Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

NU Akan Bilang Selamat Tinggal ?

Daftar calon anggota DPR yang diajukan ketua J. Naro menimbulkan reaksi keras di kalangan NU, pengurangan jatah kursi NU dianggap bencana. Timbul pemikiran warga NU untuk menarik diri dari kegiatan politik.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI luar semuanya nampak beres. Pagi 27 Oktober itu Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan J. Naro menghatap Ketua Lembaga Pemilu Amirmachmud di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Naro didampingi Ali Tamin, A. Malik dan Ismail Hasan Metareum--semuanya pimpinan unsur Muslimin Indonesia. Mereka datang menyerahkan daftar calon Pemilu 1982 yang batas waktunya 27 Oktober tersebut. Amirmachmud kabarnya gembira tatkala mendengar penyusunan daftar itu dilakukan setelah melalui pertemuan "informal" dengan unsur-unsur dalam PPP. Setengah jam kemudian, bersama angota LPU lain, Arnirmaud menemui Presiden Soeharto dan Graha melaporkan keberhasilan itu. Seusai pertemuan, Menpen Ali Moertopo menyebutkan, daftar calon sementara PPP ini diselesaikan "secara demokratis dan dinamis". Sedang Mendagri Amirmachmud mengatakan, daftar calon itu berhasil diselesaikan "karena jiwa besar dan kedewasaan PPP yang menganut sistem musyawarah dan mufakat". Namun benarkah semuanya telah beres? Hari itu juga muncul bantahan dari pihak NU. "Daftar itu dibuat Naro sendiri secara sepihak tanpa sepengetahuan presidensi atau pimpinan, partai lainnya," kata Ketua I PB NU dan anggota DPP PPP Jusuf Hasjim. Jusuf mengetahuinya setelah ia menanyakan antara lain pada Presiden PPP Idham Chalid, Wakil Ketua Umum Nuddin Lubis dan K.H. Masykur--Ketua Majelis Pertimbangan PPP. Bisa dimengerti bila pihak NU memprotes. Dalam daftar yang diserahkan Naro itu "jatah" NU dikurangi: dari 56 kursi DPR yang dimiliki sekarang menjadi 49. Jumlah ini sesuai dengan saran Ketua LPU Amirmachmud dalam pertemuan konsultasi dengan DPP PPP 16 Oktober, agar NU bersedia melepas 7 kursi yang didudukinya sekarang. Pengurangan ini ditentang keras pihak NU yang-seperti ditegaskan dalam keputusan Munas Ulama NU di Kaliurang -- ingin mempertahankan status quo komposisi seperti hasil Pemilu 1977. Pihak Naro membela diri. "NU tak perlu khawatir dengan daftar calon yang diajukan Pak Naro sebab yang telah ditempuh Ketua Umum adalah hal yang bijaksana, untuk menyelamatkan PPP," kata Ali Tamin, Wakil Sekjen MI. Tapi diakuinya susunan daftar calon itu sesuai dengari saran Ketua LPU: 49 kursi untuk NU, 30 kursi buat MI, 15 untuk SI dan 5 untuk Perti. Ketua MI Soedardji juga membantah penyusunan daftar itu dilakukan Naro secara sepihak. "Lho kalau sepihak kan Pak Naro akan mengajukan susunan dengan komposisi yang dikehendaki pihak MI. Susunan itu sebenarnya jauh dari harapan kami," ujarnya Senin lalu. Menurut dia MI sebetulnya menghendaki komposisi pembagian 40% untuk NU, 40% MI dan sisanya yang 20% dibagi SI dan Perti. Tidak jelas . mengapa Amirmachmud menyarankan dikuranginya jatah NU dengan 7 kursi. Kabarnya dalam suatu pertemuan, Mendagri pernah mengatakan, "NU telah menyakiti hati pemerintah." Apakah yang dimaksud adalah sikap NU yang "keras ' seperti walk-out dalam sidang MPR 1978? Namun sikap resmi pemerintah yang ditegaskan berulangkali tidak ingin mencampuri masalah intern PPP. Menurut berbagai sumber TEMPO penyusunan "daftar Naro" itu dimulai 25 Oktober oleh empat orang pimpinan MI: Darussamin, Ali Tamin, Ismail Hasan Metareum dan A. Malik. Mereka menyusunnya di kantor PP-MI di Jalan Kebon Binatang, Jakarta. Esoknya daftar ini dibawa ke rumah Naro untuk dibahas. Rupanya malam sebelumnya Naro menerima "titipan" daftar dari NU dari Presiden PPP Idham Chalid lewat telepon, berisi nama-nama kiai yang diminta menjadi calon jadi. Konon Nuddin Lubis dan Chalid Mawardi juga datang ke rumah Naro untuk "berkonsultasi". Di samping itu kabarnya ada juga titipan dari M. Th. Gobel, Ketua SI, menyangkut calon Ismail Mokobombang yang diminta dipindahkan dari daerah pemilihan Ja-Tim ke Ja-Teng. Akibat adanya "pesan sponsor" itu daftar susunan calon terpaksa diubah. Keempat tokoh MI itu kemudian menyusun kembali daftar di kantor LPU Jalan Matraman Raya. Sekitar pukul 08.00 tanggal 27 Oktober daftar calon itu selesai diketik. Setengah jam kemudian daftar tersebut diserahkan kepada Amirmachmud. Ternyata tidak semua pimpinan PPP mengetahui penyerahan daftar itu. Misalnya Djadil Abdullah, Wakil Ketua DPP PPP dan salah satu Ketua PP-MI. "Tanggal 27 Oktober pagi itu kami baru memikirkan untuk menyusun," katanya. Mula-mula ia merundingkannya dengan beberapa tokoh NU seperti Jusuf Hasim. Menurut Djadil, ia semula menyodorkan konsepnya yang sesuai dengan saran Ketua LPU: 49 kursi untuk NU dan 50 kursi dibagi MI, SI dan Perti. Pihak NU menolak hingga Djadil lantas mempersilakan NU menyusun daftar sendiri, yang kemudian disusun Jusuf Hasjim, Chalik Ali dan Saifuddin Zuhri. "Supaya tak ributlah," kata Djadil. Namun ia menolak anggapan ia telah bekerjasama dengan NU. "Saya waktu itu tidak tahu bahwa Ketua Umum DPF telah mengajukan daftar," katanya lagi Pendekatannya pada pihak NU rupanya guna memperoleh dukungan untuk menyingkirkan Naro. "Kalau Naro bisa di singkirkan pasti suasana jadi segar dar saya yakin simpati masyarakat pada PPP kembali timbul. Hingga PPP nantinya bisa mendapat tambahan suara," ujarnya. Daftar versi NU yang disusun di kan tor PB-NU Jalan Kramat Raya itu selesai sekitar pukul 14.00. Jusuf Hasjim meminta Djadil menandatanganinya' "Semula saya tanyakan pada Pak Jusuf kenapa tidak Presiden Partai yang teken tapi menurut dia Presiden Partai telah memberi petunjuk agar saya yang meneken," kata Djadil. "Artinya atas restu Pak Idham seperti dikatakan Jusuf Hasjim," lanjutnya. MEREKA kemudian menghubungi Amin Iskandar, anggota F-PP yang menjadi anggota Panitia Pemilihan Indonesia/ Wakil Ketua Dewan Pengawas LPU. "Saya semula diminta menghubungi LPU untuk mengantar mereka. Setelak saya hubungi, Ibnu Saleh bersedia menerimanya. Dan, saya sama sekali tidak tahu kalau Naro pagi harinya sudah mnyerahkan daftar," kata Amin Iskandar Senin lalu. Ibnu Saleh adalah pejabat Depdagri yang menjadi Sekretaris LPU. Begitulah sore itu Amin Iskandar mendampingi Djadil Abdullah, Jusuf Hasjim dan Zamroni pergi ke LPU. Ternyata Ibnu Saleh tak ada di tempat. Mereka hanya sempat ditemui beberapa petugas yang merasa tak berwenang menerima penyerahan daftar. Sampai pukul 17.30 mereka menunggu. "Karena tak ada yang mau menerima, ya saya bawa daftar itu pulang lagi," cerita Djadil. Djadil kemudian meminta Jusuf Hasjim melaporkan semuanya pada Idham Chalid. Malam itu juga Idham Chalid menelepon Djadil dan antara lain Idharn mengatakan ia telah menerima laporan Jusuf Hasjim. Pada Idham, Djadil mengembalikan segala sesuatunya kepada Presiden Partai. "Persisnya saya katakan bahwa jangkauan tangan saya hanya sampai di sini. Bola saya kembalikan pada Pak Idham sebab ini sudah permainan tingkat tinggi," tutur Djadil. Menurut dia Idham hanya menjawab soal itu sedang dirapatkan di rumahnya. Adanya rapat di rumah Idham Chalid 27 Oktober malam itu dibenarkan Jusuf Hasjim. Yang hadir antara lain K.H. Masykur, Jusuf Hasjim, Nuddin Lubis, Munasir dan Abdurrahman Wahid. "Rapat itu dimaksud untuk mengambil keputusar sikap NU: apa yang diputuskan Naro adalah tindakan sepihak," kata Jusuf Hasjim. Sikap NU tersebut rupanya secara resmi tak pernah disampaikan pada LPU. Menurut Mendagri Amirmachmud Sabtu lalu, ia belum pernah menerima protes terhadap daftar calon yang diajukan Naro. Daftar itulah yang dianggap pemerintah resmi dan sah. Prapto Prayitno, Dirjen Sospol epdagri yang menjabat Ketua Tim Peneliti LPU, pada TEMPO menegaskan tidak tahu ada daftar calon lain kecuali yang telah diserahkan Naro. "Kalaupun ada daftar lain, daftar yang diserahkan Narolah yang dinilai bisa dipercaya sebab diserahkan dan ditandatangani oleh Ketua Umum DPP," katanya. Daftar inilah yang oleh timnya akan diteliti keabsahannya. Terhadap keberatan pada daftar yang diserahkan Naro itu, Prapto Prayitno mengomenuri "Kalau mau mengajukan keberatan ya jangan kemari, tapi pada pimpinan partai. Sebab itu kan masalah intern." Daftar calon yang disusun Naro dkk. ternyata sampai awal pekan ini belum diketahui unsur lain dalam PPP. Terhadap daftar ini tangggapan mereka berbeda-beda. Barlianta Harahap dari SI yang mengaku belum melihat daftar susunan Naro itu bisa mengerti langkah yang ditempuh Naro. "Karena sudah janji, pimpinan PPP memang bertanggung jawab untuk itu, terlepas dari siapa yang menyusun daftar itu," kata Barlianta. Namun menurut dia, lebih bijaksana bila sebelum diserahkan pada Mendagri daftar itu dibicarakan dahulu dengan fungsionaris lainnya dalam pimpinan pusat partai. Yang dianggapnya berwenang mengisi dan menyusun urutan daftar calon ialah pimpinan pusat. Sedang menurut Anggaran Dasar yang dimaksud pimpinan partai adalah 14 orang mulai dari ketua umum sampai para anggota DPP. Ketua unum, katanya, bisa saja menyusun daftar urutan. Tapi harus dibawa dalam rapat dewan pimpinan partai untuk dibicarakan dan diputuskan. "Sepanjang pengetahuan saya ketua umum belum pernah menempuh jalan seperti itu," kata Barlianta. Pada 24 Oktober lalu SI mengirim surat pada DPP, meminta diadakan rapat guna membicarakan susunan daftar calon, namun tak ada tanggapan. Terhadap daftar lain yang dibawa Jusuf Hasjim ke LPU, Barlianta menilainya sama dengan yang disusun Naro. "Kualifikasinya sama. Artinya disusun sendirian tanpa mengundang pihak lain," katanya. Ia mengusulkan agar diselenggarakan rapat DPP guna mendengar laporan Naro, hingga bisa dinilai apakah langkah ketua umum dinilai benar atau salah. Pihak Perti tampaknya bisa menerima daftar susunan Naro. "Kami cuma berpendapat lebih bermanfaat diam," kata seorang tokoh Perti. Kalaupun ada nama calon Perti yang tidak sesuai, toh nanti ada kesempaun untuk memperbaiki. Singkatnya "Bagi Perti masalah daftar calon sudah tidak menjadi masalah lagi," ujar Nurhasan Ibnuhajar, Ketua II Perti. Daftar calon yang telah disampaikan pada LPU memang masih bersifat sementara. Daftar ini pada 27 November mendatang akan diumumkan dan masih bisa diperbaiki. Daftar calon tetap baru akan diumumkan sekitar akhir Januari 1982. Tampaknya, masih terbukanya kemungkinan mengubah susunan daftar calon itu yang membuat masalah ini-teruuma pertikaian antara NU dan MI "meledak". Namun dari dalam kubu NU terdengar reaksi yang makin keras. Buat organisasi yang sering diejel sbagai "kelompok santri" ini pengurangan "jatah". 7 kursi DPR mereka dianggap pukulan keras. Bahkan Wakil Ketua DPR K.H. Masykur yang selama ini dianggap tokoh NU yang lunak menganggap peristiwa itu sebagai "bencana" bagi NU. "Ini peristiwa paling naas bagi NU," katanya Minggu lalu. Menurut Masykur, bukan jumlah dan urutan yang menjadi persoalan bagi NU. "Tapi NU tidak mau diajak awur-awuran. Kalau kami diajak menyalahi hukum, walaupun hukum itu dibikin sendiri, terus terang berat buat NU," ujar tokoh yang berusia 81 tahun itu. Dan hukum itu menurut dia adalah Munas Dewan Partai 1975 yang menghasilkan komposisi pembagian kursi DPR yang ada sekarang ini. Masykur menolak dalih unsur non-NU yang menganggap keputusan Dewan Partai itu hanya berlaku buat Pemilu 1977 saja. "Seperti konsensus kursi untuk ABRI kan tidak berlaku untuk sekali pemilu saja." Begitu pula keputusan tahun 1975 itu tetap dianggapnya memiliki kekuatan hukum sepanjang belum dihapus oleh hukum baru. "Prinsip untuk tidak menjadi munafik bagi NU amat dipegang. Prinsip itu ialah: jika berkata harus benar dan jujur. Jika berjanji harus ditepati dan jika dipercaya tidak berkhianat," kata Masykur. BAGAIMANA seriusnya masalah V ini bagi NU bisa dilihat pula dari kesibukan pimpinan organi sasi itu berembuk. Minggu malam lalu di rumah Masykur diselenggarakan pertemuan yang dihadiri sekitar 15 pucuk pimpinan NU termasuk Rais Aam Kiai Ali Ma'shum, Wakil Rais Aam Anwar Musaddad, Idham'Chalid, Saifuddin Zuhri, Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi dan Abdurr.ahman Wahid. Esoknya rapat diteruskan di kantor PB-NU. Belum keluar keputusan kecuali kesepakatan untuk menyelenggarakan rapat lengkap PB-NU Kamis 5 November. Alasannya: masalahnya terlalu besar untuk diputuskan keputusan PB-NU harian. Sebelum berangkat ke Jakarta 1 November lalu, Rais Aam Ali Ma'shum sempat ditemui TEMPO di pesantrennya di Yogyakarta. Walau merasa tak berhak dan sejak dipilih menjadi Rais Aam Kiai Ali tak mau mencampuri soal politik, namun ia tampak "panas" tatkala mengomentari daftar yang diserahkan Naro. "Kalau keadaan seperti ini terus menerus, NU selalu konyol bila tetap di PPP," katanya. "Sebaiknya NU membentuk partai baru. Jika ini terjadi, 80 persen umat Islam akan lari ke NU," katanya yakin. "Sebaiknya partai tidak hanya tiga. Tapi Pak Harto tidak membolehkan ada partai baru lagi," tambahnya. Namun Kiai Ali menasihatkan agar warga NU tidak putus asa. "Meskipun sedikit jadilah ikannya. Dan mereka yang bariyak biar jadi lautnya," ujarnya. Kekecewaan para tokoh NU itu tampaknya menimbulkan pemikiran di antara sebagian mereka untuk mengubah wajah dan penampilan NU: NU agar menarik diri secara resmi dari kegiatan politik praktis. ltu berarti NU akan menjadi suatu ormas saja dan bukannya salah satu unsur PPP. Pemikiran seperti itu ternyata juga berkembang di kalangan warga NU di daerah. Ketua NU wilayah Ja-Tim, KH Abdullah Siddiq, termasuk seorang Ulama NU yang melihat banyak kerugian NU sejak organisasi ini terlibat dalam politik praktis. "Dulu tidak ada itu rebutan kursi," katanya. Diakuinya pendapat agar sebaiknya NU tidak terlibat dalam soal politik semakin kuat. "Tapi masih harus dibicarakan lebih, besar mana manfaat dan madlaratnya," sambungnya. Menurut Abdullah Siddiq, persoalan penting yang masih menjadi persoalan adalah: siapa yang bakal mewakili umat kalau NU menarik diri dari politik praktis. "Jangan-jangan lantas orang seperti Sudardji itu yang membawakan aspirasi umat. Kalau misalnya sudah. ada pihak yang membawakan aspirasi itu, NU jauh lebih baik menarik diri dari politik praktis," katanya. Pendapat seperti itu agaknya tersebar di banyak tempat. Di Bandung ada H. Odang Kahfi, aktivis NU yang bersama kelompoknya ingin "memurnikan NU." "Seharusnya NU kembali ke bentuknya semula ketika didirikan KH Hasyim Assyari," kata Odang, putra KH Achmad Dimyati yang pernah menjadi murid KH Hasyim Assyari. Usaha Odang dimulai Maret 1981 dengan cara menginventarisasikan semua wakaf NU di Bandung. Karena dilakukan menjelang Pemilu, ada yang menyangka kelompok Odang menginginkan kursi hingga kemudian muncul tawaran untuk mengangkatnya menjadi calon. "Semua kami tolak. Kami ingin menyatakan, tak semua orang mau bekerja untuk NU hanya karena mau kursi," kata Odang. Banyak orang dinilai Odang masuk NU untuk memperoleh kursi hingga saling sikut dan mengkhianati kawan. Karena itu Odang dkk ingin NU menjadi seperti Muhammadiyah. Muhammadiyah katanya mirip NU ketika pertamakali didirikan. "Lihat sekarang Muhammadiyah punya sekolah dan rumah sakit di mana-mana. NU punya apa?" kata Odang kesal. TOKOH pemikir NU, Abdurrahù man Wahid, mengakui adanya arus bawah seperti itu yang tidak begitu terlihat oleh orangluar. "Arus bawah itu adalah kehendak untuk memberikan tekanan pada kegiatan sosial-keagamaan," ujarnya. Selama ini "sayap politik" NU berhasil menempatkan orientasi politis dalam kedudukan komplementer terhadap orientasi sosial-keagamaan. Ini antara lain juga terdorong oleh seringnya NU dihadapkan pada tantangan-tantangan politis pihak luar yang memaksa para ulama di pesantren merumuskan pendapat di bidang politis. Hingga seolah-olah orientasi politik ini yang dominan. Padahal kebutuhan akan orientasi sosial-keagamaan juga berkembang pesat di bawah permukaan. Ini bisa membuat semakin santernya tuntutan dari bawah untuk melakukan tindakan "banting setir". Sebab itu, menurut Abdurrahman, "Orientasi kegiatan NU di masa depan jelas akan mengalami perubahan fundamental." Apakah NU nanti jadi bergerak ke arah itu tentu saja masih harus ditunggu. Rupanya pimpinan NU sekarang lebih memusatkan perhatian pada soal bagaimana menghadapi masalah daftar pencalonan yang lebih di depan mata. Sikap NU tampaknya akan dilandasi sikap dasar: bagaimana memelihara martabat NU dan menghindari kotfrontasi terbuka dengan pemerintah. Namun tetap menunjukkan sikap tegas pada hal yang dianggap merugikan NU. Tampaknya ada beberapa kemung kinan yang bisa dipilih. Yang pertama: Ketua Umum NU dan Rais Tsani mengundurkan diri dari jabatan di DDP PPP. Yang kedua, anggota PB NU diminta menarik diri dari pencalonan. Kalau ada yang tetap memilih duduk di DPR, mereka akan dikeluarkan dari kepengurusan PB NU. Sikap keras bisa juga diambil: pengunduran diri seluruh warga NU dari PPP atau pernyataan formal NU keluar dari PPP. Beberapa kemungkinan itu agaknya akan dibicarakan dalam rapat pleno PB NU 5 November. "Sikap yang lebih jelas lagi akan diambil setelah pengumuman daftar calon sementara 27 November," kata seorang pimpinan NU. Namun sikap yang bakal diambil itu belum final. "Sikap final akan dikeluarkan setelah melihat daftar calon tetap bulan Januari atau Februari nanti," lanjutnya. Kabarnya dalam salah satu pertemuan pimpinan NU, Presiden PPP Idham Chalid didesak untuk meminta pertanggunganjawab Ketua Umum J. Naro atas tindakan sepihaknya dan memecatnya jika pertanggunganjawabnya dinilai tidak memuaskan. Tuntutan untuk memecat Naro ini bukan barang baru. Pada 26 Oktober lalu sekitar 60 pemuda yang menamakan dirinya Generasi Muda Persatuan Pembangunan (GMPP) DKI Jakarta mendatangi kantor pusat PPP di Jalan Diponegoro. Di depan pimpinan partai Nurhasan Ibnuhadjar dan Jusuf Hasjim, kelompok yang dipimpin Kaharuddin Jusuf itu memprotes kemelut yang melanda PPP. Mereka menolak daftar calon PPP yang ditentukan satu unsur dan menuntut agar Naro dan Sudardji--yang dianggap penyebab kemelut dalam PPP - mundur dari pimpinan partai. Pemecatan memang sudah terjadi dalam PPP. Berdasar SK PP-MI 26 Oktober lalu yang ditandatangani Ketua Sudardji dan Wakil Sekjen Ali Tamin, Djadil Abdullah diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya sebagai Ketua PPMl dan segala jabatannya dalam organisasi. Djadil, menurut Sudardji, dinilai menyimpang dari garis politik dan perjuangan MI. "Kesalahannya fatal dan tak terampuni," katanya. Misalnya ia secara tak beralasan menolak dicalonkan untuk daerah pemilihan Sulawesi Tenggara. "Juga ia ikut mendesak agar Pak Naro mundur dari jabatannya sebagai ketua umum," kata Sudardji. Yang juga akan dipecat adalah Sugian Siwang, salah seorang pimpinan MI Sumatera Selatan. Sugian bulan lalu ikut menandatangani pernyataan DPW PPP Sum-Sel yang menuntut agar J. Naro diganti Djadil Abdullah sebagai Ketua Umum PPP. Djadil menolak pemecatannya. "SK itu tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam MI. Di samping itu bukan kompetensi mereka untuk membuat SK itu. Saya masuk partai ini dengan SK Presiden tahun 1977," kata Djadil. Pada 1977 Djadil adalah Ketua Umum PB SNII (Serikat Nelayan Islam Indonesia), salah satu dari 16 ormas yang tergabung Parmusi. Menilik semua itu, jelas akibat pertikaian NU dan MI semakin meluas. Wajah politik Indonesia bisa berubah jika NU bersikap keras dan menarik calon-calon mereka. Apakah itu yang bakal terjadi, kita tunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus