Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Etika Pers dan Penyadapan

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, orang biasa pun merasa sangat risau, bila pembicaraan pribadi mereka disadap dan direkam, lalu disiarkan tanpa sepengetahuan mereka. Tapi, karena Presiden dan Jaksa Agung bukanlah orang biasa, melainkan tokoh penting dan terkenal, privasi mereka sangat rentan terhadap penyiaran atau publikasi secara terbuka. Seperti pernah dikatakan dalam fatwa seorang hakim agung Amerika Serikat ketika memutuskan suatu perkara yang menyangkut gugatan masalah privasi beberapa dasawarsa lalu: kian terkenal seseorang,ia akan semakin kehilangan privasinya.

Dengan kata lain, orang terkenal atau terkemuka harus merelakan sebagian privasinya untuk diketahui publik. Itu bukan karena pertimbangan bahwa mereka memiliki "nilai jual informasi" yang lebih daripada orang biasa, melainkan mereka menyandang beban berupa accountability (pertanggungjawaban) kepada publik. Lebih lagi bagi seorang pemimpin yang kehidupan pribadinya saja sering dijadikan contoh dan diteladani oleh publik. Apalagi, jika privasi itu menyangkut kebijakan pemerintahan, praktis semua orang berkepentingan atas segala ucapan dan tindak-tanduknya, karena itu menyangkut nasib mereka.

Dalam hal penyiaran salinan pembicaraan telepon privat antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung Ghalib oleh tabloid Berita Keadilan dan majalah Panji Masyarakat, sebenarnya ada dua masalah yang bisa berdiri sendiri. Yang satu soal penyadapan (bugging), yang oleh Menteri Kehakiman Muladi dikatakan sebagai "pelanggaran hak asasi manusia yang sangat berbahaya", dan apabila menyangkut persoalan negara "berarti masuk dalam kategori membahayakan keamanan negara." Yang lain adalah soal penyiaran salinan pembicaraan itu.

Selain menyangkut segi hukum, kedua persoalan itu, baik secara terpisah maupun tergabung, berkaitan pula dengan kode etik jurnalistik (KEJ) atau etika pers.

Kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia misalnya, menjelaskan, "Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum." Sedangkan kode etik Aliansi Jurnalis Independen mengatakan, "Jurnalis menghormati privasi seseorang, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat."

Kedua kode etik itu jelas memberikan peluang kepada pers untuk mengabaikan etika pers yang bermakna sempit?dan itu berarti tidak melanggar kode etik dalam pengertian yang lebih luas?jika berita privat yang disiarkan mengandung materi demi "kepentingan umum" atau yang "merugikan masyarakat". Lebih jelas lagi adalah rincian Kode etik (Code of Practice) Press Complaints Commission (Dewan Kehormatan Pers) Inggris. Sebagai kelaziman dalam setiap etika pers, kode etik jurnalistik Inggris melarang pers mengusik privasi, termasuk pemotretan dengan telefoto ke wilayah tempat kehidupan privat. Kode etik jurnalistik itu juga melarang pers menggunakan alat penyadap tersembunyi atau menyadap pembicaraan telepon privat. Pers juga dilarang mencuri dokumen dan foto, menyamar dan berbohong, menguntit dan menekan, atau mengintimidasi narasumber, sebagai upaya mencari informasi atau gambar. Tapi, semua etika pers tersebut dapat diabaikan apabila upaya pencarian informasi "akal-akalan" itu "melibatkan kepentingan umum".

Tentu saja pengertian "kepentingan umum" mengandung beberapa batasan makna, bukan sekadar tugas pers untuk memberikan "pelayanan informasi" kepada publik. Kode etik jurnalistik Inggris mengartikan "kepentingan umum" sedikitnya dalam tiga kategori:(1) jika pers hendak melacak atau mengungkapkan kejahatan atau pelanggaran hukum yang serius,(2) pers hendak melindungi kesehatan dan keselamatan publik, dan (3) pers hendak mencegah publik jangan sampai terkecoh oleh suatu pernyataan atau tindakan seseorang atau suatu organisasi.

Kebebasan pers di Indonesia selama satu tahun belakangan mulai tumbuh lagi setelah terbungkam selama 40 tahun. Namun, tidaklah berarti bahwa arus informasi sudah mengalir kembali dengan leluasa. Pers masih tetap menghadapi kesulitan untuk melaksanakan fungsinya akibat ketertutupan dan kebungkaman di banyak sumber informasi, termasuk di lembaga-lembaga negara yang seharusnya lebih transparan sebagai bagian dari tanggung jawabnya kepada publik. Keterbatasan informasi ini mungkin akan tetap menghambat pekerjaan pers. Karena hal itu mengurangi hak publik untuk memperoleh informasi bila kita belum mempunyai semacam Information Act seperti yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan Thailand.

Untuk menembus kebekuan informasi ini, tidak ada jalan lain bagi pers selain lebih sering melakukan peliputan penyidikan (investigative reporting). Jika peliputan penyidikan tidak dihidupkan kembali dalam tradisi pers kita, begitu banyak masalah penting yang selama ini tidak terungkap dengan jelas?padahal menyangkut kepentingan publik?akan tetap misterius.

Melalui peliputan penyidikan akan jauh lebih banyak narasumber anonim yang mampu memberikan keterangan karena mereka yakin bahwa pers akan melindungi identitas mereka. Kepercayaan narasumber yang konfidensial kepada tanggung jawab pers harus tetap dipelihara jika pers ingin terus menyumbang upaya mengembangkan masyarakat yang sarat informasi (well-informed). Hanya dengan menegakkan etika melindungi narasumber konfidensial, pers dapat mempertahankan kredibilitas dan martabatnya.

Pelanggaran terhadap etika pers pada umumnya memang hanya menimbulkan konsekuensi moral, bukan konsekuensi hukum. Akan tetapi, konsekuensi moral dalam etika pers sering kali jauh lebih berat daripada konsekuensi hukum. Pelanggaran berat terhadap etika pers bisa mengakibatkan "hukuman seumur hidup" karena wartawan yang terlibat dalam pelanggaran demikian sering kali tidak mungkin melanjutkan karirnya di dunia pers.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus