Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Si ayah Menahan Sandera

Gara-gara tak mau mayar karcis bis kota, Dino dihajar di pool bis saudaranta. Sebagai balasan, ayah Dino menyendera Ginting dan menuntut agar pelaku penganiayaan diserahkan padanya.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA penembak jitu, dari resimen pelopor kepolisian, telah ditempatkan dekat sebuah rumah penduduk di daerah Pademangan, Jakarta. Yang diincar adalah lengan seseorang bernama Toos, yang sedang mengamangkan goloknya tepat di leher seseorang lain bernama Ginting. Ini bukan kisah penyanderaan model teroris internasional. Toos memang mengancam jiwa Ginting, malam tanggal 28 Maret lalu, dan menjadikannya sandera untuk menuntut sesuatu. Dari polisi dan pengusaha bis kota Saudaranta, Toos menuntut agar pelaku penganiayaan terhadap anaknya - di kandang (pool) bis Saudaranta -- segera diserahkan kepadanya. Drama kecil itu, namun cukup menegangkan, untungnya berakhir dengan aman. Toos, malam itu juga, akhirnya mau membebaskan sanderanya setelah dibujuk beberapa orang perwira polisi. Dino, anak Toos, petang hari itu pulang sekolah dengan lebih kurang 10 orang pelajar belasan tahun lainnya. Mereka biasa naik bis kota trayek Lapangan Banteng - Pademangan. Tak ada perlakuan istimewa bagi anak sekolah-begitu aturannya. Tapi, biasanya, para kondektur bis kota tak begitu cerewet. Kurang-kurang sedikit dari harga karcis yang cuma Rp 30, para pelajar biasanya tak dilarang menumpang kendaraan umum itu. Namun sore itu kelihatannya, Dino dkk tak mau membayar sama sekali. Kondektur Saudaranta, yang bertugas di bis nomor 68, tentu saja marah. Dino kebetulan yang kena pegang tangan petugas Saudaranta ini - dan langsung di bawa ke kandang. Tinggal Toos, ayah Dino, yang kelabakan menunggu kedatangan anaknya dari sekolah -- hingga jam 9 malam. Toos mencari keterangan ke sana ke mari. Sehingga akhirnya tahu, bahwa Dino sedang 'dikerjakan' oleh orang Saudaranta. Betul saja. Dino pulang malam itudengan tampang menyedihkan. Ia ercerita kepada keluarganya: di kandang Saudaranta ia dianiaya oleh beberapa orang. Ada yang memukulinya, ada yang menyundut bibirnya dengan api rokok dan ada yang menusuki punggung dan pantatnya dengan sesuatu benda yang rasanya tajam. Sang ayah, begitu dengar kisah anaknya, tentu saja kontan hendak membuat perhitungan. Ia segera mengerahkan beberapa orang kenalan untuk bertindak bersarna-sama. Dengan pikap pinjaman dikejarlah sebuah bis Saudaranta bernomor kode 59 -- padanal yang dicari sebenarnya yang bernomor 68. Bis ini dikendarai Ginting, dibantu kondektur Parlin. Bis distop di tengah jalan. Toos dkk naik dan langsung mengancam sopir dengan golok terhunus. Kepada penumpang lain Toos berseru: "Jangan takut. Saya bukan penodong atau perampok. Saya hanya berurusan dengan sopir. Penumpang boleh turun!" Kendaraan dipinggirkan, lalu Toos menggiring Ginting dan Parlin ke rumahnya di Pademangan. Ginting harus tinggal di sana sebagai sandera. Sementara Parlin dilepaskan kembali ke kandang sebagai utusan yang membawa pesan Toos: serahkan pelaku penganiayaan atas Dino. Sementara Toos menyandera Ginting, suasana kampung kecil di Pademangan jadi tegang. Penduduk, yang menyaksikan kenekatan tetangganya, jadi ikut-ikutan gelisah. Mereka segera melaporkannya ke pos polisi terdekat. Tapi polisi, yang dibantu pimpinan kampung di sana, tak berani mendekati Toos yang kian merapatkan golok ke leher Ginting. Toos mengancam: "Siapa saja, termasuk polisi sekalipun, tak ada yang boleh bertindak". Kepada Ginting ia malah berkata: "Biar polisi meledakkan granat kita akan mati bersama. Biar kau merasakan sendiri, bagaimana sakitnya dipukul dan dikeroyok". Berkata begitu, tangan Toos menunjuk tubuh Dino yang terbaring di balai-balai. Kesakitan. Toos agaknya sudah benar-benar gelap mata. Sekali ia memukul wajah Ginting. Kalau isteri Toos tidak mencegah - dengan mengingatkan bahwa Ginting ini hanya sebagai sandera saja statusnya - mungkin keadaan Ginting bisa lebih runyam. Lalu sandera disuguhi kopi dan makan malam, berkat kebijaksanaan nyonya penyandera. Polisi hampir saja bertindak keras. Dua penembak jitu dari Menpor sudah siap membidik lengan Toos yang bergolok. Namun dua orang polisi lain satu di antaranya teman semarga Toos (sama-sama dari Maluku) - berhasil mendekati dan membujuk penyandera. Toos mau melepaskan sanderanya, karena polisi yang membujuknya membohonginya: pelaku penganiayaan Dino sudah ditahan polisi. Drama kecil itu berakhir sekitar jam 2 pagi. Polisi yang dihubungi TEMPO belum menjelaskan akhir peristiwa ini: adakah pelaku penganiayaan terhadap Dino sudah ditindak. Dan apakah penyandera, Toos, lepas dari tuduhan berbuat kejahatan karena menyandera Ginting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus