Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika Penengah Diamuk

Kantor penengah perdamaian di Aceh Tengah diamuk massa. Murni reaksi atas "pemerasan" GAM atau rekayasa TNI?

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAKENGON, kota sejuk nan sepi di pegunungan Aceh Tengah, mendadak riuh rampak Senin pekan lalu. Hari masih pukul 8.30 pagi, tapi iring-iringan puluhan truk, mobil pikup, minibus, dan sepeda motor mara membawa 500 pendemo dari Kecamatan Bukit ke kantor Joint Security Committee di Buntul Kubu. Sejam kemudian, bergabung ribuan orang dari Kecamatan Bandar. Mereka meneriakkan, "Bubarkan JSC" dan "JSC hanya mendukung GAM." Tak cuma berteriak, beberapa orang merusak papan nama kantor penengah perdamaian di Aceh itu. Pengunjuk rasa juga memaksa pegawai JSC menemui mereka. Kaca kantor dilontari batu hingga pecah. Empat pegawai JSC asal Thailand dan Indonesia serta dua dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memenuhi permintaan mereka. Namun, karena sempitnya ruang kantor, negosiasi dilakukan di Lapangan Meusara Alun, Blang Kolak, sekitar satu kilometer dari kantor JSC. Sekitar 3.000 orang mengiringi petugas JSC, dikawal puluhan prajurit dari Batalion Infanteri Lintas Udara 431/Kostrad dan polisi. Juga disertai tiga anggota DPRD Aceh Tengah, Tagore, M. Syarif, dan Sarhamija. Dalam perjalanan, juru-juru penengah mulai dipukuli atau dilempari dengan batu dan gulungan karton bekas poster. Di lapangan, beberapa orang berpidato dan membacakan enam tuntutan. Mereka meminta perwakilan GAM di JSC Aceh Tengah ditiadakan dan uang hasil pemerasan GAM dikembalikan. Anggota tim JSC dari Indonesia, Mayor CPM Purnomo Eko, meminta waktu buat berunding. Tapi massa mulai beringas. Mayor Inf. Indra Nasution, Komandan Batalion Linud 431/Kostrad, mengambil mikrofon. "Beri kami dua jam untuk memberi keputusan," kata perwira mantan pemimpin pasukan pengepung persembunyian GAM di rawa Cot Trieng, Aceh Utara, itu. Ketika siangnya keputusan belum juga keluar, para pendemo sudah tak terkendali. Senjata pun diletuskan—bahkan satu anggota Brigade Mobil menembaki langit sambil berputar seperti gasing. Tapi massa malah memukuli dan menginjak-injak Husni Jalil, anggota JSC dari GAM. Amiruddin, juga anggota GAM, luka di telinganya. Mayor Eko, yang berada di dekatnya, ikut terlontari batu. Bendera GAM dan tiga mobil operasi JSC dibakar. Mobil pemadam kebakaran dihalang-halangi. Di tengah hujan peluru, anggota JSC yang terluka diamankan dengan jip milik Kostrad. Mereka baru bubar setelah helikopter tumpangan Kolonel A.Y. Nasution, Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa, berputar-putar di atas kerumunan. Ia kemudian menerima wakil pengunjuk rasa dan berjanji bahwa tuntutan demonstran akan diproses, tapi itu butuh waktu. Sorenya, para pendemo pulang sambil mendendangkan lagu Maju Tak Gentar. David Gorman, Project Manager Henry Dunant Center yang menjadi fasilitator perdamaian Aceh, mengutuk insiden Takengon. Ia menilai, kekerasan itu sangat serius dan dapat mengganggu proses perdamaian di Aceh. "Kami akan mencari tahu dari kelompok mana sebenarnya massa pelaku aksi itu," katanya. Kontras Aceh menengarai tentara berada di balik penyerangan itu. Menurut penyelidikan mereka, aparat TNI dari Kostrad 431 mengawal konvoi massa dari Kecamatan Bukit sejak pagi hari. Bahkan dua prajurit berbaju preman tampak di tengah lautan manusia dan ikut memprovokasi. Kontras juga menuding milisi Desa Pondok Kresek, Pondok Sayur, Pondok Gajah, dan Pondok Baru—yang dibina TNI—merupakan kekuatan utama pengunjuk rasa. Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal M. Djali Yusuf membantah TNI berada di balik aksi itu. Katanya, insiden Takengon dipicu tindakan pemerasan GAM atas pengusaha kopi dua pekan silam. Menurut dia, GAM menyandera mereka dan meminta tebusan Rp 2 miliar, tapi hanya dipenuhi Rp 500 juta. "Masyarakat melaporkan masalah ini ke JSC, tapi tak ada penyelesaian, hingga masyarakat tak sabar dan melakukan unjuk rasa ke kantor JSC," kata Djali. Sofyan Dawod, juru bicara militer Komando Pusat GAM, membantah tuduhan Pangdam. "Kami tak menyandera dan memeras. Itu fitnah. Aksi di Takengon salah satu upaya TNI menodai perjanjian damai di Aceh," katanya. Wallahualam. Ahmad Taufik, Zainal Bakri (Lhokseumawe), Yuswardi A. Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus