Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Ulang Pemilihan Gubernur Jakarta

Pemilihan gubernur langsung mungkin bakal menyetop politik uang.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesaat setelah Sutiyoso terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, Rabu dua pekan lalu, sebuah ”bom” diledakkan Mahfudz Djaelani, kandidat gubernur yang kalah. Pengusaha 56 tahun yang asli Betawi ini berkoar-koar: ia sudah menyuap 40 orang anggota DPRD Jakarta sebesar Rp 200 juta. Ini baru uang muka. Jika Mahfudz menang, ia konon menyiapkan Rp 2 miliar tambahan untuk ”menyuapi” para wakil rakyat Jakarta yang mengaku terhormat itu. Mahfudz akhirnya kalah, ngejoprak jatuh di tangan Sutiyoso, bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta. Pengakuan Mahfudz tak berumur seminggu. Ia menelan kembali omongannya. Ia bilang di depan kepolisian Jakarta yang memeriksanya bahwa yang dikeluarkannya bukan suap, melainkan biaya ”melobi” makan dan minum para anggota DPRD Jakarta. Orang banyak tertawa menyaksikan dagelan Mahfudz ini. Namun, di mata publik, indikasi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur DKI tak lenyap begitu Mahfudz berbalik lidah. Seorang wakil rakyat Jakarta dari PDI Perjuangan mengaku dalam sebuah talk show di Trans TV, Kamis pekan lalu, bahwa ia memang sengaja membuat tanda-tanda bertulis tebal dalam kertas suara. Buat apa? Sebagai bukti bahwa ia berasal dari partai itu. Jawaban yang mencurigakan. Politik uang? Meskipun Mahfudz berkelit, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP, Tarmidi Suhardjo, kandidat yang ditolak partainya sendiri, mencium indikasi terjadinya urusan jual-beli suara itu di dalam fraksinya. Itu terjadi saat fraksinya menentukan kandidat, yakni Sutiyoso. Jagat politik Ibu Kota ramai. Para politisi meminta agar polisi mengusut tuntas kasus ini. Bila politik uang terbukti, hasil pemilihan bisa dinyatakan tak berlaku dan harus diulang. Rupanya mayoritas responden yakin bahwa politik uang telah terjadi. Itu sebabnya mayoritas responden jajak pendapat kali ini setuju jika proses pemilihan diulang saja. Di mata responden, terjadinya politik uang merupakan cerminan dari bobroknya mental para anggota DPRD Jakarta. Yang juga dianggap bobrok adalah para kandidat gubernur yang ikut dalam kontes pemilihan. Mereka sudah menghalalkan segala cara untuk menggapai kursi gubernur—dengan menyogok wakil rakyat itu. Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Tegakkan hukum. Untuk pelakunya—baik yang disogok maupun yang menyogok—tak ada jalan lain kecuali mengusut dan memprosesnya secara hukum. Sesaat setelah Sutiyoso terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, Rabu dua pekan lalu, sebuah ”bom” diledakkan Mahfudz Djaelani, kandidat gubernur yang kalah. Pengusaha 56 tahun yang asli Betawi ini berkoar-koar: ia sudah menyuap 40 orang anggota DPRD Jakarta sebesar Rp 200 juta. Ini baru uang muka. Jika Mahfudz menang, ia konon menyiapkan Rp 2 miliar tambahan untuk ”menyuapi” para wakil rakyat Jakarta yang mengaku terhormat itu. Mahfudz akhirnya kalah, ngejoprak jatuh di tangan Sutiyoso, bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta. Pengakuan Mahfudz tak berumur seminggu. Ia menelan kembali omongannya. Ia bilang di depan kepolisian Jakarta yang memeriksanya bahwa yang dikeluarkannya bukan suap, melainkan biaya ”melobi” makan dan minum para anggota DPRD Jakarta. Orang banyak tertawa menyaksikan dagelan Mahfudz ini. Namun, di mata publik, indikasi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur DKI tak lenyap begitu Mahfudz berbalik lidah. Seorang wakil rakyat Jakarta dari PDI Perjuangan mengaku dalam sebuah talk show di Trans TV, Kamis pekan lalu, bahwa ia memang sengaja membuat tanda-tanda bertulis tebal dalam kertas suara. Buat apa? Sebagai bukti bahwa ia berasal dari partai itu. Jawaban yang mencurigakan. Politik uang? Meskipun Mahfudz berkelit, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP, Tarmidi Suhardjo, kandidat yang ditolak partainya sendiri, mencium indikasi terjadinya urusan jual-beli suara itu di dalam fraksinya. Itu terjadi saat fraksinya menentukan kandidat, yakni Sutiyoso. Jagat politik Ibu Kota ramai. Para politisi meminta agar polisi mengusut tuntas kasus ini. Bila politik uang terbukti, hasil pemilihan bisa dinyatakan tak berlaku dan harus diulang. Rupanya mayoritas responden yakin bahwa politik uang telah terjadi. Itu sebabnya mayoritas responden jajak pendapat kali ini setuju jika proses pemilihan diulang saja. Di mata responden, terjadinya politik uang merupakan cerminan dari bobroknya mental para anggota DPRD Jakarta. Yang juga dianggap bobrok adalah para kandidat gubernur yang ikut dalam kontes pemilihan. Mereka sudah menghalalkan segala cara untuk menggapai kursi gubernur—dengan menyogok wakil rakyat itu. Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Tegakkan hukum. Untuk pelakunya—baik yang disogok maupun yang menyogok—tak ada jalan lain kecuali mengusut dan memprosesnya secara hukum. Sesaat setelah Sutiyoso terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, Rabu dua pekan lalu, sebuah ”bom” diledakkan Mahfudz Djaelani, kandidat gubernur yang kalah. Pengusaha 56 tahun yang asli Betawi ini berkoar-koar: ia sudah menyuap 40 orang anggota DPRD Jakarta sebesar Rp 200 juta. Ini baru uang muka. Jika Mahfudz menang, ia konon menyiapkan Rp 2 miliar tambahan untuk ”menyuapi” para wakil rakyat Jakarta yang mengaku terhormat itu. Mahfudz akhirnya kalah, ngejoprak jatuh di tangan Sutiyoso, bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta. Pengakuan Mahfudz tak berumur seminggu. Ia menelan kembali omongannya. Ia bilang di depan kepolisian Jakarta yang memeriksanya bahwa yang dikeluarkannya bukan suap, melainkan biaya ”melobi” makan dan minum para anggota DPRD Jakarta. Orang banyak tertawa menyaksikan dagelan Mahfudz ini. Namun, di mata publik, indikasi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur DKI tak lenyap begitu Mahfudz berbalik lidah. Seorang wakil rakyat Jakarta dari PDI Perjuangan mengaku dalam sebuah talk show di Trans TV, Kamis pekan lalu, bahwa ia memang sengaja membuat tanda-tanda bertulis tebal dalam kertas suara. Buat apa? Sebagai bukti bahwa ia berasal dari partai itu. Jawaban yang mencurigakan. Politik uang? Meskipun Mahfudz berkelit, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP, Tarmidi Suhardjo, kandidat yang ditolak partainya sendiri, mencium indikasi terjadinya urusan jual-beli suara itu di dalam fraksinya. Itu terjadi saat fraksinya menentukan kandidat, yakni Sutiyoso. Jagat politik Ibu Kota ramai. Para politisi meminta agar polisi mengusut tuntas kasus ini. Bila politik uang terbukti, hasil pemilihan bisa dinyatakan tak berlaku dan harus diulang. Rupanya mayoritas responden yakin bahwa politik uang telah terjadi. Itu sebabnya mayoritas responden jajak pendapat kali ini setuju jika proses pemilihan diulang saja. Di mata responden, terjadinya politik uang merupakan cerminan dari bobroknya mental para anggota DPRD Jakarta. Yang juga dianggap bobrok adalah para kandidat gubernur yang ikut dalam kontes pemilihan. Mereka sudah menghalalkan segala cara untuk menggapai kursi gubernur—dengan menyogok wakil rakyat itu. Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Tegakkan hukum. Untuk pelakunya—baik yang disogok maupun yang menyogok—tak ada jalan lain kecuali mengusut dan memprosesnya secara hukum.

Setujukah Anda bila pemilihan Gubernur DKI Jaya diulang?
Ya53,57%
Tidak46,43%
Jika ya, apa alasan Anda?
Karena telah terjadi politik uang43,33%
Menegakkan pemerintahan yang bersih43,33%
Politik uang akan membawa akibat buruk di masa datang36,30%
Gubernur yang terpilih tidak memenuhi keinginan masyarakat27,78%
Untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat19,63%
 
Jika tidak setuju, apa alasan Anda?
Kalaupun memang betul terjadi politik uang, harus dilakukan proses hukum48,29%
Akan menimbulkan masalah baru, yakni kekosongan jabatan gubernur33,33%
Bisa jadi isu politik itu sengaja diembuskan oleh pihak yang kalah, agar dilakukan pemilihan ulang29,49%
Pemilihan gubernur kali ini cukup adil dan fair14,10%
Politik uang itu tidak dilakukan oleh gubernur terpilih10,68%
Membuang-buang uang rakyat saja2,99%
 
Menurut Anda, kenapa muncul politik uang dalam pemilihan gubernur tersebut?
Masih maraknya kolusi, korupsi, dan nepotisme28,97%
Mentalitas kandidat ataupun anggota DPRD sangat buruk28,77%
Mencerminkan ketidakdewasaan politisi Indonesia18,45%
Kandidat gubernur dan anggota DPRD tidak mengutamakan kepentingan rakyat yang diwakilinya12,90%
Para politisi hanya mengejar kepentingan sesaat10,91%
 
Agar tidak terjadi lagi politik uang, menurut Anda tindakan apa yang harus dilakukan?
Siapa pun yang terlibat harus diproses secara hukum30,56%
Semua proses pencalonan gubernur harus langsung dilakukan secara transparan20,63%
Pemilihan gubernur harus langsung dilakukan rakyat19,64%
Partai yang anggotanya terbukti terlibat dalam kasus ini dilarang ikut dalam pemilihan umum mendatang16,27%
Harus dibentuk badan independen yang mengawasi anggota DPRD12,70%
 

Metodologi jajak pendapat :

Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO, bekerja sama dengan Insight. Data diperoleh dari 504 responden di lima wilayah DKI pada 17 hingga 20 September 2002. Taksiran parameter kesalahan sampel (margin of error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multistages random sampling), dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan wawancara melalui telepon.

Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum