Sesaat setelah Sutiyoso terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, Rabu dua pekan lalu, sebuah ”bom” diledakkan Mahfudz Djaelani, kandidat gubernur yang kalah. Pengusaha 56 tahun yang asli Betawi ini berkoar-koar: ia sudah menyuap 40 orang anggota DPRD Jakarta sebesar Rp 200 juta. Ini baru uang muka. Jika Mahfudz menang, ia konon menyiapkan Rp 2 miliar tambahan untuk ”menyuapi” para wakil rakyat Jakarta yang mengaku terhormat itu. Mahfudz akhirnya kalah, ngejoprak jatuh di tangan Sutiyoso, bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta.
Pengakuan Mahfudz tak berumur seminggu. Ia menelan kembali omongannya. Ia bilang di depan kepolisian Jakarta yang memeriksanya bahwa yang dikeluarkannya bukan suap, melainkan biaya ”melobi” makan dan minum para anggota DPRD Jakarta. Orang banyak tertawa menyaksikan dagelan Mahfudz ini. Namun, di mata publik, indikasi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur DKI tak lenyap begitu Mahfudz berbalik lidah. Seorang wakil rakyat Jakarta dari PDI Perjuangan mengaku dalam sebuah talk show di Trans TV, Kamis pekan lalu, bahwa ia memang sengaja membuat tanda-tanda bertulis tebal dalam kertas suara. Buat apa? Sebagai bukti bahwa ia berasal dari partai itu. Jawaban yang mencurigakan.
Politik uang? Meskipun Mahfudz berkelit, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP, Tarmidi Suhardjo, kandidat yang ditolak partainya sendiri, mencium indikasi terjadinya urusan jual-beli suara itu di dalam fraksinya. Itu terjadi saat fraksinya menentukan kandidat, yakni Sutiyoso.
Jagat politik Ibu Kota ramai. Para politisi meminta agar polisi mengusut tuntas kasus ini. Bila politik uang terbukti, hasil pemilihan bisa dinyatakan tak berlaku dan harus diulang. Rupanya mayoritas responden yakin bahwa politik uang telah terjadi. Itu sebabnya mayoritas responden jajak pendapat kali ini setuju jika proses pemilihan diulang saja.
Di mata responden, terjadinya politik uang merupakan cerminan dari bobroknya mental para anggota DPRD Jakarta. Yang juga dianggap bobrok adalah para kandidat gubernur yang ikut dalam kontes pemilihan. Mereka sudah menghalalkan segala cara untuk menggapai kursi gubernur—dengan menyogok wakil rakyat itu.
Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Tegakkan hukum. Untuk pelakunya—baik yang disogok maupun yang menyogok—tak ada jalan lain kecuali mengusut dan memprosesnya secara hukum.
Sesaat setelah Sutiyoso terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, Rabu dua pekan lalu, sebuah ”bom” diledakkan Mahfudz Djaelani, kandidat gubernur yang kalah. Pengusaha 56 tahun yang asli Betawi ini berkoar-koar: ia sudah menyuap 40 orang anggota DPRD Jakarta sebesar Rp 200 juta. Ini baru uang muka. Jika Mahfudz menang, ia konon menyiapkan Rp 2 miliar tambahan untuk ”menyuapi” para wakil rakyat Jakarta yang mengaku terhormat itu. Mahfudz akhirnya kalah, ngejoprak jatuh di tangan Sutiyoso, bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta.
Pengakuan Mahfudz tak berumur seminggu. Ia menelan kembali omongannya. Ia bilang di depan kepolisian Jakarta yang memeriksanya bahwa yang dikeluarkannya bukan suap, melainkan biaya ”melobi” makan dan minum para anggota DPRD Jakarta. Orang banyak tertawa menyaksikan dagelan Mahfudz ini. Namun, di mata publik, indikasi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur DKI tak lenyap begitu Mahfudz berbalik lidah. Seorang wakil rakyat Jakarta dari PDI Perjuangan mengaku dalam sebuah talk show di Trans TV, Kamis pekan lalu, bahwa ia memang sengaja membuat tanda-tanda bertulis tebal dalam kertas suara. Buat apa? Sebagai bukti bahwa ia berasal dari partai itu. Jawaban yang mencurigakan.
Politik uang? Meskipun Mahfudz berkelit, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP, Tarmidi Suhardjo, kandidat yang ditolak partainya sendiri, mencium indikasi terjadinya urusan jual-beli suara itu di dalam fraksinya. Itu terjadi saat fraksinya menentukan kandidat, yakni Sutiyoso.
Jagat politik Ibu Kota ramai. Para politisi meminta agar polisi mengusut tuntas kasus ini. Bila politik uang terbukti, hasil pemilihan bisa dinyatakan tak berlaku dan harus diulang. Rupanya mayoritas responden yakin bahwa politik uang telah terjadi. Itu sebabnya mayoritas responden jajak pendapat kali ini setuju jika proses pemilihan diulang saja.
Di mata responden, terjadinya politik uang merupakan cerminan dari bobroknya mental para anggota DPRD Jakarta. Yang juga dianggap bobrok adalah para kandidat gubernur yang ikut dalam kontes pemilihan. Mereka sudah menghalalkan segala cara untuk menggapai kursi gubernur—dengan menyogok wakil rakyat itu.
Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Tegakkan hukum. Untuk pelakunya—baik yang disogok maupun yang menyogok—tak ada jalan lain kecuali mengusut dan memprosesnya secara hukum.
Sesaat setelah Sutiyoso terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, Rabu dua pekan lalu, sebuah ”bom” diledakkan Mahfudz Djaelani, kandidat gubernur yang kalah. Pengusaha 56 tahun yang asli Betawi ini berkoar-koar: ia sudah menyuap 40 orang anggota DPRD Jakarta sebesar Rp 200 juta. Ini baru uang muka. Jika Mahfudz menang, ia konon menyiapkan Rp 2 miliar tambahan untuk ”menyuapi” para wakil rakyat Jakarta yang mengaku terhormat itu. Mahfudz akhirnya kalah, ngejoprak jatuh di tangan Sutiyoso, bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta.
Pengakuan Mahfudz tak berumur seminggu. Ia menelan kembali omongannya. Ia bilang di depan kepolisian Jakarta yang memeriksanya bahwa yang dikeluarkannya bukan suap, melainkan biaya ”melobi” makan dan minum para anggota DPRD Jakarta. Orang banyak tertawa menyaksikan dagelan Mahfudz ini. Namun, di mata publik, indikasi terjadinya politik uang dalam pemilihan Gubernur DKI tak lenyap begitu Mahfudz berbalik lidah. Seorang wakil rakyat Jakarta dari PDI Perjuangan mengaku dalam sebuah talk show di Trans TV, Kamis pekan lalu, bahwa ia memang sengaja membuat tanda-tanda bertulis tebal dalam kertas suara. Buat apa? Sebagai bukti bahwa ia berasal dari partai itu. Jawaban yang mencurigakan.
Politik uang? Meskipun Mahfudz berkelit, Wakil Ketua DPRD Jakarta dari Fraksi PDIP, Tarmidi Suhardjo, kandidat yang ditolak partainya sendiri, mencium indikasi terjadinya urusan jual-beli suara itu di dalam fraksinya. Itu terjadi saat fraksinya menentukan kandidat, yakni Sutiyoso.
Jagat politik Ibu Kota ramai. Para politisi meminta agar polisi mengusut tuntas kasus ini. Bila politik uang terbukti, hasil pemilihan bisa dinyatakan tak berlaku dan harus diulang. Rupanya mayoritas responden yakin bahwa politik uang telah terjadi. Itu sebabnya mayoritas responden jajak pendapat kali ini setuju jika proses pemilihan diulang saja.
Di mata responden, terjadinya politik uang merupakan cerminan dari bobroknya mental para anggota DPRD Jakarta. Yang juga dianggap bobrok adalah para kandidat gubernur yang ikut dalam kontes pemilihan. Mereka sudah menghalalkan segala cara untuk menggapai kursi gubernur—dengan menyogok wakil rakyat itu.
Bagaimana mencegahnya di kemudian hari? Tegakkan hukum. Untuk pelakunya—baik yang disogok maupun yang menyogok—tak ada jalan lain kecuali mengusut dan memprosesnya secara hukum.
Setujukah Anda bila pemilihan Gubernur DKI Jaya diulang? |
Ya | 53,57% |
Tidak | 46,43% |
|
Jika ya, apa alasan Anda? |
Karena telah terjadi politik uang | 43,33% |
Menegakkan pemerintahan yang bersih | 43,33% |
Politik uang akan membawa akibat buruk di masa datang | 36,30% |
Gubernur yang terpilih tidak memenuhi keinginan masyarakat | 27,78% |
Untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat | 19,63% |
|
Jika tidak setuju, apa alasan Anda? |
Kalaupun memang betul terjadi politik uang, harus dilakukan proses hukum | 48,29% |
Akan menimbulkan masalah baru, yakni kekosongan jabatan gubernur | 33,33% |
Bisa jadi isu politik itu sengaja diembuskan oleh pihak yang kalah, agar dilakukan pemilihan ulang | 29,49% |
Pemilihan gubernur kali ini cukup adil dan fair | 14,10% |
Politik uang itu tidak dilakukan oleh gubernur terpilih | 10,68% |
Membuang-buang uang rakyat saja | 2,99% |
|
Menurut Anda, kenapa muncul politik uang dalam pemilihan gubernur tersebut? |
Masih maraknya kolusi, korupsi, dan nepotisme | 28,97% |
Mentalitas kandidat ataupun anggota DPRD sangat buruk | 28,77% |
Mencerminkan ketidakdewasaan politisi Indonesia | 18,45% |
Kandidat gubernur dan anggota DPRD tidak mengutamakan kepentingan rakyat yang diwakilinya | 12,90% |
Para politisi hanya mengejar kepentingan sesaat | 10,91% |
|
Agar tidak terjadi lagi politik uang, menurut Anda tindakan apa yang harus dilakukan? |
Siapa pun yang terlibat harus diproses secara hukum | 30,56% |
Semua proses pencalonan gubernur harus langsung dilakukan secara transparan | 20,63% |
Pemilihan gubernur harus langsung dilakukan rakyat | 19,64% |
Partai yang anggotanya terbukti terlibat dalam kasus ini dilarang ikut dalam pemilihan umum mendatang | 16,27% |
Harus dibentuk badan independen yang mengawasi anggota DPRD | 12,70% |
|
Metodologi jajak pendapat :
Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO, bekerja sama dengan Insight. Data diperoleh dari 504 responden di lima wilayah DKI pada 17 hingga 20 September 2002. Taksiran parameter kesalahan sampel (margin of error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multistages random sampling), dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan wawancara melalui telepon.
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini