DARI luar semuanya nampak beres. Pagi 27 Oktober itu Ketua Umum
DPP Partai Persatuan Pembangunan J. Naro menghatap Ketua Lembaga
Pemilu Amirmachmud di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Naro didampingi Ali Tamin, A. Malik dan Ismail Hasan
Metareum--semuanya pimpinan unsur Muslimin Indonesia.
Mereka datang menyerahkan daftar calon Pemilu 1982 yang batas
waktunya 27 Oktober tersebut. Amirmachmud kabarnya gembira
tatkala mendengar penyusunan daftar itu dilakukan setelah
melalui pertemuan "informal" dengan unsur-unsur dalam PPP.
Setengah jam kemudian, bersama angota LPU lain, Arnirmaud
menemui Presiden Soeharto dan Graha melaporkan keberhasilan
itu. Seusai pertemuan, Menpen Ali Moertopo menyebutkan, daftar
calon sementara PPP ini diselesaikan "secara demokratis dan
dinamis". Sedang Mendagri Amirmachmud mengatakan, daftar calon
itu berhasil diselesaikan "karena jiwa besar dan kedewasaan PPP
yang menganut sistem musyawarah dan mufakat".
Namun benarkah semuanya telah beres? Hari itu juga muncul
bantahan dari pihak NU. "Daftar itu dibuat Naro sendiri secara
sepihak tanpa sepengetahuan presidensi atau pimpinan, partai
lainnya," kata Ketua I PB NU dan anggota DPP PPP Jusuf Hasjim.
Jusuf mengetahuinya setelah ia menanyakan antara lain pada
Presiden PPP Idham Chalid, Wakil Ketua Umum Nuddin Lubis dan
K.H. Masykur--Ketua Majelis Pertimbangan PPP.
Bisa dimengerti bila pihak NU memprotes. Dalam daftar yang
diserahkan Naro itu "jatah" NU dikurangi: dari 56 kursi DPR yang
dimiliki sekarang menjadi 49. Jumlah ini sesuai dengan saran
Ketua LPU Amirmachmud dalam pertemuan konsultasi dengan DPP PPP
16 Oktober, agar NU bersedia melepas 7 kursi yang didudukinya
sekarang. Pengurangan ini ditentang keras pihak NU yang-seperti
ditegaskan dalam keputusan Munas Ulama NU di Kaliurang -- ingin
mempertahankan status quo komposisi seperti hasil Pemilu 1977.
Pihak Naro membela diri. "NU tak perlu khawatir dengan daftar
calon yang diajukan Pak Naro sebab yang telah ditempuh Ketua
Umum adalah hal yang bijaksana, untuk menyelamatkan PPP," kata
Ali Tamin, Wakil Sekjen MI. Tapi diakuinya susunan daftar calon
itu sesuai dengari saran Ketua LPU: 49 kursi untuk NU, 30 kursi
buat MI, 15 untuk SI dan 5 untuk Perti.
Ketua MI Soedardji juga membantah penyusunan daftar itu
dilakukan Naro secara sepihak. "Lho kalau sepihak kan Pak Naro
akan mengajukan susunan dengan komposisi yang dikehendaki pihak
MI. Susunan itu sebenarnya jauh dari harapan kami," ujarnya
Senin lalu. Menurut dia MI sebetulnya menghendaki komposisi
pembagian 40% untuk NU, 40% MI dan sisanya yang 20% dibagi SI
dan Perti.
Tidak jelas . mengapa Amirmachmud menyarankan dikuranginya jatah
NU dengan 7 kursi. Kabarnya dalam suatu pertemuan, Mendagri
pernah mengatakan, "NU telah menyakiti hati pemerintah." Apakah
yang dimaksud adalah sikap NU yang "keras ' seperti walk-out
dalam sidang MPR 1978?
Namun sikap resmi pemerintah yang ditegaskan berulangkali tidak
ingin mencampuri masalah intern PPP.
Menurut berbagai sumber TEMPO penyusunan "daftar Naro" itu
dimulai 25 Oktober oleh empat orang pimpinan MI: Darussamin, Ali
Tamin, Ismail Hasan Metareum dan A. Malik. Mereka menyusunnya di
kantor PP-MI di Jalan Kebon Binatang, Jakarta. Esoknya daftar
ini dibawa ke rumah Naro untuk dibahas.
Rupanya malam sebelumnya Naro menerima "titipan" daftar dari NU
dari Presiden PPP Idham Chalid lewat telepon, berisi nama-nama
kiai yang diminta menjadi calon jadi. Konon Nuddin Lubis dan
Chalid Mawardi juga datang ke rumah Naro untuk "berkonsultasi".
Di samping itu kabarnya ada juga titipan dari M. Th. Gobel,
Ketua SI, menyangkut calon Ismail Mokobombang yang diminta
dipindahkan dari daerah pemilihan Ja-Tim ke Ja-Teng.
Akibat adanya "pesan sponsor" itu daftar susunan calon terpaksa
diubah. Keempat tokoh MI itu kemudian menyusun kembali daftar di
kantor LPU Jalan Matraman Raya. Sekitar pukul 08.00 tanggal 27
Oktober daftar calon itu selesai diketik. Setengah jam kemudian
daftar tersebut diserahkan kepada Amirmachmud.
Ternyata tidak semua pimpinan PPP mengetahui penyerahan daftar
itu. Misalnya Djadil Abdullah, Wakil Ketua DPP PPP dan salah
satu Ketua PP-MI. "Tanggal 27 Oktober pagi itu kami baru
memikirkan untuk menyusun," katanya. Mula-mula ia
merundingkannya dengan beberapa tokoh NU seperti Jusuf Hasim.
Menurut Djadil, ia semula menyodorkan konsepnya yang sesuai
dengan saran Ketua LPU: 49 kursi untuk NU dan 50 kursi dibagi
MI, SI dan Perti. Pihak NU menolak hingga Djadil lantas
mempersilakan NU menyusun daftar sendiri, yang kemudian disusun
Jusuf Hasjim, Chalik Ali dan Saifuddin Zuhri. "Supaya tak
ributlah," kata Djadil.
Namun ia menolak anggapan ia telah bekerjasama dengan NU. "Saya
waktu itu tidak tahu bahwa Ketua Umum DPF telah mengajukan
daftar," katanya lagi Pendekatannya pada pihak NU rupanya guna
memperoleh dukungan untuk menyingkirkan Naro. "Kalau Naro bisa
di singkirkan pasti suasana jadi segar dar saya yakin simpati
masyarakat pada PPP kembali timbul. Hingga PPP nantinya bisa
mendapat tambahan suara," ujarnya.
Daftar versi NU yang disusun di kan tor PB-NU Jalan Kramat Raya
itu selesai sekitar pukul 14.00. Jusuf Hasjim meminta Djadil
menandatanganinya' "Semula saya tanyakan pada Pak Jusuf kenapa
tidak Presiden Partai yang teken tapi menurut dia Presiden
Partai telah memberi petunjuk agar saya yang meneken," kata
Djadil. "Artinya atas restu Pak Idham seperti dikatakan Jusuf
Hasjim," lanjutnya.
MEREKA kemudian menghubungi Amin Iskandar, anggota F-PP yang
menjadi anggota Panitia Pemilihan Indonesia/ Wakil Ketua Dewan
Pengawas LPU. "Saya semula diminta menghubungi LPU untuk
mengantar mereka. Setelak saya hubungi, Ibnu Saleh bersedia
menerimanya. Dan, saya sama sekali tidak tahu kalau Naro pagi
harinya sudah mnyerahkan daftar," kata Amin Iskandar Senin
lalu.
Ibnu Saleh adalah pejabat Depdagri yang menjadi Sekretaris LPU.
Begitulah sore itu Amin Iskandar mendampingi Djadil Abdullah,
Jusuf Hasjim dan Zamroni pergi ke LPU. Ternyata Ibnu Saleh tak
ada di tempat. Mereka hanya sempat ditemui beberapa petugas yang
merasa tak berwenang menerima penyerahan daftar. Sampai pukul
17.30 mereka menunggu. "Karena tak ada yang mau menerima, ya
saya bawa daftar itu pulang lagi," cerita Djadil.
Djadil kemudian meminta Jusuf Hasjim melaporkan semuanya pada
Idham Chalid. Malam itu juga Idham Chalid menelepon Djadil dan
antara lain Idharn mengatakan ia telah menerima laporan Jusuf
Hasjim. Pada Idham, Djadil mengembalikan segala sesuatunya
kepada Presiden Partai. "Persisnya saya katakan bahwa jangkauan
tangan saya hanya sampai di sini. Bola saya kembalikan pada Pak
Idham sebab ini sudah permainan tingkat tinggi," tutur Djadil.
Menurut dia Idham hanya menjawab soal itu sedang dirapatkan di
rumahnya.
Adanya rapat di rumah Idham Chalid 27 Oktober malam itu
dibenarkan Jusuf Hasjim. Yang hadir antara lain K.H. Masykur,
Jusuf Hasjim, Nuddin Lubis, Munasir dan Abdurrahman Wahid.
"Rapat itu dimaksud untuk mengambil keputusar sikap NU: apa
yang diputuskan Naro adalah tindakan sepihak," kata Jusuf
Hasjim.
Sikap NU tersebut rupanya secara resmi tak pernah disampaikan
pada LPU. Menurut Mendagri Amirmachmud Sabtu lalu, ia belum
pernah menerima protes terhadap daftar calon yang diajukan Naro.
Daftar itulah yang dianggap pemerintah resmi dan sah.
Prapto Prayitno, Dirjen Sospol epdagri yang menjabat Ketua Tim
Peneliti LPU, pada TEMPO menegaskan tidak tahu ada daftar calon
lain kecuali yang telah diserahkan Naro. "Kalaupun ada daftar
lain, daftar yang diserahkan Narolah yang dinilai bisa dipercaya
sebab diserahkan dan ditandatangani oleh Ketua Umum DPP,"
katanya. Daftar inilah yang oleh timnya akan diteliti
keabsahannya.
Terhadap keberatan pada daftar yang diserahkan Naro itu, Prapto
Prayitno mengomenuri "Kalau mau mengajukan keberatan ya jangan
kemari, tapi pada pimpinan partai. Sebab itu kan masalah
intern."
Daftar calon yang disusun Naro dkk. ternyata sampai awal pekan
ini belum diketahui unsur lain dalam PPP. Terhadap daftar ini
tangggapan mereka berbeda-beda. Barlianta Harahap dari SI yang
mengaku belum melihat daftar susunan Naro itu bisa mengerti
langkah yang ditempuh Naro. "Karena sudah janji, pimpinan PPP
memang bertanggung jawab untuk itu, terlepas dari siapa yang
menyusun daftar itu," kata Barlianta.
Namun menurut dia, lebih bijaksana bila sebelum diserahkan pada
Mendagri daftar itu dibicarakan dahulu dengan fungsionaris
lainnya dalam pimpinan pusat partai. Yang dianggapnya berwenang
mengisi dan menyusun urutan daftar calon ialah pimpinan pusat.
Sedang menurut Anggaran Dasar yang dimaksud pimpinan partai
adalah 14 orang mulai dari ketua umum sampai para anggota DPP.
Ketua unum, katanya, bisa saja menyusun daftar urutan. Tapi
harus dibawa dalam rapat dewan pimpinan partai untuk dibicarakan
dan diputuskan. "Sepanjang pengetahuan saya ketua umum belum
pernah menempuh jalan seperti itu," kata Barlianta. Pada 24
Oktober lalu SI mengirim surat pada DPP, meminta diadakan rapat
guna membicarakan susunan daftar calon, namun tak ada tanggapan.
Terhadap daftar lain yang dibawa Jusuf Hasjim ke LPU, Barlianta
menilainya sama dengan yang disusun Naro. "Kualifikasinya sama.
Artinya disusun sendirian tanpa mengundang pihak lain," katanya.
Ia mengusulkan agar diselenggarakan rapat DPP guna mendengar
laporan Naro, hingga bisa dinilai apakah langkah ketua umum
dinilai benar atau salah.
Pihak Perti tampaknya bisa menerima daftar susunan Naro. "Kami
cuma berpendapat lebih bermanfaat diam," kata seorang tokoh
Perti. Kalaupun ada nama calon Perti yang tidak sesuai, toh
nanti ada kesempaun untuk memperbaiki. Singkatnya "Bagi Perti
masalah daftar calon sudah tidak menjadi masalah lagi," ujar
Nurhasan Ibnuhajar, Ketua II Perti.
Daftar calon yang telah disampaikan pada LPU memang masih
bersifat sementara. Daftar ini pada 27 November mendatang akan
diumumkan dan masih bisa diperbaiki. Daftar calon tetap baru
akan diumumkan sekitar akhir Januari 1982.
Tampaknya, masih terbukanya kemungkinan mengubah susunan daftar
calon itu yang membuat masalah ini-teruuma pertikaian antara NU
dan MI "meledak".
Namun dari dalam kubu NU terdengar reaksi yang makin keras.
Buat organisasi yang sering diejel sbagai "kelompok santri"
ini pengurangan "jatah". 7 kursi DPR mereka dianggap pukulan
keras. Bahkan Wakil Ketua DPR K.H. Masykur yang selama ini
dianggap tokoh NU yang lunak menganggap peristiwa itu sebagai
"bencana" bagi NU. "Ini peristiwa paling naas bagi NU," katanya
Minggu lalu.
Menurut Masykur, bukan jumlah dan urutan yang menjadi persoalan
bagi NU. "Tapi NU tidak mau diajak awur-awuran. Kalau kami
diajak menyalahi hukum, walaupun hukum itu dibikin sendiri,
terus terang berat buat NU," ujar tokoh yang berusia 81 tahun
itu. Dan hukum itu menurut dia adalah Munas Dewan Partai 1975
yang menghasilkan komposisi pembagian kursi DPR yang ada
sekarang ini.
Masykur menolak dalih unsur non-NU yang menganggap keputusan
Dewan Partai itu hanya berlaku buat Pemilu 1977 saja. "Seperti
konsensus kursi untuk ABRI kan tidak berlaku untuk sekali pemilu
saja." Begitu pula keputusan tahun 1975 itu tetap dianggapnya
memiliki kekuatan hukum sepanjang belum dihapus oleh hukum baru.
"Prinsip untuk tidak menjadi munafik bagi NU amat dipegang.
Prinsip itu ialah: jika berkata harus benar dan jujur. Jika
berjanji harus ditepati dan jika dipercaya tidak berkhianat,"
kata Masykur.
BAGAIMANA seriusnya masalah V ini bagi NU bisa dilihat pula
dari kesibukan pimpinan organi sasi itu berembuk. Minggu malam
lalu di rumah Masykur diselenggarakan pertemuan yang dihadiri
sekitar 15 pucuk pimpinan NU termasuk Rais Aam Kiai Ali Ma'shum,
Wakil Rais Aam Anwar Musaddad, Idham'Chalid, Saifuddin Zuhri,
Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi dan Abdurr.ahman Wahid.
Esoknya rapat diteruskan di kantor PB-NU. Belum keluar keputusan
kecuali kesepakatan untuk menyelenggarakan rapat lengkap PB-NU
Kamis 5 November. Alasannya: masalahnya terlalu besar untuk
diputuskan keputusan PB-NU harian.
Sebelum berangkat ke Jakarta 1 November lalu, Rais Aam Ali
Ma'shum sempat ditemui TEMPO di pesantrennya di Yogyakarta.
Walau merasa tak berhak dan sejak dipilih menjadi Rais Aam Kiai
Ali tak mau mencampuri soal politik, namun ia tampak "panas"
tatkala mengomentari daftar yang diserahkan Naro. "Kalau keadaan
seperti ini terus menerus, NU selalu konyol bila tetap di PPP,"
katanya. "Sebaiknya NU membentuk partai baru. Jika ini terjadi,
80 persen umat Islam akan lari ke NU," katanya yakin. "Sebaiknya
partai tidak hanya tiga. Tapi Pak Harto tidak membolehkan ada
partai baru lagi," tambahnya.
Namun Kiai Ali menasihatkan agar warga NU tidak putus asa.
"Meskipun sedikit jadilah ikannya. Dan mereka yang bariyak biar
jadi lautnya," ujarnya.
Kekecewaan para tokoh NU itu tampaknya menimbulkan pemikiran di
antara sebagian mereka untuk mengubah wajah dan penampilan NU:
NU agar menarik diri secara resmi dari kegiatan politik praktis.
ltu berarti NU akan menjadi suatu ormas saja dan bukannya salah
satu unsur PPP.
Pemikiran seperti itu ternyata juga berkembang di kalangan warga
NU di daerah. Ketua NU wilayah Ja-Tim, KH Abdullah Siddiq,
termasuk seorang Ulama NU yang melihat banyak kerugian NU sejak
organisasi ini terlibat dalam politik praktis. "Dulu tidak ada
itu rebutan kursi," katanya. Diakuinya pendapat agar sebaiknya
NU tidak terlibat dalam soal politik semakin kuat. "Tapi masih
harus dibicarakan lebih, besar mana manfaat dan madlaratnya,"
sambungnya.
Menurut Abdullah Siddiq, persoalan penting yang masih menjadi
persoalan adalah: siapa yang bakal mewakili umat kalau NU
menarik diri dari politik praktis. "Jangan-jangan lantas orang
seperti Sudardji itu yang membawakan aspirasi umat. Kalau
misalnya sudah. ada pihak yang membawakan aspirasi itu, NU jauh
lebih baik menarik diri dari politik praktis," katanya.
Pendapat seperti itu agaknya tersebar di banyak tempat. Di
Bandung ada H. Odang Kahfi, aktivis NU yang bersama kelompoknya
ingin "memurnikan NU." "Seharusnya NU kembali ke bentuknya
semula ketika didirikan KH Hasyim Assyari," kata Odang, putra KH
Achmad Dimyati yang pernah menjadi murid KH Hasyim Assyari.
Usaha Odang dimulai Maret 1981 dengan cara menginventarisasikan
semua wakaf NU di Bandung.
Karena dilakukan menjelang Pemilu, ada yang menyangka kelompok
Odang menginginkan kursi hingga kemudian muncul tawaran untuk
mengangkatnya menjadi calon. "Semua kami tolak. Kami ingin
menyatakan, tak semua orang mau bekerja untuk NU hanya karena
mau kursi," kata Odang. Banyak orang dinilai Odang masuk NU
untuk memperoleh kursi hingga saling sikut dan mengkhianati
kawan.
Karena itu Odang dkk ingin NU menjadi seperti Muhammadiyah.
Muhammadiyah katanya mirip NU ketika pertamakali didirikan.
"Lihat sekarang Muhammadiyah punya sekolah dan rumah sakit di
mana-mana. NU punya apa?" kata Odang kesal.
TOKOH pemikir NU, Abdurrahù man Wahid, mengakui adanya arus
bawah seperti itu yang tidak begitu terlihat oleh orangluar.
"Arus bawah itu adalah kehendak untuk memberikan tekanan pada
kegiatan sosial-keagamaan," ujarnya. Selama ini "sayap politik"
NU berhasil menempatkan orientasi politis dalam kedudukan
komplementer terhadap orientasi sosial-keagamaan. Ini antara
lain juga terdorong oleh seringnya NU dihadapkan pada
tantangan-tantangan politis pihak luar yang memaksa para ulama
di pesantren merumuskan pendapat di bidang politis.
Hingga seolah-olah orientasi politik ini yang dominan. Padahal
kebutuhan akan orientasi sosial-keagamaan juga berkembang pesat
di bawah permukaan. Ini bisa membuat semakin santernya tuntutan
dari bawah untuk melakukan tindakan "banting setir". Sebab itu,
menurut Abdurrahman, "Orientasi kegiatan NU di masa depan jelas
akan mengalami perubahan fundamental."
Apakah NU nanti jadi bergerak ke arah itu tentu saja masih harus
ditunggu. Rupanya pimpinan NU sekarang lebih memusatkan
perhatian pada soal bagaimana menghadapi masalah daftar
pencalonan yang lebih di depan mata. Sikap NU tampaknya akan
dilandasi sikap dasar: bagaimana memelihara martabat NU dan
menghindari kotfrontasi terbuka dengan pemerintah. Namun tetap
menunjukkan sikap tegas pada hal yang dianggap merugikan NU.
Tampaknya ada beberapa kemung kinan yang bisa dipilih. Yang
pertama: Ketua Umum NU dan Rais Tsani mengundurkan diri dari
jabatan di DDP PPP. Yang kedua, anggota PB NU diminta menarik
diri dari pencalonan. Kalau ada yang tetap memilih duduk di DPR,
mereka akan dikeluarkan dari kepengurusan PB NU. Sikap keras
bisa juga diambil: pengunduran diri seluruh warga NU dari PPP
atau pernyataan formal NU keluar dari PPP.
Beberapa kemungkinan itu agaknya akan dibicarakan dalam rapat
pleno PB NU 5 November. "Sikap yang lebih jelas lagi akan
diambil setelah pengumuman daftar calon sementara 27 November,"
kata seorang pimpinan NU. Namun sikap yang bakal diambil itu
belum final. "Sikap final akan dikeluarkan setelah melihat
daftar calon tetap bulan Januari atau Februari nanti,"
lanjutnya.
Kabarnya dalam salah satu pertemuan pimpinan NU, Presiden PPP
Idham Chalid didesak untuk meminta pertanggunganjawab Ketua Umum
J. Naro atas tindakan sepihaknya dan memecatnya jika
pertanggunganjawabnya dinilai tidak memuaskan.
Tuntutan untuk memecat Naro ini bukan barang baru. Pada 26
Oktober lalu sekitar 60 pemuda yang menamakan dirinya Generasi
Muda Persatuan Pembangunan (GMPP) DKI Jakarta mendatangi kantor
pusat PPP di Jalan Diponegoro. Di depan pimpinan partai Nurhasan
Ibnuhadjar dan Jusuf Hasjim, kelompok yang dipimpin Kaharuddin
Jusuf itu memprotes kemelut yang melanda PPP. Mereka menolak
daftar calon PPP yang ditentukan satu unsur dan menuntut agar
Naro dan Sudardji--yang dianggap penyebab kemelut dalam PPP -
mundur dari pimpinan partai.
Pemecatan memang sudah terjadi dalam PPP. Berdasar SK PP-MI 26
Oktober lalu yang ditandatangani Ketua Sudardji dan Wakil Sekjen
Ali Tamin, Djadil Abdullah diberhentikan dengan tidak hormat
dari jabatannya sebagai Ketua PPMl dan segala jabatannya dalam
organisasi.
Djadil, menurut Sudardji, dinilai menyimpang dari garis politik
dan perjuangan MI. "Kesalahannya fatal dan tak terampuni,"
katanya. Misalnya ia secara tak beralasan menolak dicalonkan
untuk daerah pemilihan Sulawesi Tenggara. "Juga ia ikut mendesak
agar Pak Naro mundur dari jabatannya sebagai ketua umum," kata
Sudardji.
Yang juga akan dipecat adalah Sugian Siwang, salah seorang
pimpinan MI Sumatera Selatan. Sugian bulan lalu ikut
menandatangani pernyataan DPW PPP Sum-Sel yang menuntut agar J.
Naro diganti Djadil Abdullah sebagai Ketua Umum PPP.
Djadil menolak pemecatannya. "SK itu tidak sah karena
bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam MI. Di samping
itu bukan kompetensi mereka untuk membuat SK itu. Saya masuk
partai ini dengan SK Presiden tahun 1977," kata Djadil. Pada
1977 Djadil adalah Ketua Umum PB SNII (Serikat Nelayan Islam
Indonesia), salah satu dari 16 ormas yang tergabung Parmusi.
Menilik semua itu, jelas akibat pertikaian NU dan MI semakin
meluas. Wajah politik Indonesia bisa berubah jika NU bersikap
keras dan menarik calon-calon mereka. Apakah itu yang bakal
terjadi, kita tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini