Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara seorang pria bergaung di ujung telepon. ”Saya masih di dalam hutan,” katanya bernada- lemah. Terdengar pula suara jangkrik yang mengkerik. ”Kami tidak bisa gambarkan lokasinya, nanti bisa dikejar aparat,” ujar lelaki itu.
Dialah Hanz Gebze. Tempo menghubungi lewat telepon genggamnya, pekan lalu. Sudah sebulan lelaki 28 tahun itu berlindung di hutan sagu. Dia lari karena polisi memburunya sehabis demonstrasi berdarah di depan Universitas Cenderawasih di Abepura, Papua, awal Maret lalu. Dalam insiden ini, empat polisi dan satu tentara tewas.
Demonstrasi menuntut penutupan PT Free-port itu dimotori oleh Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Pepera) dan Parlemen Jalanan. Hans, sebagai Ketua Umum Pepera, dan Jefrison Pagawak, Ketua Parlemen Jalanan, dianggap sebagai otak pengerah massa.
Hans benar-benar merahasiakan tem-pat persembunyiannya. Bekas mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta itu cuma memberi gambaran, lokasinya sekitar 50 kilometer dari Jayapura. Ditemani dua kawan-nya, dia harus bertahan di rimba belan-tara. Jika malam datang, mereka ke-dinginan. ”Kondisi kami sangat sulit. Kami bertahan hidup dengan makanan apa adanya,” kata dia. Perut yang lapar diganjal dengan makan umbi-umbian, keladi, ketela, sagu, atau pisang. Semua itu mudah ditemukan di hutan Papua.
Dua hari pertama, hujan lebat turun. Mereka belum sempat mendapat tempat untuk berlindung. Sementara itu, Hans dan temannya terus didera ketakutan di-kejar petugas keamanan. Barulah se-telah hujan dan ketakutan reda, me-reka membangun gubuk dari dedaunan -kering.
Di luar kelompok Hans, ada sekitar 200 orang yang lari ke hutan. Lokasinya- tersebar di sejumlah titik. Satu dengan- lainnya berjarak dua sampai lima kilometer. Itu perkiraan Hans dari komunikasi lewat kurir dan telepon genggam ke titik lain selama di hutan. Kurir diki-rim- bila baterai telepon habis. Sebab, untuk mengisi baterai harus berjalan tiga kilometer ke perkampungan terdekat lokasi persembunyian.
Menurut Hans, sebagian pelarian malah sudah berhasil menyeberang ke Papua Nugini. Mereka terdiri dari dua wanita dan satu pria. Rombongan ber-ikut-nya yang pergi ke negara tetangga akan lebih besar lagi, sekitar 50 orang. Kloter ini akan disusul lagi oleh 55 orang yang bersiap masuk Papua Nugini lewat pintu lain.
Demonstrasi di Abepura melibatkan sekitar 800 orang dari elemen mahasiswa dan warga pegunungan di balik kampus Universitas Cenderawasih. Sebagian sudah berani pulang ke rumah dan belajar lagi di kampus. Tapi ratusan mahasiswa hingga kini masih bersembunyi. Tidak sedikit pula yang ditahan dan dijadikan tersangka oleh kepolisian. ”Ada tujuh puluh tiga orang dita-han,” kata Hans.
Juru bicara Kedutaan Besar Repu-blik Indonesia di Papua Nugini, Sandja-ya, tak bisa memastikan adanya mahasiswa Papua yang menyeberang ke negara tetang-ga itu. Departemen Luar Negeri Papua Nugini juga mengaku belum menerima permintaan suaka dari mereka. Tapi Ketua Majelis Rakyat Papua, Agus Alue Alua, membenarkan lebih dari tiga orang yang telah menyeberang. Kini juga masih banyak warga maupun mahasiswa yang enggan balik ke kampus karena tak ada jaminan keamanan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. menyerukan agar mahasiswa segera kembali ke kampus. Dia menjamin aparat tak lagi menyisir dan mencokok warga maupun mahasiswa yang dicurigai. Janji ini diucapkan ketika ia menghadiri acara wisuda 900 mahasiswa Universitas Cenderawasih, pekan lalu. Cuma, bekas Panglima TNI ini meminta para pelaku menyerahkan diri.
Kepolisian sendiri ogah menunggu para pelaku bertekuk lutut. Pekan lalu, Nelson Rumbiak dan Bensiur Morin ditangkap dan dinyatakan sebagai tersangka baru. Nelson diciduk sebelum lari ke Manokwari, dan Bensiur di Tanah Hitam, Abepura. ”Kedua tersangka- berstatus mahasiswa,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi Paulus Waterpauw, Direktur Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Papua.
Dua mahasiswa itu kini ditahan di Polda Papua. Nelson ditetapkan sebagai tersangka perampasan gas air mata dari polisi yang tewas dalam kerusuhan. Bensiur dituduh menggalang dana untuk demonstrasi. Berbeda dengan klaim Hans, menurut polisi jumlah tersangka kasus Abepura yang ditangkap baru 19 orang,
Juru bicara Markas Besar Polri, Bri-gadir Jenderal Anton Bachrul Alam, ju-ga menegaskan tetap memburu pelaku sampai ke ujung gunung. ”Kami akan te-rus mengejar mereka di hutan,” kata Anton. Setelah Bensiur tertangkap, polisi juga akan melacak keterlibatan lembaga swadaya masyarakat asing sebagai donatur demonstrasi.
Di tengah upaya polisi meringkus para pelaku, sejumlah kabar berseliweran. Senator Natasha Stott Despoja, yang dikutip The Weekend Australia, menyatakan 16 orang dibunuh aparat pasca-bentrokan di Abepura. Senator dari Partai Demokrat itu memperoleh laporan dari lembaga swadaya masyarakat lokal Papua.
Juru bicara Pepera, Arkilaus Baho, juga mengaku mendapat laporan soal pembunuhan di Papua. Tapi dia cuma dengar penemuan enam mayat di Arso, Abepura. Identitas para korban belum- diketahui. ”Kemungkinan besar jejak- mayat sengaja dihilangkan,” kata Arkilaus. Laporan itu diterima dia dari keluarga orang-orang yang dituduh sebagai pelaku aksi di Abepura.
Ajun Komisaris Besar Paulus Waterpau membantah berita itu. ”Tidak ada. Belakangan memang ada isu ditemukan jenazah di sejumlah tempat, tapi setelah dicek tidak ada,” katanya. Menurut dia, isu itu beredar melalui pesan pendek telepon genggam. Polisi telah menyita satu unit telepon genggam untuk meng-usut jaringan yang menyebarkannya.
Kabar itu terdengar pula oleh Kontras, lembaga swadaya masyarakat urusan orang hilang dan korban kekerasan. Koordinator Kontras, Usman Hamid, tak buru-buru menyimpulkan berita itu sebagai isapan jempol. Dia telah me-ngirimkan tim ke Papua untuk menye-lidiki. Sayangnya, tim Kontras masih kesulitan mendapatkan informasi karena warga cenderung tertutup dan masih ketakutan.
Menteri Pertahanan Juwono Su-dar-sono- mengungkapkan, demonstrasi Abepu-ra mau dibikin semacam tragedi Santa Cruz, insiden penembakan di kompleks pemakaman Dili, 1991. Dalam aksi itu, 200 orang tewas. Tragedi Santa Cruz dikecam dunia dan memperbesar dukungan terhadap gerakan Timor Timur merdeka.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan- Perwakilan Rakyat, Yorrys Raweyai, juga mempertanyakan bentrokan yang terkesan sudah dirancang. ”Lihat saja bentrokan terjadi pada hari ketiga, se-telah bunyi letusan senjata,” katanya-. Namun, dia enggan menyebutkan da-langnya.
Hans Gebze membantah aksi Abepura direkayasa, apalagi didalangi pihak asing. Menurut dia, aksi di Abepura mur-ni gerakan warga Papua menuntut pe-nutupan Freeport. Pepera tak pernah di-santuni dana dari Crisis Grup Interna-tio-nal Australia, seperti dikatakan Jefri-son Pagawak dalam majalah ini pada edi-si pekan lalu. ”Dana untuk demonstrasi kami dapat dari iuran mahasiswa,” kata dia. Hans juga menolak disebut sebagai aktivis Organisasi Papua Merdeka.
Berbagai tuduhan yang muncul membuat Hans bersama ratusan warga dan mahasiswa semakin ketakutan. Mereka akan terus berlindung di hutan sagu. ”Kami akan keluar kalau situasi benar-benar aman. Tapi kami yang telanjur- diancam dijadikan tersangka akan men-cari suaka politik” kata Hans.
Eduardus Karel Dewanto, Lita Oetomo (Jayapura), Erwin Dariyanto dan Oktamandjaya (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo