Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Belajar dari Cina dan India

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iskandar Alisjahbana Mantan Rektor ITB, anggota AIPI

Cina dan India, sebagai negara tetangga, bisa menjadi contoh yang baik mengenai bagaimana cara mencapai kemajuan. Cina dengan sistem komunis dan India yang sudah menganut sistem demokrasi. Memang pembandingan ini bisa menimbulkan rasa inferioritas, ataupun sebaliknya dapat memunculkan rasa superioritas yang tidak pada tempatnya. Namun, jelas banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pembandingan tersebut.

Pada tahun 1980 India mempunyai 678 juta penduduk, 300 juta lebih sedikit dari penduduk Cina. Standar hidup, yang diukur dengan parameter purchasing power parity (daya beli), adalah kira-kira sama. Tapi, berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2001 Cina, yang penduduknya sudah 1,3 miliar orang, memiliki pertumbuhan ekonomi (gross domestic product/GDP) per kapita US$ 890. Angka tersebut dua kali lipat pertumbuhan ekonomi per kapita India, yang hanya US$ 450. Penduduk India pada tahun itu mencapai 1,03 miliar jiwa.

Setelah dikoreksi dengan menggunakan parameter PPP, penduduk Cina tetap saja lebih kaya 70 persen dibanding penduduk India. Sejak 1992, dalam sepuluh tahun berikutnya, GDP per kapita India hanya tumbuh 4,3 persen per tahun, tetapi pendapatan per kapita penduduk Cina tumbuh dengan kecepatan dua kali lipatnya, yaitu sekitar 9 persen. Penduduk Cina yang berada di bawah garis kemiskinan hanya sekitar 5 persen, sedangkan penduduk India yang miskin mencapai 29 persen.

Raja Mohan, seorang cendekiawan India, menulis buku baru mengenai perbedaan perkembangan masyarakat Cina dan India tersebut. Dia menulis, "In all the new comparisons between the two Asian neighbours who entered the modern world at around the same time, India appeared to fall behind in every single indicator of national power and social prosperity."

Bagi India, tantangan ataupun ancaman yang mungkin datang dari Cina adalah dalam tiga bidang. Pertama, kepanikan geopolitik yang akan mengubah persaingan pertumbuhan Cina dan India menuju suatu perang terbuka. Kedua, banyak pekerja pertanian India yang kekurangan pekerjaan tetapi terpaksa membelanjakan uangnya untuk membeli barang impor dari Cina yang murah. Ketiga, pertanyaan ideologis yang sangat merisaukan: apakah keberanian India bereksperimen dengan sistem demokrasi justru yang menyebabkan negara itu mengalami banyak tantangan dan hambatan dibandingkan dengan sistem kediktatoran Cina yang juga tidak selalu mulus itu?

Hanya Manipulasi Statistik?
Banyak pengusaha dan penentu kebijakan India menolak dan menyanggah fakta-fakta kemajuan ekonomi Cina, yang jauh lebih meyakinkan dari India. Mereka menilai Cina cukup lihai memanipulasi angka-angka dan fakta tersebut. Dua hal yang sangat diragukan adalah angka pertumbuhan ekonomi Cina yang luar biasa cepatnya, dan jumlah penanaman modal luar negeri langsung (foreign direct investment/FDI) yang luar biasa besarnya.

Berdasarkan angka-angka resmi, Cina menerima investasi asing langsung sekitar US$ 52,7 miliar pada tahun lalu, sementara India hanya menerima US$ 2,3 miliar atau hanya 4 persen dari jumlah yang diterima Cina. Menurut para pengusaha India, angka-angka itu adalah kebohongan besar, terutama karena banyak investasi asing langsung yang disalurkan melalui Hong Kong telah dihitung dua kali lipat.

Setelah mengadakan perhitungan kembali, misalnya, Sadhana Srivastava dalam tulisannya di majalah Economic and Political Weekly mengungkapkan bahwa jumlah investasi asing yang masuk ke Cina memang hanya setengah dari angka yang resmi, sementara investasi ke India naik tiga kali dari angka resminya. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Cina, yang 2 persen, hanya sedikit lebih unggul ketimbang India yang mencapai 1,7 persen.

Dengan melihat koreksi tersebut, pada kenyataannya India memang hanya mampu menarik investasi asing 40 persen dari yang dapat ditarik oleh Cina. Perbedaan yang mencolok dalam arus masuk investasi asing ini terutama disebabkan oleh modal-modal dari Cina perantauan di Taiwan, Hong Kong, dan negara-negara Asia Tenggara. Mereka membawa kembali modal dalam jumlah besar ke negara leluhurnya. Hal yang sama sebetulnya juga terjadi pada pengusaha India perantauan. Tapi jumlahnya tak sebesar Cina perantauan.

Mengapa Cina Lebih Murah?
Rahul Gupta, Managing Director Phoenix Lamps, yang mempekerjakan 1.300 pekerja di dekat New Delhi, mengatakan bahwa perusahaan Phoenix tidak mampu berkompetisi dengan perusahaan Cina. Hal itu terjadi karena harga jual produk pabrik-pabrik di Cina setara dengan harga bahan baku produk Phoenix. Teranglah, Phoenix tak mampu menyaingi produk Cina.

Suatu laporan dari studi kelompok Asosiasi Industri India menunjukkan bahwa harga produk industri Cina memang jauh lebih murah dari produk India, terutama disebabkan oleh rendahnya pajak penjualan, dan murahnya ongkos mendapatkan modal. Bea masuk impor India adalah 24 persen, sebaliknya bea masuk impor di Cina hanya 13 persen. Tak aneh jika harga produk Cina bisa lebih murah. Sebut saja harga tembaga. Harga tembaga di India, misalnya, 25 persen lebih tinggi dari harga tembaga di Cina.

Jika berbagai laporan ini dapat diterima, tak sulit menyimpulkan bahwa superioritas hasil-hasil produksi industri Cina lebih disebabkan oleh insentif-insentif di dalam sistem fiskal, sistem legal, dan sistem pajak. India, sebagai negara penganut demokrasi, mestinya bisa melakukan hal yang sama, dengan mengubah sistem fiskal, legal, dan pajak. Seharusnya, dengan sistem demokrasi yang dianutnya, India bisa dengan mudah melakukan berbagai penyesuaian. Dengan cara seperti itu, India akan mampu bersaing dengan Cina di medan kompetisi even level playing field. Tapi, langkah-langkah seperti itu hanya bisa dilakukan jika India betul-betul bekerja seperti negara demokrasi yang aparat birokrasinya bekerja efisien dan tanpa korupsi.

Model Cina Lebih Baik?
Pertanyaannya: siapa lebih baik? Melihat hasilnya, India sebaiknya mengimpor saja cara-cara atau model cara kerja sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik Cina ketimbang sekadar mengimpor produknya. Sebagai negara yang menerapkan sistem diktatorial, Cina bisa saja menetapkan suatu industri atau jenis usaha sebagai anak emas. Karena itu, pemerintah akan memberikan dukungan sepenuhnya kepada industri atau jenis usaha tersebut, tanpa menghadapi secuil oposisi ataupun hambatan. Bentuk dukungan pemerintah itu bisa dilakukan dengan mengubah pasal-pasal hukum, membangun infrastruktur baru, mengamankan lisensi-lisensi, mengurangi pajak impor, pemberian pembebasan pajak, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, India adalah penganut sistem demokrasi tempat setiap perubahan/pembaharuan akan menghadapi suatu birokrasi yang masih korup dan lamban. Pengusaha-pengusaha India tidak hanya menghadapi birokrasi yang tidak efisien, tapi sistem demokrasi itu sendiri adalah suatu hambatan dan gangguan yang mahal sekali. Dan pada akhirnya pengusaha-pengusaha India harus membayar lebih mahal. Dan ujung-ujungnya, produk India sulit bersaing dengan barang-barang buatan Cina.

Perkecualian terjadi pada industri bidang komputer (software) di India seperti Tata Consultancy Services dan Wipro, yang dapat memenangi kompetisi dengan perusahaan Cina sejenis. Mungkin sekali kelambanan dan korupsi birokrasi India di dalam bidang industri teknologi informasi ini dapat diselesaikan dengan baik oleh pengusaha-pengusaha industri informatika India. Tapi, kemungkinan lebih besar adalah karena memang impor dan ekspor produk informasi tidak usah melalui birokrasi bea cukai India. Dengan begitu, produk teknologi informasi India lebih kompetitif.

Melihat itu semua, India sebagai suatu negara demokrasi memang tidak mungkin akan dapat mengalami suatu "Communist Party-led boom" seperti Cina sekarang ini. Tetapi, sebaliknya, India juga tidak usah ikut mengalami hambatan-hambatan pertumbuhan ekonomi seperti yang dahulu dialami oleh Cina komunis, yang disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan dan great leap forward-nya semasa diktator Mao Tse Tung. Mudah-mudahan Indonesia dapat menarik pelajaran dari perbandingan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus