Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA hari menjadi tersangka korupsi, Hariadi Sadono dikejutkan tamu tak diundang. Direktur Perusahaan Listrik Negara Luar Jawa Bali Madura itu didatangi Joseph Kapoyos, yang dikenalnya sebagai aktivis Lumbung Informasi Rakyat, organisasi yang berafiliasi dengan lingkaran dekat Istana Presiden.
Joseph menyampaikan simpati. Pada 5 Mei 2009, Hariadi menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan peranti lunak sistem manajemen pelanggan PLN Distribusi Jawa Timur 2004 2008. Pada periode itu, Hariadi menjabat General Manager PLN Surabaya. Komisi Pemberantasan Korupsi menuduh laki laki 58 tahun ini merugikan negara Rp 80 miliar melalui proyek itu.
Basa basi sejenak, Joseph mengenalkan seorang laki laki muda yang dibawanya. ”Ini Yudi Prianto, putra Bibit Samad Rianto,” katanya. Menurut Hariadi, Joseph menyatakan Yudi bisa membantu mengurus kasus yang menjeratnya. Bibit Samad Rianto yang disebut Joseph tak lain Wakil Ketua Komisi. ”Saya tak mau bicara lebih jauh. Saya minta mereka menemui Agung,” kata Hariadi kepada Tempo awal Februari lalu. Agung Hendradi Kuswarjanto adalah orang kepercayaannya.
Mereka datang lagi dua hari kemudian dan bertemu dengan Agung. Yudi mengatakan Hariadi sedang dizalimi. Menurut Agung, Yudi berkata, ”Nanti saya bicara dengan Bapak. Kebetulan Deputi Penindakan KPK, Pak Ade Rahardja, itu orangnya Bapak.” Syaratnya, Hariadi memakai pengacara yang disiapkan Yudi.
Agung minta waktu membicarakannya dengan Hariadi. Sejak itu, Yudi kerap menelepon menanyakan keputusan.
Hariadi akhirnya setuju memakai tawaran Yudi. Agung dan Yudi bertemu kembali di Es Teler 77 Blok M, Jakarta Selatan, tak jauh dari kantor PLN. Yudi membawa Edison van Bullo, pengajar di Universitas Bhayangkara Jakarta, yang dikenalkannya sebagai ”orangnya Bapak”. Adapun Agung didampingi Sunaryo dari Corporate Legal PLN. Saat itu Agung baru tahu ternyata Yudi belum lulus kuliah. Kepada Tempo, pertengahan bulan lalu, Yudi mengatakan Edison adalah dosen pembimbingnya yang diajukan sebagai pengacara Hariadi.
”Harganya berapa?” tanya Agung.
”Satu setengah miliar,” kata Yudi.
”Oh, tidak, tidak. Kalau untuk saya, satu saja,” Edison cepat menimpali. ”Itu baru untuk saya. Untuk orang dalam KPK lain lagi.”
Pertemuan bubar tanpa kesepakatan. Sebabnya, Yudi tak bisa menjamin Hariadi bisa bebas. Tapi ia tetap menjalin kontak dengan Agung, melalui telepon atau pesan pendek. Sesuai dengan tawaran Agung, Yudi berusaha meminta Edison menurunkan harga menjadi Rp 500 juta. Tapi Edison menolak.
Dimintai konfirmasi, Joseph mengaku tak pernah menawarkan bantuan kepada Hariadi. ”Saya ke sana untuk menyampaikan simpati. Kebetulan saya sedang jalan bersama Yudi,” tuturnya. Adapun Edison mengatakan kesepakatan bantuan hukum tak tercapai karena orang orang Hariadi ”minta bantuan lebih”.
Yudi tetap rajin ”bersilaturahmi”, seperti terekam dalam sejumlah pesan pendek yang disimpan di telepon seluler Agung. Pada 28 Juni 2009 pukul 09.27.49 WIB, ia berkirim pesan: ”Mas, aku lagi di Kediri dgn Bapak dan Ibu. Bgmana kabarnya? Saran dr bapak, posisiku di bawah Mas Agung saja. Salam buat Pak Har….” Dua hari kemudian, dia kembali mengirim pesan, ”Bila berkenan (progres positif), medical bisa diupayakan Kamis, mas? Urgent… Maturnuwun….”
Rupanya ini pesan lanjutan dari percakapan telepon. Menurut Agung, Yudi meminta Rp 150 juta untuk berobat ayahnya. ”Tapi kami tak pernah memberi sepeser pun,” katanya.
Yudi tak menyangkal pernah membicarakan uang dengan Agung. Tapi dia mengatakan hanya mau meminjam. Soal hubungannya dengan Ade Rahardja, anak sulung Bibit Samad Rianto ini mengaku kenal. ”Saya ketemu kalau beliau sedang bertemu Bapak di rumah,” tuturnya.
Jejak Yudi juga terekam dalam beberapa kasus lain. Sebut saja kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja daerah dengan tersangka Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi. Yudi dikabarkan menerima Rp 500 juta dari Jimmy ketika kasus itu diusut Komisi. Jimmy menyangkal ada uang. Adapun Yudi tertunduk ketika ditanya soal ini. Sambil mengusap mukanya yang kuyu, ia mendesah, ”Wow….”
Ditemani Joseph Kapoyos, Yudi menemui Jimmy yang ditahan di sel Kepolisian Resor Jakarta Utara. Tersangka korupsi APBD Rp 48 miliar itu ingin pindah ke tahanan Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, yang lebih nyaman. ”Saya bilang harus kuasa hukumnya yang mengajukan, tapi pengacaranya sudah gagal,” katanya.
Ditemui di rumahnya untuk mengkonfirmasi aksi anaknya, Bibit Samad Rianto meradang. ”Siapa yang menyuruh Anda menulis tentang ini?” katanya. ”Ini upaya orang yang mau mencari kesalahan saya.”
RICKY Rezani, Presiden Direktur Altelindo Karyamandiri, perusahaan teknologi informasi rekanan PLN, ditelepon seseorang tak dikenal yang mengaku bernama Obi. Pada Maret 2009 itu, Saleh Abdul Malik, bos Ricky, telah beberapa kali diminta datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi tengah menyelidiki kasus yang juga menjerat Hariadi Sadono. Altelindo menjadi rekanannya.
Kepada Ricky, Obi memberitahukan bahwa Saleh akan segera jadi tersangka. Mulanya Saleh tak percaya informasi Obi akurat. Namun ia mulai waswas ketika pertanyaan pertanyaan penyidik Komisi sama dengan informasi yang disampaikan Obi, yang belakangan diketahui bernama asli Amoriza Harmonianto.
Saleh pun meminta Ricky mengontak laki laki yang mengaku sudah lama menjadi makelar ini pada suatu hari di bulan Juni 2009. Setelah pertemuan, Saleh percaya Obi bisa membantu meringankan kasusnya. Sebab, laki laki 53 tahun itu tahu detail kasus yang menimpanya dan kejadian kejadian saat ia diperiksa penyidik Komisi. Obi pun mengaku kenal baik dengan Direktur Penyidikan Ade Rahardja dan Ary Muladi, pengusaha asal Surabaya yang dikenal bisa membantu ”menangani” kasus.
Obi lalu menawarkan paket bantuan ”formal” dan ”informal”. Untuk jasa formal, Obi mengajukan pengacara Tri Harnoko Singgih, anak mantan Jaksa Agung Singgih, yang diakunya sebagai sepupu. Biayanya Rp 750 juta. Adapun informal dilakukan melalui ”jalur belakang”. Biayanya ”akan dikonsultasikan dulu ke orang orang KPK”.
Esok malamnya, Obi menelepon Ricky, memberitahukan sedang ”bernegosiasi dengan Ary Muladi dan Ade Rahardja” di Jalan Panjang, Jakarta Barat. Dua hari kemudian, ia datang ke kantor Saleh membawa secarik kertas. Ternyata itu daftar pejabat Komisi yang menurut Obi harus disogok. Nilai uangnya delapan miliar. ”Gile, gede banget…,” Saleh, 39 tahun, memekik.
”KPK memang segini. Biasanya Rp 20 miliar,” Obi menyahut.
Daftar itu hanya menuliskan jabatan: pimpinan KPK Rp 750 juta, deputi Rp 500 juta, direktur Rp 500 juta, penyidik Rp 250 juta, dan koordinator wilayah Rp 400 juta. Meski merasa berat, Saleh setuju dengan harga itu. Ia meminta pembayaran dua tahap untuk melihat dulu hasilnya: apakah setoran duit itu ampuh atau tidak. Setengah pembayaran pertama diberikan tiga tahap, pada 9, 10, dan 24 Juli 2009. Penyerahan uang itu dibuktikan dengan kuitansi yang diteken Obi. (Lihat ”Setumpuk Uang di Tas Mont Blanc”.)
Setelah pembayaran itu, Saleh memang tak lagi dipanggil Komisi. Ia mengkonfirmasi kepada Tri Harnoko: apakah urusan ”informal” berjalan sesuai dengan rencana. ”Menurut Koko, Ary terima uang itu,” katanya. Ketika dimintai konfirmasi, Harnoko mengakui sekali bertemu dengan Ary Muladi di sebuah restoran di kawasan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada pertemuan itu, Harnoko ditemani seorang stafnya. Obi datang sendiri, begitu juga Ary Muladi. Ketika ditanya Obi soal uang Saleh, menurut Harnoko, Ary menjawab urusannya masih dalam proses. ”Ia tak bisa menjamin kasus berhenti,” katanya, ”tapi akan menjaga agar Pak Saleh hanya sebagai saksi, bukan tersangka.”
Janji itu tak terbukti. Saleh menjadi tersangka pada 2 November 2009 dan langsung ditahan. Alumnus program master University of California, Los Angeles, itu awalnya menghuni ruang tahanan Kepolisian Resor Jakarta Utara, lalu pindah ke tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Merasa tertipu dan diperas, Saleh melapor ke polisi. Polisi sempat menahan Obi sebulan lebih, tapi melepasnya lagi.
Ary Muladi, yang ditemani dua pengacaranya, mula mula mengaku mengenal Obi. Tapi semenit berikutnya ia meralat. Ia menyangkal memperantarai kasus ini. ”Kalau benar saya makelar kasus, sudah sugih dong saya?” ujarnya.
Tapi kepada pengacaranya, M. Yanuar, Ary mengaku kenal Obi. Istri Obi, kata Yanuar, bahkan bolak balik menjenguk ketika Ary ditahan di penjara Markas Besar Kepolisian dalam kasus percobaan penyuapan kepada pimpinan Komisi. ”Dia menanyakan apa isi berkas pemeriksaan Ary,” kata Yanuar, yang dibenarkan Sugeng Teguh Santoso, pengacara Ary lainnya.
Mendengar sangkalan Ary, Obi hanya geleng geleng kepala. Di rumahnya di Serpong, Tangerang, laki laki 53 tahun ini tiga kali menerima Tempo. Tapi ia menolak menceritakan ulang penyerahan uang itu. Obi hanya membenarkan bahwa tanda tangan di kuitansi itu memang coretan tangannya. ”Kalau Ary Muladi mengaku tak kenal saya, ya, silakan saja,” katanya.
Ade Rahardja juga geleng geleng kepala ketika dimintai konfirmasi seputar makelar kasus yang selalu bermuara di namanya. ”Silakan Anda tak percaya, tapi saya tak kenal dan tak pernah ketemu Ary Muladi, Obi, Yudi, atau siapa pun yang mengaku bisa mengurus kasus di KPK,” katanya. Menurut inspektur jenderal polisi ini, makelar makelar yang menyebut namanya hanya mengarang cerita agar bisa memeras para tersangka korupsi.
Komisi, kata Ade, membuat surat edaran kepada siapa pun yang diperiksa agar tidak memberikan apa pun kepada penyidik. Orang yang diperiksa pun meneken surat keterangan tak akan berhubungan, apalagi menyuap, selama pemeriksaan. ”Jadi, kalau ada yang mengaku orang KPK, itu pasti penipu,” katanya.
Ary Muladi, yang semula beroperasi di ruang ruang gelap, harus muncul ke permukaan pada Juli 2009. Berita acara pemeriksaan yang dia teken menuntun polisi menetapkan dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, sebagai tersangka penerima suap. Sebab, Ary mengaku telah menyerahkan Rp 5,1 miliar dari Anggoro Widjojo, tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di Departemen Kehutanan, kepada Bibit dan Chandra melalui Ade Rahardja.
Belakangan Ary mencabut pengakuannya. Ia bilang tak langsung memberikan uang itu kepada Ade, tapi melalui Yulianto. Yulianto adalah kenalannya saat menjadi rekanan Perusahaan Daerah Air Minum Surabaya.
Ary tak konsisten menyebutkan ciri ciri orang yang disebutnya tinggal di Surabaya itu. Kepada Koran Tempo pada 6 November 2009, ia mengatakan tubuh Yulianto setinggi bahunya, kulit kuning, badan gempal, alis agak lurus dengan ujung sedikit naik, dan orang Jawa berlogat Surabaya.
Sehari berikutnya, seusai diperiksa Tim Verifikasi dan Pencari Fakta, ia menyebutkan tubuh Yulianto lebih tinggi lima sentimeter darinya, kulit agak gelap tapi bersih, seperti orang Tionghoa, dan alis lurus dengan ujung cenderung naik. Kepada Tempo, yang menemuinya pertengahan Februari lalu di sebuah restoran Jepang di selatan Jakarta, Ary menyebutkan Yulianto seperti orang Tionghoa, perlente, atletis, umurnya 40 an tahun, dan kalau tertiup angin belahan rambutnya kelihatan.
Bagaimanapun, Agung Hendradi Kuswarjanto, orang kepercayaan Hariadi, segera mengingat Yudi Prianto ketika mendengar Ary menyebutkan ciri ciri Yulianto. ”Ciri ciri Yulianto itu sama dengan Yudi,” ujarnya.
Untuk meminta konfirmasi soal Yulianto, Tempo menunjukkan foto Yudi kepada Ary Muladi. Ia mendorong kembali foto itu dan tak mau melihatnya. Tapi, ketika foto itu kembali disodorkan, Ary menggeleng. ”Ini bukan Yulianto saya,” katanya. ”Ini orang Tionghoa, Yulianto bukan Tionghoa.”
Adapun Yudi mengatakan sejak awal sudah menyangka bakal dihubungkan dengan Yulianto. ”Saya sudah lama mendengar nama itu akan muncul, bahkan sebelum Bapak jadi tersangka,” katanya. Masalahnya, ciri ciri Yulianto baru dimunculkan Ary Muladi pada 6 November 2009—dua bulan setelah Bibit Samad Rianto ditetapkan polisi sebagai tersangka. Tahu dari mana? ”Ada teman yang memberi tahu,” katanya.
Dua jalur makelar bertemu di satu nama: Yudi Prianto bin Bibit Samad Rianto.
OPERASI makelar perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi punya pola sama: uang keluar, penyidikan mandek untuk beberapa lama, tapi kemudian ”korban” menjadi tersangka dan langsung ditahan. Seorang pengacara yang mengetahui seluk beluk soal ini mengatakan uang sogok memang tak bisa menghentikan perkara. Sebab, Komisi tak bisa menghentikanpenyidikan. Yang bisa dilakukan, kata pengacara senior itu, uang digunakan untuk merundingkan pasal tuduhan.
Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean membantah tuduhan itu. Ia menduga makelar kasus hanya mengatasnamakan pejabat atau lembaganya untuk mengelabui tersangka. Ia menjamin tak ada kebocoran informasi yang bisa dimanfaatkan orang luar Komisi buat memeras. Alasannya, kamera CCTV di pasang di ruang ruang pemeriksaan, pengawas internal rutin memeriksa kekayaan para penyidik, dan ekspose kasus digelar terbuka tiap pekan. ”Ade Rahardja sudah kami periksa. Tak ada bukti dia berhubungan dengan Ary Muladi,” kata Tumpak. Dia mengakui banyak laporan pemerasan tersangka bermuara pada dua nama ini.
Pada kasus Bupati Lombok, Nusa Tenggara Barat, Iskandar, misalnya, Ary juga dilaporkan meminta Rp 4 miliar. Ia berjanji meringankan tuntutan tersangka korupsi kas daerah Rp 1,48 miliar itu. Ida, putri Iskandar, sudah menyetor Rp 1 miliar pada awal Mei 2008 kepada dua orang utusan Ary. Merasa suap terlalu besar, Ida berencana melaporkannya kepada Ketua Komisi, Antasari Azhar. Eh, di lantai tiga gedung, ia melihat Ary. ”Bu Ida sampai tak enak berjalan ke ruang Pak Antasari,” kata Arbab Paproeka, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional, yang menemani Ida kala itu.
Ary menyangkal berkunjung ke kantor Komisi pada bulan yang disebut Arbab. Dia mengaku hanya sekali menyambangi Komisi pada Juli 2009, ketika menyerahkan surat sakit Anggoro Widjojo yang akan diperiksa. ”Kata polisi, saya ke sana enam kali, tapi tak ada buktinya,” katanya.
Makelar perkara yang mengincar korban dari kasus kasus korupsi tampaknya tidak kehabisan cara untuk meraup duit. Kepada wartawan Tempo yang mewawancarainya, Februari lalu, seorang makelar mengajukan tawaran ini :
+ Bagaimana kalau kita bekerja sama?
Maksudnya?
+ Saya yang cari informasi kasus, Anda menuliskannya.
Lalu?
+ Duitnya kita bagi dua…!
TIM INVESTIGASI
Penanggung Jawab: Budi Setyarso
Kepala: Proyek Bagja Hidayat
Penyunting: Hermien Y. Kleden, Budi Setyarso
Penulis: Bagja Hidayat, Yuliawati, Budi Riza, Muhammad Nafi
Penyumbang Bahan: Yuliawati, Bagja Hidayat, Muhammad Nafi, Budi Riza, Budi Setyarso, Ramidi, Anton Aprianto (Jakarta), Kukuh S. Wibowo, Dini Mawuntyas, Rohman Taufiq (Surabaya)
Riset Foto: Mazmur A. Sembiring, Jacky Rachmansyah
Desain: Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Tri Watno Widodo
Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Dewi K.T.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo