KOTA Denpasar baru saja dilanda muntaber. Hampir 1.000 orang
penduduk terpaksa dirawat di rumah sakit, 10 di
antaranya meninggal. Rumah sakit Umum Wangaya, yang menampung
korban, sempat kewalahan. Penderita terpaksa ditempatkan di
lorong-lorong gudang dan bekas dapur rumah sakit.
Untunglah keadaan buruk itu, pekan lalu sudah berangsur pulih.
Hanya 90 orang yang masih tinggal di rumah sakit. Menteri
Kesehatan menilai muntaber itu bukan wabah. "Hanya kejadian luar
biasa," kata Menteri Suwardjono Suryaningrat di Jakarta pekan
lalu.
Penyakit yang untuk pertama kali melanda kota administratif
Denpasar dengan cara luar biasa ini, sempat membuat geger
penduduk. Apalagi turis-turis asing yang belum apa-apa sudah
ngeri mendengar penyakit itu. Beberapa rombongan wisata dari
Jepang dan Amerika, membatalkan kunjungan ke Bali. "Hari ini
saja, saya terima pembatalan 5 rombongan dari Jepang," kata
Nyonya Sari Buda, Asisten Eksekutif, biro perjalanan Natrabu di
Denpasar, Rabu pekan lalu.
Penyebab muntaber itu segera diusut yang berwenang. Tuduhan
pertama jatuh ke Sungai Badung yang mengalir di tengah kota. Air
sungai ini memang kotor. Penduduk mandi dan mencuci makanan di
situ. Padahal di barat RSU Wangaya -- tempat penderita dirawat
-- terdapat pembuangan sampah, persis di pinggir Sungai Badung.
Dengan sendirinya sampah-sampah ikut hanyut bersama air sungai.
Apalagi kalau hujan turun. Sehingga diduga kuat, bibit muntaber
membiak di sana -- terutama karena sebagian penduduk yang kena
wabah bertempat tinggal di pinggir sungai.
Ketika penyelidikan terhadap sungai belum tuntas, kecurigaan
yang lebih berat jatuh ke es bun-bun. Karena banyak anak sekolah
yang kena penyakit itu mengaku sakit perut setelah minum es itu.
Produsennya Wito Wiyono segera diselidiki. Sebotol air yang
diambil dari sumur di rumahnya, langsung diperiksa di
laboratorium. Hasilnya, "positif mengandung bibit kolera," kata
Semendra, pejabat P3M Dinas Kesehatan (Dikes), Bali.
Wito Wiyono mengakui sejak 21 Februari ia mengambil air sumur
yang terletak hanya 10 meter dari got depan rumahnya untuk
membuat es. Sebab air dari sumur pompa yang selama ini digunakan
beberapa pekan sebelumnya rusak.
Pulang ke Sala
Justru pada hari yang sama wabah muntaber mulai melanda
Denpasar. Tetapi Wito tidak percaya bibit kolera berasal dari
sumurnya. "Kalau mengandung bibit kolera, kenapa anak saya
tidak sakit," alasannya.
Akibat kampanye Jawatan Penerangan (Japen) setempat yang
menyebarluaskan bahwa penyebab kolera itu berasal dari es bun
bun, orang tidak mau lagi membeli es bun-bun. "Kami tidak bisa
mencari makan lagi," ujar Wito sedih. Sebanyak 130 anak penjaja
es yang ia datangkan dari Sala, terpaksa pulang kampung.
Apa pun sebenarnya penyebab wabah muntaber itu, yang jelas
selama ini Kota Denpasar memang jorok. Warga kota mempunyai
kebiasaan membuang sampah di got-got. Ketika musim hujan tiba,
got-got tersumbat, dan air busuk menggenangi jalan raya. Bau tak
sedap akhirnya tercium ke mana-mana, dibawa angin dan serangga.
Kurangnya disiplin warga kota, diakui juga oleh Walikota
Denpasar, Drs. I Gusti Ngurah Wardhana. Menurutnya, penerangan
soal disiplin sudah dilakukan pemerintah sejak tahun '79. Tetapi
hasilnya belum memuaskan. "Anjuran memasak air saja sulit
diterima," ujar Walikota.
Walikota juga menyebut-nyebut penduduk pendatang sebagai biang
kejorokan. Jumlah mereka sepertiga dari penduduk Denpasar yang
261.000 jiwa. Terdiri dari pelajar, pedagang, WTS dan
gelandangan. Karena itu program utama walikota adalah
membersihkan kota dari pendatang khususnya kelompok gelandangan
dan WTS. Serentak dengan itu kebersihan digalakkan.
Semenjak serangan muntaber, disiplin warga kota memang mulai
tumbuh, begitu yang dilihat Wardhana. "Buktinya usaha gotong
royong membersihkan got mulai giat," ia menambahkan.
Pihak Pemda sendiri menyiapkan dana Rp 15 sampai dengan 20 juta
khusus untuk menanggulangi wabah. Saat ini, pencegahan terhadap
menyebarnya wabah dilakukan dengan gencar. Antara lain
kaporitisasi sumur-sumur penduduk, dan penerangan secara
langsung. Semua pihak memang mulai sadar akan bahaya muntaber.
"Dengan timbulnya wabah kesadaran mereka meningkat," kata
Walikota Wardhana. Itu hikmah, rupanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini