Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gagap Tersebab Kabut Asap

Penanganan kesehatan korban asap masih buruk. Pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab.

12 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANTREAN panjang terjadi di loket pendaftaran Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus, Palangkaraya, Rabu pekan lalu. Sebagian besar yang datang adalah ibu-ibu yang tengah menggendong bayi. Hingga sore, rumah sakit itu masih kebanjiran calon pasien usia satu bulan sampai sepuluh tahun yang mengalami sakit pernapasan akibat asap.

Karena Bangsal Flamboyan yang menjadi bangsal khusus perawatan anak penuh, pasien yang dianggap gawat diinapkan di ruang unit gawat darurat. Ketika Tempo menyambangi bangsal kelas tiga itu, Rabu pekan lalu, sepuluh tempat tidurnya sudah terisi pasien berusia di bawah delapan tahun. Di antaranya Alika, bayi 8 bulan, yang sudah tiga hari dirawat. "Sebelum ke sini, Alika dirawat di rumah sakit di Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas," kata Rita, ibu bayi tersebut.

Rumah Sakit Doris Sylvanus merupakan satu-satunya rumah sakit di Palangkaraya yang disiapkan untuk menampung anak-anak yang menderita penyakit akibat kabut asap. Rumah sakit milik pemerintah daerah ini menggratiskan semua biaya perawatan. Menurut data rumah sakit tersebut, sebagian besar pasien anak itu menderita infeksi saluran pernapasan akut dan diare. Khusus infeksi saluran pernapasan saja, pada September lalu, Rumah Sakit Doris Sylvanus sudah merawat sedikitnya 130 pasien.

Karena daya tampung rumah sakit ini terbatas, tidak semua pasien bisa ditangani. Walhasil, sebagian warga Palangkaraya yang anaknya terserang penyakit akibat kabut asap terpaksa memilih rumah sakit swasta. Mereka harus merogoh kocek sendiri agar bisa dirawat di sana. "Rumah sakit bukan milik pemerintah tentu saja punya kebijakan sendiri," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Rumah Sakit Doris Sylvanus, Theodorus Sapta Atmaja, Selasa pekan lalu.

Dibanding daerah lain di Indonesia yang sama-sama diterjang kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, tingkat pencemaran udara di Palangkaraya yang paling parah. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, angka harian indeks standar pencemaran udara di kota ini rata-rata 965 atau dua kali lipat di atas kategori bahaya. Bahkan, pada 25 September lalu, Palangkaraya mencetak rekor kawasan yang mengalami serangan kabut asap terburuk di Indonesia tahun ini. Ketika itu, indeks pencemaran udaranya menembus 2.300. Pekatnya kabut asap itu membuat penduduk harus mengenakan masker di dalam rumah.

Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah mencatat, akibat kabut asap selama tiga bulan terakhir, sedikitnya 21 ribu warga Palangkaraya harus dirawat karena terkena infeksi pernapasan dan 6.000 lainnya mengalami diare. Setengahnya adalah anak-anak berusia satu bulan sampai sepuluh tahun.

Kendati banyak bayi yang menderita infeksi pernapasan akibat kabut asap, Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah baru berencana membangun posko penampungan bayi korban kabut asap. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah Suprastija Budi tak mau disalahkan atas keterlambatan tersebut. "Ini tanggung jawab kabupaten," katanya. "Provinsi hanya memfasilitasi."

Dari pantauan Tempo, selama kabut asap melanda Palangkaraya, bisa dibilang tidak ditemukan posko kesehatan dan alat kesehatan di lokasi strategis dan mudah dijangkau. Hal ini kerap menyulitkan penduduk untuk meminta pertolongan. Selama ini hanya tampak relawan dan pegawai pemerintah setempat yang membagi-bagikan masker. Itu pun masker berbahan kain kanvas.

Karena minimnya posko dan alat-alat kesehatan ini, Isna, penduduk di bilangan Jalan Podang, Palangkaraya, memilih mengungsikan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan taman kanak-kanak ke rumah kerabatnya di Banjarmasin, pertengahan September lalu. Ia tidak mau berisiko kedua anaknya yang mempunyai riwayat asma terkena asap. Belum lagi penanganan kondisi darurat kesehatan akibat kabut asap di Palangkaraya belum siap. "Ini demi kesehatan mereka," katanya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengkritik buruknya penanganan kesehatan para korban kabut asap di daerah yang terkena dampak, terutama di Palangkaraya. Menurut juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, jumlah posko dan alat-alat kesehatan tidak sebanding dengan banyaknya penduduk yang menjadi korban. "Padahal Presiden sudah memerintahkan Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan lebih aktif menangani korban," ujarnya.

Sutopo juga meminta Kementerian Kesehatan tidak asal-asalan membagikan masker ke masyarakat. Masker kain kanvas yang selama ini dibagikan dianggap tak layak untuk dipakai melawan gempuran kabut asap, khususnya di Palangkaraya sebagai daerah paling parah. Seharusnya, kata dia, Kementerian Kesehatan memberikan masker N95, yang mampu menyaring partikel debu. "Kalau memang dananya kurang, bisa menyurati Kepala BNPB," ujarnya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menuding pemerintah abai pada korban asap. Karena itu, Walhi tengah menyiapkan gugatan masyarakat sipil ke pengadilan, yang dialamatkan ke penyelenggara negara yang gagap menangani korban kabut asap. Salah satunya gugatan warga Palangkaraya, yang dianggap paling menderita.

Kalaupun ada upaya mengatasi kabut asap, Walhi menilai pemerintah gagap menangani korban asap. "Penanganan bencana kabut asap yang dilakukan pemerintah selama ini hanya berfokus pada pemadaman dan penegakan hukum," kata Anton Widjaja, aktivis Walhi. "Korban asap justru terbengkalai."

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan saat ini pemerintah memang lebih mengutamakan upaya pemadaman api yang menyebabkan bencana asap. Menurut dia, Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk mengutamakan pemadaman api karena merupakan sumber dari masalah kesehatan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan. "Pak Presiden minta, matikan api. Itu dulu. Jadi kita harus matikan dulu penyebabnya," ujarnya.

Nila menyatakan penanganan kesehatan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat korban bencana kabut asap selama ini sudah cukup. Kementerian Kesehatan, kata dia, sudah mendistribusikan obat, masker, dan oksigen yang diminta. Ihwal permintaan BNPB menyediakan masker jenis N95, menurut Nila, justru itu tidak tepat. Dia mengatakan masker yang paling cocok bagi korban kabut asap saat ini adalah masker biasa.

Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menambahkan, penanganan korban kabut asap menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. "Kami tidak akan membantu selama mereka (pemerintah daerah) tidak minta bantuan. Sekarang kan otonomi daerah," ujarnya.

Anton Aprianto, Ananda Teresia, Mitra Tarigan, Tika Primandari (Jakarta), Karana W.W. (Palangkaraya)


Senewen karena Oksigen

YESSI Okta hanya bisa menghela napas panjang saat keluar dari toko Indoalkes di Jalan Ahmad Yani, Pekanbaru, Riau, Rabu pekan lalu. Harapannya bisa membeli oksigen dalam kemasan tabung kecil kembali gagal. Padahal sudah belasan toko penyedia alat kesehatan dan apotek dia datangi. "Sudah habis semua," kata perempuan 38 tahun itu.

Yessi bingung ke mana lagi mencari oksigen yang dibutuhkan sang suami, yang memiliki riwayat penyakit asma. Sejak Pekanbaru terpapar kabut asap karena kebakaran hutan dan lahan, asma suaminya kerap kumat. "Saya perlu oksigen itu karena suami kerap sesak tengah malam."

Datang lima menit lebih awal ketimbang Yessi, Denny Indra terbilang beruntung. Warga Jalan Pontianak, Bukit Raya, Pekanbaru, ini masih kebagian dua oksigen kemasan tabung kecil terakhir yang dijual toko Indoalkes. Denny membeli dua tabung untuk dipergunakan bersama-sama istri dan dua anaknya yang masih kecil. "Ini untuk membantu pernapasan kami karena asap sudah masuk rumah," ujarnya.

Akibat kabut asap, tingkat pencemaran udara di Pekanbaru memang gawat. Senin pekan lalu, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Pekanbaru menembus angka 900 atau masuk kategori sangat berbahaya. Namun, Kamis pekan lalu, papan ISPU di Jalan Sudirman, Pekanbaru, menunjukkan tingkat pencemaran udara sudah turun ke kategori sangat tidak sehat.

Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat sedikitnya 61 ribu warga Riau menderita penyakit akibat terjangan kabut asap sejak Juni hingga Oktober 2015. Sebagian besar warga terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut. Supaya terhindar dari penyakit itu, di tengah kepungan udara tercemar berat kabut asap, penduduk rela antre di apotek dan toko alat-alat kesehatan untuk berburu oksigen tabung kecil.

Pemilik toko Indoalkes, Oscar, mengatakan, sejak Pekanbaru terserang kabut asap, penjualan oksigen tabung kecil memang laris manis. Bahkan ia kelabakan menghadapi permintaan yang terus melonjak, tapi stok barang di gudangnya sudah tandas.

Pemasok oksigen tabung kecil ke tokonya yang sebagian besar berada di luar Riau, kata Oscar, kadang enggan mengirimkan barang karena Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, sering lumpuh oleh kabut asap. "Dalam sehari ada sekitar 50 orang yang meminta oksigen, tapi barang kami sudah habis," ujarnya.

Selama bencana kabut asap melanda Riau, toko penyedia dan distributor alat kesehatan terbesar di wilayah II Sumatera itu sudah menjual 500 kotak oksigen kemasan tabung kecil. Satu kotak berisi 12 tabung dan satu tabung harganya mencapai Rp 50 ribu. Dalam sehari, toko itu bisa menjual empat kotak tabung kecil.

Ketika stok oksigen tabung kecil habis tapi permintaan penduduk akan oksigen meningkat, Oscar terpaksa menjual oksigen dalam tabung satu kubik, yang harganya mencapai Rp 850 ribu. Oksigen dalam tabung seperti ini biasanya ia jual ke rumah sakit. Rabu pekan lalu, ia sudah menjual 250 tabung oksigen ukuran satu kubik itu. "Stok tabung itu kini juga kosong," kata Oscar.

Dinas Kesehatan Riau sebenarnya menyediakan oksigen dalam tabung kemasan kecil bagi penduduk yang terkena dampak kabut asap. Oksigen kemasan tabung kecil itu disebar di setiap posko kesehatan dan pelayanan pusat kesehatan masyarakat 24 jam di setiap kabupaten atau kota. Namun persediaan oksigen dalam tabung kecil hanya diperuntukkan saat kondisi darurat. "Karena stok menipis, kami sedang minta tambahan 200 tabung lagi ke Kementerian Kesehatan," kata Kepala Dinas Kesehatan Riau Andra Sjafril.

Anton Aprianto, Riyan Nofitra (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus