Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dilarang mengganggu sultan

BNDP, partai terbesar di Brunei, dibubarkan. Dua pemimpinnya dipenjara. Partai tersebut meminta agar parlemen dan sultan sekedar simbol kedaulatan dan meminta pemilihan umum secara langsung.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN coba-coba menjadi oposisi kalau tak ingin masuk penjara. Setidaknya slogan itu kini berlaku di Kesultanan Brunei Darussalam. Setidaknya Abdul Lati Hamid dan Abdul Latif Chuchu, masing masing ketua dan sekjen Partai Kebangsaan Demokratik Brunei (BNDP), kini mendekam di penjara. Mereka ditahan beberapa hari setelah partainya dibubarkan 27 Januari lalu. Penjara tempat kedua Abdul ditahan belum jelas. Hanya saja, seorang pejabat senior BNDP yang tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia, Hidup Haji Ahmad, menyatakan, "Kami percaya mereka mendekam di penjara Gadone." BNDP, partai terbesar di Kesultanan itu, beranggotakan 4.000 orang. Selama ini partai itu paling gencar menuntut pembaruan politik di Brunei. Itu bukan berarti mereka menghendaki punahnya lembaga kerajaan. Yang mereka tuntut pemilihan umum bebas dan pemberlakuan sistem kerajaan parlementer. Sultan tetap mereka pertahankan sebagai simbol kedaulatan negara. Lebih kurang mirip Kerajaan Inggris. Para pejabat BDNP sendiri sebenarnya sudah menyadari bahwa tuntutan itu mengandung risiko besar bagi kelangsungan partai. Itu sebabnya bila mereka lebih suka berdiam dan mengadakan kampanye dengan mengadakan konperensi pers di luar negeri. Biaya agaknya tak jadi soal bagi BNDP, karena mayoritas pendukungnya terdiri atas para pengusaha kaya. Di dalam negeri Brunei sendiri mereka bergerak diam-diam. Misalnya menyelenggarakan diskusi dengan para penduduk di kampung-kampung. Baru setelah itu dibentuklah forum-forum politik. Tahap lanjutannya, sudah bisa ditebak, mengembangkan forum tersebut menjadi cabang partai. Pernyataan paling keras dilontarkan oleh Chuchu dalam sebuah konperensi pers di Kota Kinabalu, ibu kota negara bagian Serawak-Malaysia, bulan Juli tahun lalu. Bayangkan, dia menyatakan bahwa partai. nya menghendaki supaya Sultan Bolkiah mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, supaya statusnya sebagai sultan tak dikotori oleh kemelut dalam pemerintahan. Lebih dari itu, dia juga menyerukan supaya pemilihan umum secara langsung penduduk Brunei 'kan cuma sekitar 250.000 - diadakan selambat-lambatnya tahun ini. Ia pun mengancam akan mengadukan tuntutan partainya ke PBB, ke Organisasi Hak Asasi Manusia. Semua itu memberi kesan bahwa BNDP berwarna revolusioner. Padahal, ketika partai ini diterima' masuk dalam daftar organisasi resmi Brunei, Mei 1985 Chuchu menyatakan, "BNDP adalah organisasi politik moderat yang berlandaskan pada ajaran Islam dan nasionalisme liberal." Semula Chuchu memang meyakinkan bahwa BNDP tak bakal menyerang kekuasaan Sultan. Sebab, kala itu ketua partai diduduki oleh Pangeran Anak Hasanuddin yang masih termasuk keluarga kerajaan. Anak Hasanuddin masih termasuk saudara sepupu Sultan generasi kedua. Ketika BNDP mulai menunjukkan garis makin keras, beberapa pejabat puncaknya membelot dan membentuk partai baru yang sangat pro-Kesultanan. Partai Perpaduan Kebangsaan Brunei (PPKB), begitu nama yang baru ini, masuk daftar organisasi resmi Kesultanan pada akhir 1985. Diketuai oleh bekas wakil presiden BNDP Haji Awang Hatta bin Haji Zainal Abidin, ketika itu anggota PPKB hanya tercatat 21 orang. Padahal, PPKB keanggotaannya terbuka bagi orang Dayak non-Islam. Kendati lahirnya PPKB boleh disebut karena keretakan di dalam BNDP, waktu itu kedua partai punya kesepakatan dalam dua hal. Pertama, menganjurkan nasionalisasi perusahaan minyak British Petroleum. Kedua, penghapusan kemiskinan yang masih ada di negeri kaya minyak dan gas alam itu. Kini kesepakatan itu tampaknya sudah dilupakan, terutama oleh PPKB. Teoretis, dengan penghasilan per kapita sampai di atas US$ 10.000 per tahun, Kesultanan mampu memberi kesejahteraan rakyatnya setingkat dengan masyarakat negeri industri maju. Sementara itu, reaksi keras atas ditahannya kedua tokoh BNDP muncul. Zaini Ahmad, tokoh Partai Rakyat Brunei (PRB) yang dibubarkan, yang kini tinggal di luar Brunei, menganggap, "Pembubaran dan penangkapan itu mengembalikan kita ke masa 30 tahun lalu." Dan itulah pengalaman Zaini sendiri, yang gagal melancarkan revolusi kemerdekaan melawan Inggris dan Sultan dan berakhir dengan dibubarkannya PRB. Konon, 32 anggota PRB yang pulang ke Brunei baru-baru ini juga dipenjarakan. Kini tinggal ditunggu, reaksi yang bakal dilontarkan oleh Perserikatan Demokrat Pasifik (PDU), karena BNDP anggota organisasi itu. Dan tak mustahil kecaman akan terlontar dari partai-partai raksasa di dunia, sebab PDU adalah anak organisasi Perserikatan Demokrat Internasional (IDU), yang anggotanya terdiri atas Partai Republik di AS, Partai Liberal Demokrat di Jepang, dan Partai Konservatif di Inggris. Prg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus