Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memutar Jarum, Menghidupkan ...

Sanusi Hardjadinata, eks ketua umum PDI, memberikan penjelasan mengenai pengunduran diri sebagai ketua umum PDI. diam-diam ia banyak mengunjungi bekas tokoh PNI di Ja-tim dan Ja-teng.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMINGGU setelah mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PDI, Sanusi Hardja- dinata "diam-diam" mengunjungi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menurut Sanusi, kepergiannya bersama Usep Ranawidjaja tidak dimaksudkan untuk mengadakan pertemuan dengan unsur partai."Saya mula-mula pergi ke Blitar untuk berziarah ke makam Bung Karno, lantas mampir ke Malang," ujar Sanusi pekan lalu. Namun Sanusi dan Usep ternyata memanfaatkan kunjungan itu untuk bertemu dengan banyak bekas tokoh PNI Jawa Timur di rumah dr. Ambio, Malang. Pertemuan serupa juga diadakan di Semarang, Sala dan Purwokerto. Menurut Sanusi, di beberapa tempat itu ia terpaksa memberikan penjelasan mengapa dia mengundurkan diri, walau sebenarnya alasan pengunduran itu secara resmi diberikan oleh DPP. Alasannya, "karena ditanya, ya saya jawab," ujar Sanusi. Sementara itu Abdul Madjid, salah satu pimpinan PDI dari unsur PNI mengunjungi Madura, juga dengan tujuan yang sama. Yang dijelaskan Sanusi agaknya sama dengan apa yang diuraikannya pada sidang DPP PDI Jumat pekan lalu. Menurut Sanusi, pembentukan partai dari atas tidak mungkin menjadikan PDI sebagai satu partai rakyat yang secara sungguh-sungguh dapat membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. "Partai serupa itu tetap akan menjadi partai kerdil atau partainya golongan elite tertentu," katanya. Sejak dilahirkan, kata Sanusi pula, PDI tidak dapat dikatakan sebagai parpol yang merdeka. Itu disebabkan adanya tunjangan-tunjangan pemerintah, antara lain berupa gedung, kantor sekretariat lengkap dengan segala inventarisnya termasuk kendaraan dan uang belanja tiap bulan. "Akibatnya campur tangan pihak luar dalam masalah intern PDI menjadi besar, bahkan sering merupakan sumber perpecahan di kalangan DPP PDI sendiri," kata Sanusi. Sanusi, yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI sejak 1975, juga mengecam kebijaksanaan massa mengambang (floating mass). "Partai tidak dimungkinkan menjalankan pendidikan politik sampai ke pelosok-pelosok desa. Akibatnya partai tidak berakar dan tidak menggambarkan aspirasi rakyat hingga akhirnya hal1ya merupakan formalitas dalam tata kelembagaan demokrasi belaka," kata Sanusi. Fusi PDI pada 1973 diinstruksikan dari atas hingga solidaritas unsur sangat menonjol. Kemelut PDI selama ini disebabkan oleh unsur PNI dalam PDI. Menurut Sanusi, ia telah berusaha meluruskan ketidakberesan proses fusi itu tapi tidak berhasil. "Saya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan," ujarnya. Ketidak-puasannya atas semua hal itulah yang mendorong Sanusi mengundurkan diri. Walaupun mengerti alasan itu, banyak juga yang menyesalkan Sanusi. "Yang saya sesalkan mengapa itu baru sekarang disadari Sanusi. Dan mengapa dia tidak berusaha mengatasinya?" kata Sunario, salah satu tokoh yang bersama Bung Karno mendirikan PNI pada 1927. Yang menyambut gembira pengunduran diri Sanusi adalah kalangan Pembangunan Nasional Indonesia (dijuluki "PNI Baru") di Malang. Menurut dr. Ambio, Sanusi sudah menyanggupi untuk membantu wadah-wadah Marhaenisme seperti "PNI Baru", Paguyuban Nasional Indonesia serta Lembaga Musyawarah Keluarga Besar Marhaenis (I.M KBM). "Sanusi meyakinkan ketiga organisasi itu dalam waktu dekat ini bakal bersatu," ujar Ambio. Ketiga organisasi itu adalah wadah yang didirikan para bekas tokoh PNI yang tampaknya kurang puas dengan PDI saat ini. Pendirinya kebanyakan para tokoh tua yang secara tidak langsung memimpikan hidupnya kembali PNI. Apakah itu berarti Sanusi --setelah mengakui kegagalan PDI -- ingin bergabung dengan mereka yang ingin menghidupkan lagi PNI? Tampaknya begitu. Dan rupanya beberapa tokoh PDI dari unsur PNI, antara lain Usep Ranawidjaja dan Abdul Madjid, mempunyai pendapat yang serupa. "Kalau tak berubah, PDI tak akan mengakar dengan massa. Tidak akan menyambung dengan gelora hati rakyat," kata Abdul Madjid, salah satu Ketua PDI. Menurut dia, PDI sebagai sarana ideologi tidak memuaskan, karena PDI pada hakekatnya tidak mempunyai asas ideologis yang pasti yang dalam menegakkan Pancasila bisa digunakan sebagai media untuk mengakarkan massa. Hingga prospek PDI sebagai parpol bagi Madjid kurang cerah. "Berbeda dengan PNI dulu yang memiliki ideologi yang dimengerti dan dihayati rakyat," kata Madjid . SECARA pribadi Abdul Madjid menganggap perlu adanya peninjauan kembali struktur kehidupan politik di Indonesia. Sasarannya: supaya PNI bisa dilahirkan kembali. Menurut dia, dalam suatu rapat DPP PNI yang diperluas pada 1973 (sebelum fusi), DPP memutuskan untuk menyetujui fusi, namun dengan harapan agar PNI suatu waktu harus bisa lahir kembali. Namun apakah mungkin menghidupkan kembali PNI pada saat ini? Bukankah sudah ada UU Parpol dan Golkar yang menyederhanakan jumlah partai? Menurut Madjid, UU tersebut dibuat untuk menampung keadaan waktu itu. "Mengapa tidak melihat dengan jujur bahwa keadaan telah berubah," ujarnya. Toh Madjid mengakui kans untuk hidupnya kembali PNI dalam jangka pendek tidak banyak. "Karena menurut perasaan saya, mayoritas yang satu kubu dengan peme- rintah nampaknya kurang responsif dengan gagasan ini," Ujarnya . Tidak semua bekas PNI menyambut gembira gagasan menghidupkan kembali partai ini. "Fusi tidak salah dan tak perlu ditinjau kembali," tegas Soebekti, Ketua Umum DPC PDI Surakarta. Menurut bekas tokoh PNI ini, yang salah sebetulnya adalah pimpinan partai yang dalam menjalankan kepemimpinan tidak konsisten . Soebekti tidak termasuk dalam kelompok Sanusi. Untuk "menandingi" kedatangan Sanusi ke Sala, DPC PDI Surakarta mengadakan pertemuan pada 31 Oktober lalu. Hasilnya tertuang dalam suatu pernyataan. Isinya antara lain menolak usaha penataan kembali kehidupan politik serta menolak peninjauan kembali UU No. 3/1975 tentang Parpol dan Golkar serta juga UU Pemilu yang telah disempurnakan. Diputuskan juga untuk mendesak agar pelaksanaan pola politik PDI seiring dengan strategi yang digariskan pemerintah. Apakah keinginan untuk menghidupkan kembali PNI lebih dilandasi oleh nostalgia kejayaan PNI pada tahun 1950-an dulu? Mungkin juga. Abdul Madjid misalnya yakin, bila PNI bisa lahir kembali dan ikut Pemilu, tanpa kampanye terbuka dan dengan hanya menyebarkan gambar banteng segitiga, "lima puluh kursi pun bisa didapat." Para tokoh tua PNI itu tampaknya terlalu berangan-angan. Pemerintah jelas akan menganggapnya sebagai suatu "langkah mundur" yang ingin mengubah konsensus penyederhanaan kepartaian. Unsur-unsur lain dalam PDI belum pasti juga akan menyetujui hal itu. Kalau toh ingin melahirkan PNI yang lebih mungkin tampaknya: unsur PNI dalam PDI bisa berusaha untuk "menguasai" PDI hingga suatu waktu kelak bisa mengubah ciri parpol ini menjadi "Front Marhaenis". Namun tentunya unsur-unsur lain dalam PD I tidak mau begitu saja dilebur. Yang juga masih disangsikan: apakah suatu PNI yang dilahirkan kembali bakal menarik minat para pemilih? Harus diingat, sebagian besar pemilih Indonesia sekarang adalah angkatan muda yang hampir tidak mengenal atau merasakan kejayaan PNI dulu. "Mungkin untuh orang PNI lama nostalgia masih cukup kuat. Namun saya lihat buat para pemuda, PNI yang dihidupkan kembali tidak akan mempunyai appeal. Kecuali kalau ada seorang pemimpin yang sekaliber Bung Karno," kata Karna Radjasa, bekas pimpinan PNI pada 1965-an dan putra almarhum Ali Sastroamidjojo bekas Ketua Umum PNI. "Jarum sejarah tak bisa dikembalikan. Daripada berusaha seperti itu lebih baik realistis saja," ujar Karna Radjasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus