maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Mengapa Kami Membuat Edisi Khusus 10 Tahun Jokowi

Dalam dua periode pemerintahannya, Jokowi menarik mundur demokrasi. Di akhir kekuasaannya, Indonesia menjelma menjadi negara yang bercorak legalisme otokratis.

arsip tempo : 172652351869.

Ilustrasi: Tempo. tempo : 172652351869.

BANYAK orang menyangka naiknya Joko Widodo ke tampuk kekuasaan sebagai kemenangan orang biasa. Latar belakangnya yang bukan berasal dari keluarga elite amat kontras dengan Prabowo Subianto, lawannya dalam pemilihan presiden 2014 yang juga mantan menantu Presiden Soeharto serta putra menteri rezim Orde Lama dan Orde Baru, Sumitro Djojohadikusumo. Sebagai antitesis Prabowo, Jokowi dianggap oleh mayoritas pemilih Indonesia lebih punya peluang membawa republik ini menjauh dari bayang-bayang Orde Baru yang korup dan otoriter.

Citra tersebut diperkuat dengan gaya kepemimpinannya saat menjadi Wali Kota Solo ataupun Gubernur DKI Jakarta. Ia bisa tiba-tiba berada di pasar dan gorong-gorong atau di kantor-kantor pemerintahan untuk inspeksi. Lewat blusukan dan gaya komunikasinya yang informal, Jokowi menampilkan dirinya sebagai orang yang dekat dengan rakyat dan antisistem birokrasi yang ribet. Dengan cara ini pula Jokowi menggambarkan dirinya sebagai antitesis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pendahulunya, yang terkesan kurang sat-set dan berjarak dengan khalayak.

Di awal pemerintahannya, Jokowi tampak menjanjikan. Sebagian janji yang ia lontarkan dalam kampanye, yang disebut Nawacita, menjadi sembilan agenda pemerintahan yang terlihat reformis. Tertulis dengan gamblang bahwa ia bertekad “membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya”. Ia pun akan “melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan”. Pada poin lain, dia mencanangkan “reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya”. 

Indeks Demokrasi 2015 yang dirilis Economist Intelligence Unit, sayap penelitian dan analisis The Economist, antara lain yang mencerminkan optimisme tersebut. Pada tahun itu, meskipun peringkatnya 49, sama dengan pada 2014, skor demokrasi Indonesia naik tipis menjadi 7,03 dari sebelumnya 6,95. Kebebasan sipil, salah satu komponen yang dinilai dalam indeks tersebut, sebesar 7,35 pada 2014 dan 2015.

Sembilan tahun kemudian, pada 2023, peringkat dan skor demokrasi kita di indeks tersebut malah lebih buruk dari tahun pertama Jokowi menjabat. Peringkat demokrasi Indonesia melorot menjadi 56 dengan skor 6,53. Nilai kebebasan sipil terjun bebas ke angka 5,29. Barangkali dalam data 2024, yang dipublikasikan pada awal 2025, posisi kita akan makin terpuruk. Indeks 2023 belum mencerminkan proses dan hasil Pemilihan Umum 2024, yang dianggap sebagai pemilu paling brutal dan buruk setelah era Reformasi karena cawe-cawe Jokowi memenangkan anaknya sebagai wakil presiden.

Penilaian sejumlah lembaga lain atas demokrasi kita serupa dengan riset Economist Intelligence Unit. Pada akhir kekuasaan Jokowi selama dua periode, Indonesia mengalami pembalikan demokrasi (democracy backsliding). Berbeda dengan pola klasik seperti kudeta yang mengubah sistem secara drastis, kemunduran demokrasi yang kita alami terjadi secara perlahan-lahan hingga tak disadari sebagian orang. Ilmuwan politik Nancy Bermeo menyebut gejala ini sebagai perluasan kekuasaan eksekutif (executive aggrandizement) seperti yang terjadi di Turki dan Ekuador. 

Presiden Joko Widodo dan putranya, Gibran Rakabuming Raka, menyapa warga di lingkungan Istana Merdeka, Jakarta, Oktober 2019. Antara/Rachman

Pelan tapi pasti, Jokowi memutar balik laju demokrasi dan menggerus berbagai capaian Reformasi 1998. Mula-mula ia mengkonsolidasikan partai politik supaya koalisi pendukung pemerintah menjadi mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat. Di ujung periode pertama pemerintahannya, Komisi Pemberantasan Korupsi dipreteli melalui revisi undang-undang lembaga tersebut. Pelemahan juga dilakukan dengan disorongkannya calon pemimpin KPK yang tak berintegritas untuk dipilih DPR. 

Pada awal periode kedua, Jokowi dan para politikus Senayan mengamendemen Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara kilat. Revisi tersebut menjadi jalan untuk mengontrol Mahkamah dengan mengganti komposisi hakim agar lebih dari separuh hakim berpihak kepada parlemen dan Istana. Dengan lemahnya ketiga lembaga pengontrol eksekutif tersebut—DPR yang membebek pemerintah, KPK yang lembek, dan Mahkamah Konstitusi yang cenderung memihak penguasa—Jokowi menjalankan pemerintahannya nyaris tanpa checks and balances.

Jokowi berkilah bahwa demokrasi baik-baik saja, orang masih bebas mengkritik, dan pemilu berjalan secara demokratis. Justru demikianlah perluasan kekuasaan eksekutif bekerja: demokrasi menjadi sekadar ilusi. Di bawah, pilar-pilar demokrasi digerogoti pelan-pelan dan menunggu roboh. Institusi seperti KPK dan Mahkamah Konstitusi memang masih ada, tapi mandat dan kewenangannya dipreteli melalui undang-undang. Di akhir pemerintahan Jokowi, tanpa disadari kita telah menjadi negara yang bercorak legalisme otokratik.

•••

MENJELANG Joko Widodo lengser pada periode kedua kekuasaannya, 20 Oktober nanti, kami memutuskan untuk memeriksa janji-janjinya, melihat apa yang telah dia perbuat, dan menyajikannya dalam sebuah edisi khusus. Edisi khusus 10 Tahun Jokowi ini terbit untuk memperingati penetapan Komisi Pemilihan Umum atas kemenangan Jokowi dalam pemilihan presiden 2014 pada 22 Juli.

Rapat redaksi menyepakati bahwa tema besar edisi 10 tahun pemerintahan Jokowi adalah pembalikan demokrasi untuk mewawas diri bahwa demokrasi perlu terus dirawat dan diperjuangkan. Juga sebagai pengingat bahwa kemunduran demokrasi yang terjadi hari ini mungkin akan makin parah. Sejumlah undang-undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat bisa membawa kita mundur ke titik nol Reformasi.

Selama lebih dari tiga bulan kami mempersiapkan edisi ini. Untuk menggali informasi awal, kami menggelar lebih dari sepuluh diskusi terarah dengan para ahli hukum, ekonom, pengamat politik, pegiat antikorupsi, pembela hak asasi manusia, hingga aktivis lingkungan. Rangkaian diskusi tersebut memperkuat tesis kami bahwa longsornya demokrasi di era Jokowi nyata adanya. 

Dari para narasumber diskusi, kami mendapatkan gambaran mengenai berbagai kesalahan Jokowi. Dari mengukuhkan dinasti politik hingga melemahkan pemberantasan korupsi, dari mempersempit ruang kebebasan sipil hingga memaksakan pembangunan Ibu Kota Nusantara. Kami mencatat ada 18 dosa yang dibuat Jokowi, yang kami paparkan satu per satu dalam edisi ini, dua kali lipat dari janji perubahan dan perbaikan dalam Nawacita.

Kami juga menemui puluhan narasumber di lapangan untuk mendapatkan cerita dari dekat bagaimana demokrasi digerus atau hendak dibajak. Salah satunya Andi Widjajanto, mantan Sekretaris Kabinet dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Andi blakblakan soal perannya dalam upaya memperpanjang kekuasaan Jokowi. Ia juga menceritakan saat Jokowi memerintahkannya membuat kajian mengenai hal itu, baik lewat perpanjangan masa jabatan maupun penambahan periode jabatan. 

Salah seorang wartawan kami menelusuri kembali jejak dinasti politik Jokowi di Solo, Jawa Tengah, pada pertengahan Juli dan menemui orang-orang dekat keluarga Jokowi. Kali ini mereka lebih terbuka soal skenario Jokowi mendorong anak dan menantunya menjadi kepala daerah. Narasumber lain yang biasanya irit bicara kali ini bersedia bicara banyak. Salah satunya mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md., yang menceritakan kisah di balik berbagai kebijakan hukum Jokowi. 

Dari kiri, Dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Ade Wahyudin, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung dalam diskusi persiapan edisi khusus 10 tahun Jokowi di Kantor TEMPO Media Grup di Palmerah, Jakarta, 27 Juni 2024. Tempo/Subekti

Untuk mendapatkan perspektif berbeda, kami meminta pandangan dari wakil pemerintah, seperti Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto. Untuk memperkaya pandangan pembaca soal capaian pemerintahan Jokowi, kami juga mengajukan permintaan wawancara panjang kepada sejumlah pejabat pemerintah ataupun mengundang mereka untuk menulis kolom. Dua yang bersedia adalah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.

Kami pun membuka ruang selebar-lebarnya bagi Presiden Jokowi untuk menjelaskan. Surat kami ajukan berkali-kali, termasuk lewat Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono pada pertengahan Juni lalu. Dia memastikan surat sudah sampai di meja presiden. Namun, hingga tenggat edisi ini, Jokowi belum memberikan waktu untuk wawancara khusus. Jurnalis Tempo menyodorkan pertanyaan dalam berbagai kesempatan wawancara cepat atau doorstop. Tapi Jokowi baru menjawab sebagian kecil dari daftar pertanyaan yang kami siapkan.

Inilah potret berbagai kondisi setelah sepuluh tahun Jokowi berkuasa. Nawacita Jokowi berubah menjadi nawadosa ganda. Selamat membaca.

Edisi Khusus 10 Tahun Jokowi: Penanggung Jawab: Setri Yasra; Kepala Proyek: Bagja Hidayat; Penulis: Ahmad Faiz, Anton Septian, Avit Hidayat, Caesar Akbar, Devy Ernis, Egi Adyatama, Erwan Hermawan, Fajar Pebrianto, Fery Firmansyah, Francisca Christy Rosana, Ghoida Rahmah, Hussein Abri Dongoran, Irsyan Hasyim, Khairul Anam, Lani Diana, Mohammad Khory Alfarizi, Novali Panji Nugroho, Praga Utama, Retno Sulistyowati, Riky Ferdianto, Sunudyantoro, Yohanes Paskalis, Yosea Arga Pramudita; Penyunting: Abdul Manan, Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Fery Firmansyah, Iwan Kurniawan, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Raymundus Rikang, Rusman Paraqbueq, Stefanus Pramono, Zacharias Wuragil, Yandhrie Arvian; Penyumbang Bahan: Ambrosius Adir (Manggarai), Daniel A. Fajri, Didit Hariyadi (Morowali), Egi Adyatama, Erwan Hermawan, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Dongoran, Hendrik Yaputra (Jayawijaya), Mei Leandha (Medan), Muhammad Iqbal (Serang), Nabiila Azzahra, Novali Panji Nugroho, Praga Utama (Penajam Paser), Riri Rahayuningsih, Septhia Ryantie (Solo), Shinta Maharani (Yogyakarta), Sultan Abdurrahman, Yogi Eka Saputra (Batam); Penyunting Bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Michael Timur Kharisma, Sekar Septiandari, Suhud Sudarjo, Tasha Agrippina; Desain: Agus Darmawan Setiadi, Ahmad Fatoni, Aji Yuliarto, Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Endang Wijaya, Gatot Pandego, Junianto Prasongko, Kuswoyo, Lukmanul Hakim, Mistono, Munzir Fadly, Rudy Asrori; Desain Digital: Dianka Rinya, Imam Riyadi, Novandy Ananta, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar; Ilustrasi: Alvin Siregar, Indra Fauzi, Kendra H. Paramita; Periset Foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama; Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Satu Dasawarsa Memutar Balik Demokrasi". Liputan edisi khusus 10 tahun Jokowi ini mendapat dukungan Yayasan Kurawal

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 15 September 2024

  • 8 September 2024

  • 1 September 2024

  • 25 Agustus 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan