Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kami omong tentang kiamat

Rakyat irak tidak gentar dengan adanya embargo ekonomi. belum ada kegelisahan kekurangan pangan. rakyat punya percaya diri berkat propaganda pemerintah. ada program swasembada pangan.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami Omong tentang Kiamat Bisakah Baghdad bertahan? Blokade ekonomi masih tipis dampaknya, sementara suasana perang pun belum begitu terlihat. JUMAT pekan lalu India mengajukan permintaan pada PBB untuk mengapalkan sejumlah makanan ke Irak dan Kuwait, untuk menolong sekitar 170.000 warga negara India yang belum bisa pulang. Permintaan ditolak karena persediaan bahan makan disana belum mencapai krisis yang memerlukan bantuan dari luar. Kata juru bicara departemen luar negeri India dalam suatu konperensi pers: "Lalu kapan diputuskan bahwa anak-anak kelaparan?" -- pertanyaan yang juga dikeluarkan oleh Iran dan RRC, yang juga berniat mengirimkan bantuan pangan ke Irak. Rabu sebelumnya Presiden Saddam Hussein sendiri, di TV Baghdad, mengatakan bahwa anak-anak Irak mulai kekurangan makan akibat blokade Amerika. Bagaimana suasanh Baghdad sebenarnya? Berikut rangkuman dua laporan di International Herald Tribune dan Asian Wall Street Journal, pekan lalu. SEORANG penjual daging panggang di sebuah warung di Baghdad sibuk memotong-motong daging domba. Buah-buahan bertumpuk di warung-warung pinggir jalan. Sekilas, blokade ekonomi terhadap Irak, yang telah berjalan sekitar sebulan sejak diputuskan oleh PBB pada 6 Agustus, masih tipis sekali dampaknya. Tapi sesuatu yang memang di luar biasanya, mulai tampak. Misalnya, antrean roti. Pemerintah Baghdad menentukan, tiap orang hanya boleh membeli tiga potong roti per hari. Pabrik-pabrik roti pun diawasi dengan ketat, distribusinya diatur oleh pemerintah. Penjualan beras, gula, dan teh pun dibatasi. Di warung-warung, gelas-gelas kecil untuk teh hanya diisi gula setengah dari biasanya. Tapi, bila seorang Irak ditanya orang asing apakah barisan manusia yang terlihat itu adalah antrean makanan, dengan segera ia menjawab: itu antrean pendaftaran masuk sukarelawan. Bila belum terdengar kegelisahan kekurangan pangan, mungkin rakyat Irak memang berdiri di samping Saddam Hussein. "Kami tak gentar dengan meriam dan sanksi Amerika," kata seorang ahli mesin di tengah permainan dominonya di sebuah kafe di pinggir kali Tigris. Ia angkat kaki celananya untuk memperlihatkan luka-luka yang didapatnya dalam perang melawan Iran. "Kawan, kami tahu tentang perang. Kami siap. Apakah Amerika juga siap?" Rasa percaya diri rakyat Irak memang tinggi. Bisa jadi karena propaganda pemerintah sangat efektif: radio, surat kabar, dan televisi selalu menyiarkan bahwa Amerikalah yang kini dalam kesulitan berat. Gambar Saddam Hussein makin banyak bermunculan karikatur di koran-koran mengejek Amerika -- misalnya menggambarkan seekor unta sedang mengencingi tentara AS. "Walau terpaksa makan lumpur pun, kami tak akan tunduk kepada kekuatan mana pun," kata Naji al-Hadithi, direktur jenderal penerangan, dalam suatu wawancara dengan wartawan-wartawan Barat. "Mulai dari menteri sampai ke pedagang di pinggir jalan sedang mimpi," kata seorang diplomat Barat. "Mereka mengira Kuwait akan menjadi milik mereka selamanya. Mereka juga mengira, meyakinkan tentang itu semudah membalik tangan." Para pengamat Timur Tengah umumnya meragukan keberhasilan blokade ekonomi ini. Seandainya pun Irak ditimpa kesulitan pangan, kerusuhan sosial yang diharapkan bisa menjatuhkan Saddam, juga masih disangsikan terjadinya. Itu mengingat sikap beberapa orang Irak yang telah dikutip -- juga karena pemerintahan yang represif. Sementara itu, pemerintah Baghdad terus menekankan prinsip swasembada. Kebetulan, krisis Teluk ini terjadi dekat setelah Irak menikmati panen buah-buahan, sayuran, dan gandum yang sukses. Maka, kata seorang pejabat tinggi departemen luar negeri, "Omong kosong kalau ada yang mengira kami akan mati kelaparan." Mungkin pejabat itu benar. Selain panen yang baik, 17,6 juta rakyat Irak tak sulit mengikuti gerakan berhemat dan berswasembada yang dicanangkan pemerintah. Delapan tahun berperang melawan Iran (1980-1988) menjadi pengalaman berharga bagi mereka untuk menghadapi krisis sekarang ini. Selama ini Irak mengimpor dua pertiga kebutuhan pangannya terutama dari Turki, di samping dari Eropa dan Amerika. Tapi di negeri seluas 430.000 km2 (sekitar empat kali Pulau Jawa) dan sebagian tanahnya subur, punya sinar matahari yang kaya dan air yang cukup, prinsip swasembada nampaknya bukan sesuatu yang sulit. Sekarang saja, Irak adalah negeri penghasil kurma terbesar di dunia. Maka, untuk mengatasi krisis gula, misalnya, rakyat bisa memeras kurma menjadi sirup untuk kemudian dimasak jadi gula. Saddam bisa memerintahkan sebagian penduduk kata hijrah ke pedalaman dan bertani. Ia pun bisa memberi instruksi supaya penduduk kota beternak ayam. Sebagai negeri yang satu generasi lalu masih agraris, tentunya itu tak sulit dilakukan. Begitu kompakkah rakyat Irak? Pada kenyataannya, keluhan dan ketakutan tetap terdengar di bawah permukaan. Sejumlah kecil orang Irak, umumnya para cendekiawan yang rajin mengikuti siaran radio luar negeri, yakin bahwa negerinya sedang terperangkap dalam kesulitan besar. "Kami omong-omong tentang kiamat," kata seorang diplomat Barat yang baru saja bertemu dengan pejabat-pejabat Irak. "Apabila Irak diserang, seluruh dunia akan hancur." Seorang pelayan toko menunjuk pada rak-rak di tokonya yang kosong. Sampo pencuci rambut pun tak ada. Sementara itu, seorang pria berbisik kepada seorang wartawan Barat, "Kalau Amerika berhasil membunuh Saddam, banyak orang disini yang akan mengira Nabi -Muhammad bangkit kembali dan sekarang tinggal di Washington." Pria itu tentu sedikit bergurau. Yang nyata, di tengah suasana seperti itu hawa peperangan belum kuat tercium di Baghdad. Di jalan-jalan tak kelihatan tank berseliweran, dan tak banyak serdadu yang lalu lalang. Kalaupun ada, hanyalah beberapa orang yang bersenjatakan AK buatan Soviet berjaga di sekitar tempat-tempat yang dianggap strategis. Satu-satunya tanda bahwa perang sedang mengancam ada di puncak beberapa gedung tinggi di tengah kota: terlihat moncong-moncong meriam panangkis serangan udara. Sarang penangkis serangan udara juga terlihat di tepi Sungai Tigris dan di bandara internasional. Memang ada suara dar-der-dor, berasal dari bioskop Sinbad yang sedang memutar film India. ADN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus