Soe Hok Gie mati muda. Pada usia 27 tahun, di Semeru ia menemukan kesunyian abadinya. Soe Hok Gie adalah cerita tentang anak muda yang hatinya gampang tersentuh penderitaan orang lain, mudah terbakar ketidakadilan; anak muda yang rindu perubahan namun menjumpai aneka kemunafikan di penghujung perubahan itu. Ya, anak muda yang banyak bergerak dengan diskursus alam pikirannya sendiri. Majalah ini mencoba melacak langkahnya dan menangkap pribadinya melalui kesaksian kawan-kawannya dulu. Soe Hok Gie mati muda dan menjadi monumen. Dan sekarang Nicholas Saputra mengekalkannya sebagai sebuah citra, lewat film berjudul Gie.
Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. "Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini," kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan W
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.