SEMINGGU setelah mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PDI,
Sanusi Hardja- dinata "diam-diam" mengunjungi Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Menurut Sanusi, kepergiannya bersama Usep
Ranawidjaja tidak dimaksudkan untuk mengadakan pertemuan dengan
unsur partai."Saya mula-mula pergi ke Blitar untuk berziarah ke
makam Bung Karno, lantas mampir ke Malang," ujar Sanusi pekan
lalu.
Namun Sanusi dan Usep ternyata memanfaatkan kunjungan itu
untuk bertemu dengan banyak bekas tokoh PNI Jawa Timur di rumah
dr. Ambio, Malang. Pertemuan serupa juga diadakan di Semarang,
Sala dan Purwokerto. Menurut Sanusi, di beberapa tempat itu ia
terpaksa memberikan penjelasan mengapa dia mengundurkan diri,
walau sebenarnya alasan pengunduran itu secara resmi diberikan
oleh DPP. Alasannya, "karena ditanya, ya saya jawab," ujar
Sanusi. Sementara itu Abdul Madjid, salah satu pimpinan PDI dari
unsur PNI mengunjungi Madura, juga dengan tujuan yang sama.
Yang dijelaskan Sanusi agaknya sama dengan apa yang
diuraikannya pada sidang DPP PDI Jumat pekan lalu. Menurut
Sanusi, pembentukan partai dari atas tidak mungkin menjadikan
PDI sebagai satu partai rakyat yang secara sungguh-sungguh dapat
membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. "Partai serupa
itu tetap akan menjadi partai kerdil atau partainya golongan
elite tertentu," katanya.
Sejak dilahirkan, kata Sanusi pula, PDI tidak dapat dikatakan
sebagai parpol yang merdeka. Itu disebabkan adanya
tunjangan-tunjangan pemerintah, antara lain berupa gedung,
kantor sekretariat lengkap dengan segala inventarisnya termasuk
kendaraan dan uang belanja tiap bulan. "Akibatnya campur tangan
pihak luar dalam masalah intern PDI menjadi besar, bahkan sering
merupakan sumber perpecahan di kalangan DPP PDI sendiri," kata
Sanusi.
Sanusi, yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI sejak 1975, juga
mengecam kebijaksanaan massa mengambang (floating mass). "Partai
tidak dimungkinkan menjalankan pendidikan politik sampai ke
pelosok-pelosok desa. Akibatnya partai tidak berakar dan tidak
menggambarkan aspirasi rakyat hingga akhirnya hal1ya merupakan
formalitas dalam tata kelembagaan demokrasi belaka," kata
Sanusi.
Fusi PDI pada 1973 diinstruksikan dari atas hingga
solidaritas unsur sangat menonjol. Kemelut PDI selama ini
disebabkan oleh unsur PNI dalam PDI. Menurut Sanusi, ia telah
berusaha meluruskan ketidakberesan proses fusi itu tapi tidak
berhasil. "Saya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan,"
ujarnya.
Ketidak-puasannya atas semua hal itulah yang mendorong Sanusi
mengundurkan diri. Walaupun mengerti alasan itu, banyak juga
yang menyesalkan Sanusi. "Yang saya sesalkan mengapa itu baru
sekarang disadari Sanusi. Dan mengapa dia tidak berusaha
mengatasinya?" kata Sunario, salah satu tokoh yang bersama Bung
Karno mendirikan PNI pada 1927.
Yang menyambut gembira pengunduran diri Sanusi adalah
kalangan Pembangunan Nasional Indonesia (dijuluki "PNI Baru") di
Malang. Menurut dr. Ambio, Sanusi sudah menyanggupi untuk
membantu wadah-wadah Marhaenisme seperti "PNI Baru", Paguyuban
Nasional Indonesia serta Lembaga Musyawarah Keluarga Besar
Marhaenis (I.M KBM). "Sanusi meyakinkan ketiga organisasi itu
dalam waktu dekat ini bakal bersatu," ujar Ambio.
Ketiga organisasi itu adalah wadah yang didirikan para bekas
tokoh PNI yang tampaknya kurang puas dengan PDI saat ini.
Pendirinya kebanyakan para tokoh tua yang secara tidak langsung
memimpikan hidupnya kembali PNI.
Apakah itu berarti Sanusi --setelah mengakui kegagalan PDI --
ingin bergabung dengan mereka yang ingin menghidupkan lagi PNI?
Tampaknya begitu. Dan rupanya beberapa tokoh PDI dari unsur PNI,
antara lain Usep Ranawidjaja dan Abdul Madjid, mempunyai
pendapat yang serupa.
"Kalau tak berubah, PDI tak akan mengakar dengan massa. Tidak
akan menyambung dengan gelora hati rakyat," kata Abdul Madjid,
salah satu Ketua PDI. Menurut dia, PDI sebagai sarana ideologi
tidak memuaskan, karena PDI pada hakekatnya tidak mempunyai asas
ideologis yang pasti yang dalam menegakkan Pancasila bisa
digunakan sebagai media untuk mengakarkan massa. Hingga prospek
PDI sebagai parpol bagi Madjid kurang cerah. "Berbeda dengan PNI
dulu yang memiliki ideologi yang dimengerti dan dihayati
rakyat," kata Madjid .
SECARA pribadi Abdul Madjid menganggap perlu adanya
peninjauan kembali struktur kehidupan politik di Indonesia.
Sasarannya: supaya PNI bisa dilahirkan kembali. Menurut dia,
dalam suatu rapat DPP PNI yang diperluas pada 1973 (sebelum
fusi), DPP memutuskan untuk menyetujui fusi, namun dengan
harapan agar PNI suatu waktu harus bisa lahir kembali.
Namun apakah mungkin menghidupkan kembali PNI pada saat ini?
Bukankah sudah ada UU Parpol dan Golkar yang menyederhanakan
jumlah partai? Menurut Madjid, UU tersebut dibuat untuk
menampung keadaan waktu itu. "Mengapa tidak melihat dengan jujur
bahwa keadaan telah berubah," ujarnya.
Toh Madjid mengakui kans untuk hidupnya kembali PNI dalam
jangka pendek tidak banyak. "Karena menurut perasaan saya,
mayoritas yang satu kubu dengan peme- rintah nampaknya kurang
responsif dengan gagasan ini," Ujarnya .
Tidak semua bekas PNI menyambut gembira gagasan menghidupkan
kembali partai ini. "Fusi tidak salah dan tak perlu ditinjau
kembali," tegas Soebekti, Ketua Umum DPC PDI Surakarta. Menurut
bekas tokoh PNI ini, yang salah sebetulnya adalah pimpinan
partai yang dalam menjalankan kepemimpinan tidak konsisten .
Soebekti tidak termasuk dalam kelompok Sanusi. Untuk
"menandingi" kedatangan Sanusi ke Sala, DPC PDI Surakarta
mengadakan pertemuan pada 31 Oktober lalu. Hasilnya tertuang
dalam suatu pernyataan. Isinya antara lain menolak usaha
penataan kembali kehidupan politik serta menolak peninjauan
kembali UU No. 3/1975 tentang Parpol dan Golkar serta juga UU
Pemilu yang telah disempurnakan. Diputuskan juga untuk mendesak
agar pelaksanaan pola politik PDI seiring dengan strategi yang
digariskan pemerintah.
Apakah keinginan untuk menghidupkan kembali PNI lebih
dilandasi oleh nostalgia kejayaan PNI pada tahun 1950-an dulu?
Mungkin juga. Abdul Madjid misalnya yakin, bila PNI bisa lahir
kembali dan ikut Pemilu, tanpa kampanye terbuka dan dengan hanya
menyebarkan gambar banteng segitiga, "lima puluh kursi pun bisa
didapat."
Para tokoh tua PNI itu tampaknya terlalu berangan-angan.
Pemerintah jelas akan menganggapnya sebagai suatu "langkah
mundur" yang ingin mengubah konsensus penyederhanaan kepartaian.
Unsur-unsur lain dalam PDI belum pasti juga akan menyetujui hal itu.
Kalau toh ingin melahirkan PNI yang lebih mungkin tampaknya:
unsur PNI dalam PDI bisa berusaha untuk "menguasai" PDI hingga
suatu waktu kelak bisa mengubah ciri parpol ini menjadi "Front
Marhaenis". Namun tentunya unsur-unsur lain dalam PD I tidak mau
begitu saja dilebur.
Yang juga masih disangsikan: apakah suatu PNI yang dilahirkan
kembali bakal menarik minat para pemilih? Harus diingat,
sebagian besar pemilih Indonesia sekarang adalah angkatan muda
yang hampir tidak mengenal atau merasakan kejayaan PNI dulu.
"Mungkin untuh orang PNI lama nostalgia masih cukup kuat. Namun
saya lihat buat para pemuda, PNI yang dihidupkan kembali tidak
akan mempunyai appeal. Kecuali kalau ada seorang pemimpin yang
sekaliber Bung Karno," kata Karna Radjasa, bekas pimpinan PNI
pada 1965-an dan putra almarhum Ali Sastroamidjojo bekas Ketua
Umum PNI.
"Jarum sejarah tak bisa dikembalikan. Daripada berusaha
seperti itu lebih baik realistis saja," ujar Karna Radjasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini