Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PINTU itu sama sekali tidak punya salah. Namun seorang pria setengah baya menghampirinya dengan penuh amarah. Braakkk…. Pintu rumah itu ditendang sekeras-kerasnya. Akibatnya, kaki si bapak itu langsung memar dan bengkak. Tak lama kemudian dia pun berlalu dengan kaki yang terpincang. Kenapa lelaki itu teramat marah?
Inilah kisah yang meluncur dari Ahmad Kalla. Kata dia, lelaki itu tak lain adalah Haji Kalla, ayahnya. Saudagar itu marah besar akibat ulah anak lelakinya yang paling tua: Jusuf Kalla. Kata Ahmad, saat itu merupakan hari akhir bulan Ramadan. Tapi Ahmad tak ingat betul, Ramadan di tahun kapan.
Itu hari terakhir puasa bagi Kalla, tapi tidak bagi Jusuf. Hari itu, bersama istrinya, Mufidah, Jusuf sudah pergi ke masjid. Mereka bertakbir, menunaikan salat Id lalu bersalaman untuk saling memaafkan.
Di mata Kalla tentu saja Jusuf melakukan kesalahan. Dia mengikuti perhitungan datangnya Syawal yang lebih awal dari hisab yang diyakini sang ayah. Seperti halnya warga Muhammadiyah lainnya saat itu, Jusuf dan istrinya memang ber-Lebaran lebih dulu. Semula semua berlangsung aman tenteram. Sampai saat mereka pulang dari salat itu, Kalla memergoki anaknya. Lalu terjadilah aksi sepak pintu itu.
Itulah secuplik kisah dari liku-liku keluarga Haji Kalla. Keluarga ini memang unik. Kepala rumah tangga, yakni Haji Kalla, adalah seorang penganut tradisi Nahdlatul Ulama yang fanatik. Sebaliknya Athirah, sang istri, dan ibu dari anak-anaknya adalah orang Muhammadiyah yang juga tak kalah taat. ”Beliau NU tulen, begitu juga ibunya, Muhammadiyah tulen,” kata Muhammad Abduh, sahabat Jusuf sejak remaja.
Meski sama-sama Islam, kedua organisasi ini punya banyak perbedaan yang sangat prinsip. Nahdlatul Ulama dikenal konservatif, sebaliknya Muhammadiyah dikenal sangat moderat. Ibarat sepasang rel kereta, meski punya tujuan yang sama, keduanya sulit bertemu.
Banyak contohnya. Semisal soal ibadah salat tarawih. Pihak NU memilih salat 20 rakaat plus 3 witir, sebaliknya Muhammadiyah lebih ringkas: 8 rakaat dan ditutup witir 3 rakaat. Pun begitu, saat penentuan Lebaran, keduanya sering tidak kompak.
Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang aneh. Pada masa itu, bahkan hingga sekarang, di negeri ini, tentu termasuk di Makassar, dua aliran ini sudah lama hidup dalam banyak keluarga. Entah suami yang NU atau istri yang Muhammadiyah, atau bisa pula sebaliknya.
Namanya juga perbedaan, bukan berarti persoalan menjadi mudah. Jusuf seolah berada dalam dua alam yang berbeda. Jika mengikuti sang ayah, sudah pasti dia berbeda dengan ibunya. Pun sebaliknya.
Haji Kalla penganut NU yang kuat. Sebelum mereka hijrah ke Makassar, Kalla sudah aktif dalam berbagai kegiatan organisasi itu. Salah satunya menjadi bendahara Masjid Raya Watampone. Gara-gara pecah pemberontakan DI/TII, pada 1952, keluarga ini hijrah ke Makassar. ”Keadaan di sana kacau. Banyak gerombolan yang membakar rumah,” kata Jusuf.
Sesampai di Makassar, sambil membangun bisnisnya, dia tidak melupakan kegiatan agama. Pendidikan agama adalah harga mati bagi keluarga ini. Mereka menerapkan aturan yang ketat bahkan keras. Anak-anaknya akan dihukum jika lalai mengaji dan salat. ”Kalau tidak mengaji, kami dipukul pakai rotan,” kata Jusuf mengenang masa kecilnya.
Sang ibu, Athirah, sama tegasnya untuk urusan ini. ”Kalau lalai salat dan tidak mengaji atau rapor ada angka merahnya, dia akan memarahi kami,” tutur Jusuf. Namun, bila dianggap benar, dia tidak ragu membela anak-anaknya.
Kalla menginginkan anak-anaknya, terutama Jusuf yang menjadi anak lelaki tertua, menjadi pemuka agama Islam. ”Beliau menginginkan saya menjadi ustad,” kata Jusuf. Untuk itulah, dia pun disekolahkan di sekolah menengah Islam di kawasan Datumuseng, Makassar.
Di sana Jusuf selama empat tahun membedah Quran, hadis, dan fikih. ”Pokoknya semua soal agama,” kata Abduh, yang menjadi teman sebangkunya. Pada tahun keempat, mereka ikut ujian persamaan sekolah menengah umum.
Di luar itu, keluarga ini aktif dalam kegiatan organisasi. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah di Jalan Andalas, yang bersebelahan dengan Masjid Raya Makassar. Demi memudahkan urusan dengan masjid, Kalla pun membobol tembok pagar rumahnya. Dengan begitu, dia dengan mudah keluar-masuk masjid.
Sepanjang hidupnya, Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Pada masa kepengurusan itu, terbentuk Yayasan Masjid Raya, yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla.
Haji Kalla mengundang Sanusi Baco, tokoh NU yang pada saat itu baru saja pulang dari Kairo, Mesir, untuk tinggal di Masjid Raya. Dia juga diberi kepercayaan memimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Sanusi juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla, yaitu setiap Kamis pada waktu zuhur. ”Haji Kalla sebagai pengurus masjid memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masjid dan jemaahnya,” kata Sanusi.
Di pihak lain, sang ibu Athirah adalah aktivis Muhammadiyah yang gesit. Rumahnya pun menjadi pusat kegiatan Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah. Pengajian rutin selalu digelar di sana. Peserta yang datang campur baur. Ada yang datang dari kalangan Muhammadiyah, ada juga yang dari Nahdlatul Ulama.
Dari berbagai rangkaian peristiwa yang dialaminya itu lambat-laun Jusuf memahami kedua perbedaan tersebut. Namun tak juga selamanya mulus. Contohnya, ya insiden sepak pintu itu. Pada akhirnya, Jusuf pun memandang perlunya sebuah jalan tengah. Bagi Jusuf ini adalah langkah yang terbaik. ”Saya suhaimi saja atau mengambil ajaran tengah.”
Itu pun bukan semata karena perbedaan ibadah, melainkan karena sikap keras sang ayah. Secara ritual, akhirnya dia mengikuti ajaran yang dianut sang bapak. ”Lebaran ikut Bapak. Apalagi dengan otoriter. Ibu ikut Bapak juga. Kami sembahyang tarawih 20 rakaat,” katanya.
Di sisi lain, untuk kegiatan sosial, Jusuf mengaku terpengaruh Muhammadiyah, dari ibu. Jusuf memang rajin memberikan sumbangan bagi sekolah dan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan Muhammadiyah atau Aisyiah. Belakangan, mereka pun mendirikan sekolah dengan nama Athirah, yang tak lain adalah nama ibunya sendiri.
Bak mengikuti langkah kedua orang tuanya, saat berjodoh ternyata pasangannya datang dari kalangan Muhammadiyah. Mufidah, gadis yang ditaksirnya sejak muda, adalah anak guru mengajinya, yakni Pak Miat. Sang ayah pun sempat gusar. ”Bukan karena dia Muhammadiyah, tapi menurut adat Minang, mereka harus melamar ke salah satu pamannya, bukan langsung pada orang tuanya,” kata Jusuf sambil tergelak.
Jalan tengah serupa pada akhirnya dia tawarkan pula pada anak-anaknya. ”Mereka normal-normal saja. Tidak ada pengaruh satu sama lain. Mix saja.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo