Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pentas habibie dan wajah petisi

Menteri mengundang anggota petisi 50 ke pt pal surabaya setelah dilaporkan ke presiden. pengamat menganggapnya sebagai showtime habibie untuk merangkul kaum pengritik. pemerintah belum melihat ada perubahan berarti di kalangan pembangkang?

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanjungperak tepi laut, siapa suka boleh ikut SEBAIT pantun lagu populer itu sangat tepat menggambarkan peristiwa penting di Dermaga Timur PT PAL Surabaya, Kamis pekan lalu. Di Pelabuhan Tanjungperak, Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie menjamu bekas Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin, tokoh ''oposisi'' dari kelompok Petisi 50. Adalah Menteri Habibie yang melantunkan ajakan ''siapa suka boleh ikut'' itu. Dan Ali Sadikin pun tak menampik tawaran Habibie. Sejak Petisi 50 ditandatangani 13 tahun lalu, baru pertama kali inilah seorang pembantu Presiden Soeharto mengundang kelompok yang dianggap berdiri di ''seberang'' itu (lihat Dulu Pembangkang, Kini Diundang). Kalau Habibie hanya mengundang Ali Sadikin, mungkin tak istimewa. Ali punya kaitan sejarah dengan PAL. Pada 1959, sebagai Deputi Administrasi Menteri Angkatan Laut (yang ketika itu dijabat Laksamana Martadinata), Ali ikut mengelola PAL. Setelah itu, kata Ali, dia sudah 30 tahun lebih tak menginjak PAL. Maka, langkahnya ke sana kali ini agaknya istimewa. Karena, bersama Ali ikut lima orang ''pentolan'' Petisi 50, yaitu Anwar Harjono, Marsda (Pur.) Suyitno Sukirno, Chris Siner Key Timu, Wachdiat Sukardi, dan Radjab Ranggasoli. Bersama Ali, lima orang ini adalah tulang punggung kelompok kerja Petisi 50. Dua anggota kelompok kerja lainnya, bekas Kapolri Jenderal (Pur.) Hoegeng, dikabarkan sedang menderita sakit dan Mayjen (Pur.) Aziz Saleh tengah menunaikan ibadah haji. Bersama rombongan Petisi 50, hadir pula sejumlah jenderal purnawirawan. Di antaranya, bekas Pangkopkamtib Soemitro, bekas Pangkopkamtib dan Menko Polkam Sudomo, mantan Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, dan mantan Dubes untuk Amerika Serikat Hasnan Habib. Sedangkan mantan Dubes di Jepang Sayidiman Suryohadiprojo disebut-sebut yang melicinkan jalan ke PAL itu. Acara sebenarnya adalah penyerahan dua buah kapal Caraka Jaya buatan PAL kepada PT Pan Multi Finance. Tak terlalu menarik untuk pers karena bukan pertama kali PAL memasarkan produknya. Anehnya, pihak PAL hati-hati memasukkan wartawan dengan alasan itu cuma acara intern. Beberapa wartawan yang telanjur nongol di PAL perlu di-briefing dulu agar memilah-milah mana berita yang harus ditulis. Mereka lantas digiring ke Dermaga Timur begitu rombongan Ali Sadikin masuk. Ketegangan baru mencair setelah rombongan Ali dan Habibie berangkat dengan pesawat carter Fokker 100 milik Pelita Air Service dari Bandara Halim, Jakarta mengambil tempat duduk di Dermaga Timur. Habibie, yang mengenakan setelan warna putih dadu dengan topi warna yang sama, tampak sibuk menyilakan tamu-tamunya duduk. ''Duduk di sini saja, Pak,'' kata Habibie meminta Ali duduk di sampingnya. Dia merangkul punggung Ali dengan luwesnya, sementara Ali hanya bisa tertawa melihat tingkah anak Gorontalo itu. Habibie memang tampak sangat bersemangat menyenangkan tamunya, terutama Ali. Ketika tiba acara penekanan tombol peluncuran dua kapal Caraka Jaya, Habibie menyilakan Ali Sadikin menggantikannya memencet tombol. Ini di luar skenario, rupanya. Terpaksa tombol ''milik'' Dirut PT Pan Multi Finance diserahkan kepada bekas Menko Polkam Sudomo. Toh tak ada yang kesal, semua tertawa. Dan Habibie pun bertepuk tangan riang. Pidato Habibie pun terdengar seperti hanya ditujukan ke Ali Sadikin. Wartawan TEMPO yang merekam isi pidato Habibie mendengar ada 22 kali Habibie menyebut nama ''Pak Ali Sadikin'', sementara ''Pak Sudomo'' hanya sekali diucapkan. Dia menjelaskan bahwa setahap demi setahap manusia Indonesia mampu membuat kapal sendiri. Seolah ingin menangkis kritik soal mutu kapal buatan PAL. Habibie menjelaskan bahwa pada tahap pembuatan lima kapal pertama atau prototipe adalah wajar dijumpai penyakit-penyakit awal. Tapi PAL sudah melewati tahap itu. Selanjutnya, Habibie meminta Ali Sadikin, yang disebutnya sesepuh ABRI dan Angkatan Laut, memberikan sepatah dua kata untuk warga PAL. ''Ditantang'' begitu, Ali Sadikin pun maju ke mimbar. Yang pertama ditanggapinya bukan urusan kapal atau PAL. Ali menjelaskan mengapa dia hadir di PAL setelah 30 tahun lebih tak ke sana. ''Kami hadir di tengah Saudara ini tidak terlepas dari masalah politiklah, begitu,'' ujar Ali dengan dialek Sundanya yang khas. Dia menjelaskan, setelah undangan Dirut PAL diterimanya, dia terus dikejar wartawan, juga rekannya dari Petisi 50. ''Rupanya, di negara ini tak ada rahasia. Diusahakan rahasia, tapi bocor,'' katanya berseloroh. Ali juga menjelaskan bahwa undangan yang diterimanya ini bukanlah suatu rekayasa Habibie. ''Karena undangan itu disampaikan secara spontan,'' katanya. Saat itu, di rumah Jenderal A.H. Nasution, Ali mengkritik Habibie bahwa PAL yang mulanya diperkirakan akan menelan investasi US$ 240 juta menggelembung sampai menghabiskan US$ 700 juta. Pidato Ali kemudian beralih ke soal sejarah keterlibatannya dengan PAL. Pada 1959, Ali sebagai deputi administrasi Menteri AL diberi tugas mencari kapal perang ke Rusia, setelah AS menampik. Ali berhasil membujuk Rusia dan mendapatkan 100 kapal perang yang akan dipakai membebaskan Irian Barat. Setelah itu, ada 9.000 pelaut AL dan pegawai PAL yang dikirim Ali ke berbagai negara. Jadi, AL memang punya peranan besar di PAL. Ali juga mengimbau agar Angkatan Laut merasa bahwa PAL adalah rumahnya sendiri. ''Karena ini merupakan home base dari armada Angkatan Laut Indonesia,'' katanya. Rupanya, ketika Ali Sadikin berpidato, Habibie mendadak harus menerima telepon. Jadi, sejenak dia pergi meninggalkan acara. Namun, ketika pembawa acara akan melanjutkan acara, Habibie tiba-tiba menyambar mikrofon lagi. ''Maaf, Bapak-bapak dan Pak Ali, tadi penjelasan saya kurang lengkap,'' katanya cepat. Dan dia melanjutkan uraiannya panjang lebar, terutama tentang fungsi PAL sebagai home base AL. Setelah usai, Habibie seperti ''menantang'' Ali untuk bicara lagi. Dan letnan jenderal purnawirawan marinir tadi juga tak menolak. ''Ini sudah kepalang tanggung, Pak Habibie,'' kata Ali Sadikin memulai sambutan keduanya. Ali mengharapkan Pemerintah segera merealisasi gagasan yang sudah ada sejak 1960, yaitu menjadikan Teluk Ratai sebagai pangkalan armada barat Angkatan Laut. Adegan selanjutnya: salam-salaman, dan tampak Habibie dan Ali Sadikin berpelukan. ''Saya senang, saya puas,'' kata Habibie menjawab TEMPO. Ali Sadikin pun mengakui, PAL sudah sangat maju. Awal mula ''rujuk'' di PAL ini adalah pertemuan Habibie dan Ali Sadikin di rumah bekas Menteri Hankam Jenderal (Pur.) A.H. Nasution pada Lebaran lalu. Keduanya bukan pertama kali bertemu di rumah Jalan Teuku Umar di Jakarta Pusat itu. Yang menjadi pemicu datangnya undangan Habibie adalah sebuah dialog singkat. Ali Sadikin yang memulai: ''Bie, gimana itu PAL, kok sampai biayanya naik tiga kali lipat, tapi nggak keruan. Mana hasilnya?'' ''Tidak benar itu,'' sanggah Habibie. (Ali bercerita: ''Dia menjawab sambil matanya melotot ke saya.'') ''Kalau tidak benar, itu berita di koran di-counter, dong,'' Ali menantang. ''Kalau begitu, biar jelas, kapan-kapan kita kunjungi PAL,'' ujar Habibie. ''Apa jij berani mengajak saya ke sana?'' Ali menyerang. ''Kenapa tidak berani. Saya berani,'' kata Habibie. Dialog penuh seperti inilah yang kemudian disampaikan Habibie kepada Pak Harto. Konon, Presiden lantas menjawab, adalah tugas Habibie untuk menjelaskan semua proyek teknologi kepada masyarakat tanpa kecuali. Maka, ketika ditanya wartawan TEMPO di PAL apakah Pak Harto tahu kegiatan Habibie, Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan pimpinan lebih dari 20 lembaga teknologi ini menjawab, ''Saya ini orang yang sudah 20 tahun berdampingan dengan Pak Harto. Ya, sudah tentu, dong, Pak Harto tahu acara ini.'' Ini sebuah perkembangan politik baru, bahwa Pak Harto memberikan lampu hijau ke Habibie untuk menerima Petisi 50. Kendati demikian, masih terlalu pagi jika harus dikatakan ''pertemuan'' PAL itu sebagai rekonsiliasi antara Pemerintah dan kelompok pembangkang (dissident). Namun, harus dicatat adanya kemajuan. Sebab, menjelang Sidang Umum MPR lalu, misalnya, Petisi 50 gagal menemui Ketua DPR/MPR Wahono. Sebelumnya, menurut Ali Sadikin, bekas Ketua DPR/MPR Kharis Suhud berjanji akan mempertemukan Petisi 50 dengan Presiden Soeharto. ''Saya sampai perlu bikin dua setelan safari baru, tapi sampai sekarang tak ada dialog,'' kata Ali. Barangkali menarik mengutip pengamatan Marsilam Simanjuntak, bahwa tak perlu tergesa-gesa memberi penilaian politik pada kejadian di Tanjungperak itu. ''Belum tentu ada makna politik apa pun di sini, apalagi dalam hubungan dengan soal demokratisasi,'' kata Direktur Gugus Riset Urusan Publik ini. Anggota Forum Demokrasi itu mengatakan, kalau pertemuan PAL akan dianggap sebagai treatment politik baru Pemerintah pada kaum pembangkang, harus dilihat juga apa yang akan terjadi pada A.M. Fatwa dan H.M. Sanusi dua tokoh disiden yang kini berada di penjara yang konon akan mendapat asimilasi tak lama lagi. Marsilam kemudian mengatakan, ''Saya kira orang-orang Petisi 50 tak akan begitu saja menerima lagu-lagu yang didendangkan Habibie. Tidak bisa saya bilang memang ada perubahan sikap Pemerintah ke pihak-pihak yang bisa dikatakan oposisi terhadap Pemerintah. Maka, undangan ini saya anggap sebagai Habibie's showtime.'' Habibie, menurut Marsilam, mencoba meyakinkan semua pihak bahwa dalam soal teknologi canggih, pertimbangan warna politik tak perlu ikut bicara. Para oposan pun perlu dibuat mafhum. Ketua Forum Demokrasi Abdurrahman Wahid melihat dampak politik pertemuan PAL jelas besar. ''Saya melihatnya ibarat kilatan petir yang sesaat menerangi cuaca gelap. Habis itu, ya, gelap lagi,'' kata Wahid. Dia juga melihat adanya pelunakan sikap dari Pemerintah terhadap kelompok oposisi. Tapi, kata Wahid, ''Apakah ini akan secara fundamental berarti makin cerahnya demokratisasi, menurut saya belum tentu. Syukur, akhirnya Ali Sadikin ''di-orangkan'', Sanusi diringankan. Diharapkan, tahanan politik lain dibebaskan. Kalau itu terjadi, memang betul ada perubahan dalam kehidupan politik.'' Toh diakui Gus Dur begitu dia biasa dipanggil bahwa Pak Harto menerima atau membiarkan namanya dikaitkan dengan Petisi 50, itu menunjukkan derajat sikap toleran kepada barisan pengritik paling tajam. Anggota kelompok pengritik lainnya, H.R. Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi dan Ketua Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat (FKPR), menilai pertemuan PAL itu positif. ''Dalam arti kami bisa diskusi dengan Pemerintah dalam kondisi lebih fair, terbuka, dan tanpa intimidasi,'' kata Dharsono, yang urung berangkat ke Surabaya gara-gara sakit bronkitis. Menurut Sekjen ASEAN pertama ini, pihaknya tak pernah merasa bermusuhan dengan Pemerintah. ''Pemerintah saja yang menganggap kami musuh dan bertentangan. Sampai kami dicekal, nggak boleh ke luar negeri,'' ujarnya. H.M. Sanusi, salah satu penandatangan Petisi 50 yang kini berada di LP Cipinang, jelas menyatakan bahwa langkah Habibie mengundang Ali ke PAL adalah sebuah rekonsiliasi politik. ''Anggapan Petisi 50 sebagai disiden mulai diubah. Tidak perlu dimusuhi lagi, tapi bisa dimanfaatkan. Lebih baik dirangkul,'' kata Sanusi. Chris Siner Key Timu, salah seorang anggota kelompok kerja Petisi 50, berpendapat bahwa urusan Petisi 50 belum selesai sampai pertemuan PAL. ''Biar bagaimana, Presiden Soeharto masih diam, walau saya yakin Habibie sudah melapor kepadanya. Kalau maksud Pemerintah hanya pameran hasil pembangunan, kami ini bukan anak kecil lagi. Kami merasa banyak hal yang belum diselesaikan di negeri ini,'' ujar Chris menjawab TEMPO sepulang dari Surabaya. Perjuangan Petisi 50, tambahnya, terus jalan, yakni memperjuangkan demokrasi. Buat Habibie, inilah langkah politik yang sungguh penting. Setelah mendapat dukungan sebagian kalangan Islam melalui Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), kini Habibie berada di barisan paling depan ''proyek'' Pemerintah berjabat tangan dengan kelompok pengritik. Kalau proyek ini menggelinding, inilah satu lagi credit point buat Habibie. Memang, Habibie adalah menteri yang paling ''luwes'' dan cekatan menangkap gejala perubahan iklim politik. Maka, seperti istilah Marsilam Simanjuntak, orang makin terbiasa dengan ''kelincahan'' gerak Habibie. Dialah orang pertama yang menyebut anggota Petisi 50 sebagai pejuang bangsa, setelah 13 tahun kelompok ini dianggap pembangkang oleh Pemerintah. Sementara itu, jajaran Pemerintah yang lain rupanya masih memakai jurus wait and see. Menko Polkam Soesilo Soedarman menilai pertemuan PAL adalah upaya Habibie menjelaskan berbagai kritik tentang industri kapal yang dipimpinnya. Sikap Pemerintah berubah? ''Sampai sekarang, kok, saya tak melihat dan merasakan adanya perubahan,'' katanya. Dari Mabes ABRI juga ada suara senada. ''Kalau mereka (Petisi 50) masih seperti dulu sikapnya, ya, susah. Belum ada pengaruh apa-apa. Kalau mereka tetap membangkang, ya, jelas nggak bisa, dong,'' kata Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Dijelaskannya, pihaknya sedang menunggu perubahan aturan cekal terhadap Petisi 50, meskipun selama ini untuk urusan pengobatan dan ibadah haji ada izin khusus. Pemerintah jelas tak bisa terus bermusuhan dengan para pengritiknya. Dan sebenarnya upaya ''rujuk'' ini sudah dicoba sejak lima tahun lalu. Menurut Jenderal Nasution, sejak 1988 dia sudah dibujuk Habibie untuk meninjau IPTN tapi upaya ini selalu gagal karena larangan pihak keamanan. Kini, iklim demokrasi menggelinding lebih kencang di mana-mana. Rupanya, Habibie cepat membacanya. Maka, pertemuan di Tanjungperak tadi benar-benar merupakan salah satu pentasnya. Toriq Hadad, Sri Wahyuni, Linda Djalil (Jakarta), Happy Sulistyadi (Bandung), Moebanoe Moera, Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus