Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rock datang, dan menang di ...

God bles yang dimotori achmad albar tampil di sembilan panggung di 9 kota di jawa. promotornya log zhelebour menyediakan dana rp 300 juta. god bles pantas disebut wakil dunia panggung rock. (ms)

6 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH sebuah rock yang panjang. Selama tiga minggu, di sembilan panggung di sembilan kota di seluruh Jawa, Achmad Albar dan God Blessnya menyajikan musik rock. Bermula di Semarang dan berakhir di Bandung, Ahad ini -- lewat Surabaya, Malang, Tasikmalaya antara lain -- muhibah ini beranggaran Rp 300 juta. Albar, ditemani Ian Antono, Donny Fattah, Teddy Sujaya, dan Yockey Suryoprayogo, mengeluarkan ribuan kalori untuk memuaskan sedikitnya 5.000 penonton tiap malam -- penonton yang membayar rata-rata Rp 3.000 per kepala. Ini juga berarti sebuah kerja yang meletihkan bagi awak panggung muhibah, yang dimotori oleh promotor Log Zhelebour -- entah apa arti nama ini. Ketika pemain mllai beristirahat dan panitia menghitung perolehan pendapatan, para awak harus membongkar panggung, lalu mengangkut berpuluh macam peralatan. Mulai dari seutas kabel hingga speaker seberat ratusan kg ke pentas berikut, menempuh ratusan km di kegelapan malam. Toh, tampaknya, ini bukan keletihan yang sia-sia. Nama God Bless, di setiap kota yang masuk acara, berdengung mengundang penonton. Di Yogyakarta, umpamanya, orang lebih suka membeli karcis untuk menghadiri Achmad Albar dan kawan-kawannya yang berjingkrak-jingkrak. Ketimbang menyaksikan pertunjukan penyanyi country dari Surabaya, Gombloh, yang berpentas 150 meter dari panggung rock. Bagi musik rock, juga Achmad Albar, inilah safari kemenangan. Rombongan rock ini ternyata sukses memperoleh izin berpentas di Semarang. "Ini kenangan manis bagi saya. Setelah tiga tahun berusaha menembus Semarang, akhirnya gol juga," kata Albar kepada Yusro dari TEMPO. Tiga tahun lalu, Albar urung tampil di ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Pasalnya, sehari menjelang pergelaran, terbit peraturan baru dari Gubernur Ismail: Jawa Tengah pantang untuk pergelaran musik keras alias rock karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. "Musik rock, cepat atau lambat akan meracuni kepribadian bangsa. Itulah sebabnya saya tetap melarang," tutur Ismail kepada TEMPO, dua tahun lalu. Kunci kemenangan rock, Anda mau tahu ? Ini dia, kesabaran meladeni birokrasi. Di Semarang mereka dengan patuh membawa rekomendasi dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan daerah asal mereka, yakni Jakarta, sebagaimana disyaratkan. Selain itu, mereka, yakni God Bless itu, tak keberatan menyodorkan terlebih dahulu judul-judul lagu berikut syairnya kepada aparat daerah setempat. "Ada coretan dalam surat izin yang berbunyi, apakah lagu-lagu itu sesuai dengan identitas Jawa Tengah," ujar Eddy Puryanto, panitia penyelenggara di Yogyakarta, kepada Yuyuk Sugarman dari TEMPO. Untunglah, kompromi, di sana-sini, bisa disepakati. Di Surabaya, ye-yel "Hidup Albar! Hidup God Bles!" mengguncang Stadion Geora 10 November yang dipadati sepuluh ribu penonton. Ketika intro Highway Star (Deep Purple) terdengar di pembukaan acara, massa pun mulai histeris. Mereka berjingkrak dan berteriak tak keruan. Ratusan penonton lainnya menyerbu ke depan dan berusaha naik panggung setinggi dua meter. Tak ayal lagi, panggung depan roboh. Pihak keamanan kalang kabut, ketika sampah plastik dan batu beterbangan ke arah panggung mencari kepala siapa pun. Itulah laporan Masduki Baidlawi, wartawan TEMPO di Surabaya. Sementara itu, di lapangan rumput Stadion Kridosono, Yogyakarta, empat botol minuman keras tergeletak dalam keadaan kosong. Bagi sebagian orang, tampaknya, semboyan ada rock ada alkohol layak dibuktikan. Memang, sejarah rock bergelimang dengan itu. Jenis musik yang muncul pada 1 960-an ini mencerminkan sebuah fenomena tanpa sopan santun. Di balik musik ini tercium adanya napas pemberontakan terhadap nilai dan norma konvensional. Lalu, orang mengenal istilah psychedelic rock, yang berkembang dengan disertai bau alkohol dan narkotik sebagai "asesori"-nya. Dan obat keras itu pun makan korban. Jimi Hendrix, gitaris bertangan kidal, yang dinobatkan sebagai panglima aliran ini, harus menutup usianya di tahun 1970, lantaran alkohol dan narkotik. Di negeri ini God Bless pantas disebut sebagai wakil dunia panggung rock. Meski (atau, untunglah) mereka, dalam hal yang sampingan-sampingan itu -- alkohol dan narkotik -- tak semaju rekan-rekan mereka di Barat. Kekuatan kelompok yang selalu berganti personel ini memang bukan pada rekaman. Melainkan justru pada sajian panggung mereka -- yang penuh asap, dengan lampu disko yang ramai, dengan suara bising yang memekakkan, dan tingkah polah pemain dan penyanyinya yang bagaikan dikocok gempa bumi. Dan itulah keahlian Achmad Albar motor utama God Bless, yang datang dari keluarga musik gambus, yang mengadakan perjalanan panjang sambil mengibarkan bendera rock. James R. Lapian Laporan Biro Jawa Tengah, Yogyakarta & Jawa Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus