Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Langkah baru menuju Beijing

Menteri luar negeri ali alatas diwawancarai tempo tentang normalisasi hubungan Indonesia-Cina. langkah ke tahap normalisasi akan dilaksanakan melalui perutusan tetap (kedubes) masing-masing di PBB.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Luar Negeri Ali Alatas termasuk pejabat tinggi yang banyak dikejar pers belakangan ini. Baru saja selesai menjadi tuan rumah Jakarta Informal Meeting (JIM) II di Jakarta, muncul suatu berita besar yang agak di luar dugaan banyak orang: Presiden Soeharto, setelah menerima Menlu RRC Qian Qichen di Hotel Imperial, Tokyo, Kamis malam silam, setuju untuk menormalkan hubungan kedua negara yang membeku selama 22 tahun. "Normalisasi ini sebenarnya bukan suatu kejutan. Bukan pula sesuatu yang tak direncanakan," kata Alatas. "Usaha ini sudah diketahui sebelum Presiden berangkat ke Tokyo. Ada permintaan dari Beijing melalui perwakilan kita di PBB tentang keinginan Menlu Qian Qichen untuk membicarakan soal ini. Dia juga ingin bertemu Presiden Soeharto. Maka, pihak RRC melakukan pembicaraan awal dengan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang mendampingi Presiden ke Tokyo." Menteri Alatas, yang menerima A. Dahana dan Fikri Jufri dari TEMPO Minggu petang lalu di rumahnya, melanjutkan jawabannya. Beberapa petikan penting dari wawancara itu: Ada pendapat, pertemuan Soeharto-Qian Qichen sedikit banyak merupakan suatu perubahan sikap Jakarta terhadap Beijing. Apa yang terjadi sekarang lebih tepat disebut sebagai suatu langkah penting, suatu hal haru, di dalam proses normalisasi. Sebab, untuk pertama kalinya terjadi seorang pejabat tinggi RRC secara langsung dapat mengemukakan posisi pemerintahnya mengenai masalah normalisasi. Dan menanggapi secara langsung ucapan Presiden Soeharto, yang merupakan persyaratan, seperti diucapkan oleh beliau dalarn pidato pertanggungjawaban di MPR: bahwa RRC bersedia hidup berdampingan secara damai dengan kita, dan tidak akan membantu cita-cita dari sisa-sisa PKI di sini. Bisakah dikatakan kali ini sikap Indonesia lebih aktif dari sebelumnya? Saya melihatnya sebagai suatu proses yang graduil. Anda masih ingat tanggapan wakil menlu Cina sewaktu sidang ESCAP tahun lalu. Banyak ucapannya yang tercatat dan terekam, lalu oleh Presiden dinilai sebagai hal yang lebih menjelaskan suasana. Sejak itu, melalui berbagai saluran dan kesempatan, berbagai pemimpin Cina menyampaikan posisinya. Lalu disambung dengan pertemuan saya dengan Qian Qichen di New York, Oktober silam. Langkah apa saja kiranya yang akan ditempuh oleh kedua pihak? Terus terang, tentang ini saya belum bisa memberi rinciannya. Karena langkah-langkah ke tahap normalisasi akan dilaksanakan melalui Perutusan Tetap (Kedubes) masing-masing di PBB, New York. Dan bila dipandang perlu, bisa dilanjutkan pada tingkat menlu. Para pengamat di luaran biasanya menilai, selalu ada dua pendapat kalau kita berbicara tentang normalisasi dengan RRC: yang pro dan yang kontra. Betulkah? Saya tak mau memasuki itu. Tentunya setiap golongan atau kelompok mempunyai pandangan tersendiri mengenai untung-ruginya normalisasi. Apalagi jika dihubungkan dengan sejarah pembekuan hubungan kedua negeri, yang banyak diliputi rasa pahit. Saya lebih suka menekankan kepada fakta hubungan diplomatik antara kedua negara, dilihat dari praktek hubungan internasional. Ada alasan khusus yang menyebabkan hubungan itu dibekukan selama 20 tahun lebih. Alasan itu kita ketahui bersama. Maka, alasan itu perlu diatasi dulu. Kalau kelak itu teratasi, entah tahun ini atau tahun depan, hubungan diplomatik yang bagaimana yang ingin Anda lihat? Lugas, akrab, atau bagaimana? Saya beranggapan, hubungan diplomatik dengan Cina itu hendaknya ditempatkan dalam proporsi yang wajar saja. Jadi, kita tak perlu mengatakan seolah-olah nanti akan terjalin suatu hubungan yang akrab antara kedua negeri. Apa itu juga berarti kedutaan masing-masing kelak tak perlu memiliki gedung besar, dengan staf yang besar seperti dulu? Ya. adanya normalisasi tak dengan sendirinya berarti bahwa masing-masing harus mempunyai gedung besar, staf yang banyak, lengkap dengan sekuritinya. Sebab, bagaimanaupun, kita harus tetap waspada. Banyak juga yang bertanya, apa sih untung-ruginya membuka dagang seperti sekarang sudah cukup? Saya kira, kita harus melihat secara umum apa keuntungannya. Cina, bagaimanapun, adalah negara besar. Terbesar penduduknya, dan cukup besar pula perannya sebagai negara berkembang. Begitu pula Indonesia. Kita sama-sama berada di suatu kawasan. Dan kawasan ini tengah bergolak, sedang menuju kepada suatu perubahan yang pesat. Baik Cina maupun Indonesia adalah aktor yang sangat aktif dan penting. Maksud Anda? Bukankah ada kepentingan mendasar pada kita untuk memantau dan mengetahui secara langsung apa yang tengah terjadi di Cina? Bagaimana pengembangan policy pemerintah Cina di bidang strategi, politik, dan ekonomi. Itu akan sangat sulit diketahui jika hanya dipantau berdasarkan sumber-sumber media massa, misalnya hanya melalui surat kabar di Hong Kong atau lewat pihak ketiga. Seakrab-akrabnya kita dengan suatu negara lain, mana dia mau memberikan semua informasi yang telah mereka peroleh dengan susah payah melalui kedutaan besarnya di Beijing? Ada pendapat, lamanya pencairan kebekuan antara Beijing dan Jakarta sedikit banyak dipengaruhi lobby Taiwan. Wah, sulit bagi saya untuk menjawabnya. Boleh jadi, ada satu-dua pihak yang merasa dibahayakan. Tapi faktanya sekarang kan, orang dari Taiwan yang malahan berbondong-bondong berkunjung ke Cina. Bisakah normalisasi ini kita gunakan untuk memainkan kartu Kamboja? Kalaupun ada pengaruhnya, saya kira tidak banyak. Sebah, melalui New York, Indonesia terus-menerus mempunyai kontak dengan Cina. Mereka mengetahui apa yang akan kita lakukan, dan yang telah terjadi sewaktu mereka tak hadir. Indonesia sendiri secara reguler mendapat laporan dari pihak Cina, misalnya tenang hasil perundingan RRC dengan Uni Soviet. Jadi. kemungkinan adanya spekulasi bahwa normalisasi ada kaitannya dengan penyelesaian konflik Kamboja, agaknya itu kurang mengena.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus