgol dalam kawalan polisi.
Siapa pun pasti menduga, ia tengah dituding melakukan tindak kriminal. Kejahatan macam apa yang ia lakukan? Ia disergap pasukan Operasi Kilat Jaya (OKJ) Polres Jakarta Barat, Minggu dinihari. Bersama dengan dirinya, ada serta sebuah koper yang isinya membuat jantung setiap bandar narkotik berdebar kencang: empat kilogram bubuk shabu-shabu dan 7.000 butir pil ekstasi.
Anak muda kelahiran Serang, Jawa Barat, 24 tahun lalu itu bernama Agus Isrok. Ia berasal dari salah satu keluarga sangat terpandang di negeri ini. Ayahnya, Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), tokoh penting di elite TNI. Ibunya adalah cucu Abah Anom, ulama terkenal dari Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat—yang giat mengobati penderita ketergantungan obat terlarang.
Agus mendapat didikan keras dan disiplin dari ayahnya—seorang tentara pasukan khusus, Kopassus, yang sukses membabat para pembajak pesawat Woyla di bandara Don Muang, Thailand, 1981. Pada masa remajanya, putra sulung dari dua bersaudara ini pernah terlibat perkelahian antar-remaja. Dan ayahnya membiarkan ia meringkuk satu malam di tahanan polisi agar Agus belajar disiplin. Namun, didikan keras ini luntur oleh cinta dan kemanjaan dari sang ibu.
Dua hari sebelum digerebek polisi, pada 6 Agustus lalu, anak muda itu merayakan hari jadinya yang ke 24—sebuah usia yang dipercaya sebagai puncak kemudaan dan harapan dalam musim kehidupan manusia. Dan Agus Isrok memang bukan tanpa harapan. Ia adalah letnan dua infanteri dari kesatuan Kopassus. Data dalam Laporan Kemajuan Polres Jakarta Barat, hasil OKJ 6-9 Agustus lalu, bahkan menyebut figur ini sebagai Wakil Komandan Unit Khusus Detasemen 441 Grup IV. Namun, data ini dibantah oleh seorang kapten baret merah di Cijantung.
Agus Isrok menyelesaikan pendidikan menengahnya di SMU 39 Cijantung, Jakarta Timur. Ia masuk ke sekolah itu pada 1991 dan meninggalkan bangku SMU pada 1994—seperti yang tertulis dalam stamboek. Buku yang sama mencatat bahwa Agus Isrok adalah putra Subagyo Hadi Siswoyo. Prestasinya di sekolah itu tergolong biasa. Semester terakhir SMU ia selesaikan dengan urutan yang tidak istimewa, nomor 18 dari 48 siswa. Namun, di bidang olahraga, ia cukup disegani. Postur tubuhnya yang tinggi tegap—175 sentimeter, 70 kilogram saat masuk SMU—menjadikan Agus sebagai salah satu pemain basket andalan. Agus pernah masuk tim basket sekolahnya dalam pertandingan basket antar-SMU di Jakarta.
Selepas SMU 39, Agus masuk Akademi Militer Magelang, lulus pada 1997, dengan pangkat letnan dua. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan komando di Batujajar, Cimahi, Jawa Barat. Namun, penggemar musik gitar ini gagal mengenakan baret kebanggaan Kopassus itu pada 1998 karena, kata seorang sumber di Kopassus, "Kakinya terkilir, patah kaki atau semacam itulah." Toh, harapan tetap ada. Sebab, sebagai anak pejabat tinggi militer, Agus ternyata mendapat banyak perlakuan istimewa. Ia bisa "dititipkan" di lingkungan Kopassus sembari menunggu pendidikan berikutnya.
Putra sang Jenderal ini kemudian menebus kegagalannya pada 1999. Saat berlangsung acara pembaretan Kopassus pada awal Agustus lalu, ia hadir dalam deretan para penerima baret merah—sebuah prestasi yang bukan saja membanggakan Agus tapi juga kedua orang tuanya. Sayang, nasib berputar terlalu cepat bagi Letnan Dua Agus Isrok. Dalam kamar 408 Hotel Travel di kawasan Manggabesar, Jakarta Barat, Minggu dinihari pekan lalu, polisi menangkap basah si anak jenderal —kali ini tanpa baret, tentu saja.
Mengenakan jins biru kasual, kaus hitam, dan sandal biru, Agus dibekuk polisi. Di atas meja di dalam kamar hotel itu, sebuah pelita kecil tengah bernyala. Itulah nyala api yang sedianya membakar kertas perak bermuatan shabu-shabu—sebuah tes yang lazim dilakukan sebelum transaksi bubuk terlarang dilakukan. Api itu memang belum menjilat bubuk bernilai ratusan juta rupiah itu. Apa lacur, api yang sama tampaknya telah menyambar Agus Isrok, jika sang Letnan benar memilih menuliskan nasibnya di atas tumpukan shabu-shabu dan kantong ekstasi.
Hermien Y. Kleden, Darmawan Sepriyossa, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini