Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Teka-teki ilmu India

Tulisan peter drucker dalam majalah foreign menganjurkan, agar negara berkembang melihat india dalam menangani ekonomi. th 1980-84 keadaan ekonomi 2% per th. sedangkan india negara miskin ekonominya 5%.

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETER Drucker, sayang Anda tak sempat mampir di Cilandak. Di Institut Manajemen Prasetiya Mulya, Jumat siang awal Desember, kami sempat memperbincangkan tulisan Anda tentang ekonomi dunia yang sudah berubah, yang dimuat dalam majalah Foreign Affairs. Tulisan Anda cukup menggegerkan, karena Anda bicara tentang sebuah kiamat untuk negeri berkembang. Anda bilang bahwa penghasil komoditi primer tak punya masa depan. Bukan saja penggunaan barang substitusi sudah meluas, tapi juga karena intensitas pemakaian bahan mentah telah menurun. Anda kemukakan bahwa 50 kilogram serat optis cukup untuk mengganti 1 ton kawat tembaga untuk sambungan telepon. Dan, untuk menghasilkan 50 kilo serat optis, cuma diperlukan seperdua puluh energi yang dibutuhkan untuk 1 ton tembaga. Tiap ton hasil industri Jepang sekarang hanya memerlukan 60% bahan mentah dari yang digunakan pada 1973. Mobil cuma 40% memakai bahan mentah, bahkan microchip cuma 2%. Saya bisa menambahkan lagi data Anda dengan beberapa contoh yang memang makin memprihatinkan. Seandainya crystalline fructose dapat menggantikan gula, tak bisa dibayangkan masa depan yang bakal dihadapi Cory Aquino dan Fidel Castro. Bila, lewat proses bioengineering, hasil daging dan susu seekor sapi bisa dilipatgandakan, ke mana lagi Argentina harus menjual daging buat membayar utang yang menumpuk? Dan, bila Jepang sudah mengganti radiator mobil dan tembaga dengan aluminium, seperti yang dilakukan di Eropa, apakah ini berarti tamatnya riwayat Chili dan Zambia? Pintu ekspor negeri-negeri ini, Anda bilang, sudah tertutup. Lalu, apa yang mesti kami kerjakan ? Karena sulit menjawabnya, yang bisa kami lakukan cuma berharap, Peter Drucker. Kami berharap rendahnya harga komoditi primer yang sudah berlangsung lima tahun itu bukan hal permanen, seperti Anda bilang. Tapi hanya merupakan gejala siklis. Lagi pula, jangka waktu lima tahun rasanya, kok, terlalu pendek untuk sebuah kesimpulan yang serius. Kami juga berharap permintaan dan persediaan komoditi primer masih bisa diluruskan. Karena di sini ada musim, ada subsidi, ada kuota. Itulah sebabnya permintaan dan produksi komoditi primer tak pernah berada dalam keseimbangan. Cobalah negeri Anda dan MEE mencabut subsidi pertanian yang sudah mencapai US$ 49 milyar itu. Petani Anda pasti tak bergairah lagi, dan kelebihan produksi yang sudah menggunung itu sebentar saja pasti habis. Karena lobi kaum tani di negeri Anda sangat kuat, kami sadar, diperlukan keberanian politik untuk melakukan depolitisasi perdagangan hasil pertanian. Anda juga bilang, keunggulan upah buruh negeri berkembang terhadap negara industri akan merupakan sesuatu yang lampau. Otomatisasi, komputerisasi, dan robotisasi di negeri industri sudah mampu mengurangi ongkos buruh. Di sini pun kami berharap lagi. Bahwa kecenderungan ini hanyalah sebuah reaksi dari industri yang masih mengalami kesulitan di seluruh dunia, dan bukan satu kecenderungan yang permanen. Menghadapi keadaan sulit -- pasaran menciut dan laba tertekan wajar kalau reaksi pertama industri adalah menekan biaya. Pabrik ditutup, buruh diberhentikan. Perundingan dengan buruh makin tersendat-sendat, ketika perusahaan makin enggan memberi konsesi yang bermurah hati kepada buruh. Di Jepang, tempat loyalitas kepada perusahaan berarti masa kerja seumur hidup, PHK merupakan sesuatu yang haram. Tapi sekarang PHK merupakan kejadian sehari-hari di Jepang. Itulah sebabnya -- seperti yang Anda lihat ongkos buruh tidak lagi merupakan komponen yang dominan dalam struktur biaya industri di negara maju. Tapi bila resesi pulih, dan boom terjadi lagi, prioritas bisnis pun kami harap akan bergeser dari penekanan biaya ke pemasaran dan peningkatan produksi. Akan ada pelonggaran dalam pengawasan biaya yang ketat. Dan ini mungkin memberi celah-celah yang bisa diterobos negeri berkembang, termasuk negeri kami. Kalau ramalan Anda itu benar, negeri kami jelas mesti berbuat sesuatu. Karena tantangannya teknologi, haruskah kami mulai dari riset? Di negeri kami masih terjadi fragmentasi riset. Anda akan menemukan bagian litbang di banyak instansi. Lalu, ada LIPI. Lalu, ada departemennya Pak Habibie. Belum termasuk riset yang dilakukan di perguruan tinggi dan di perusahaan-perusahaan swasta. Mungkin sudah saatnya negeri kami menata kembali usaha riset ini hingga fokus dan arahnya menjadi jelas. Anda menganjurkan kami menengok ke India. Tapi kurang dijelaskan apa yang bisa kami pelajari dari negeri itu. Yang kami ketahui ialah negeri fakir berpenduduk lebih 700 juta itu, yang pendapatan per kapitanya separuh negeri kami, memberi banyak teka-teki. Di saat yang sulit pada 1980-1984, di saat ekonomi negara berkembang secara keseluruhan tumbuh di bawah 2% tiap tahun, ekonomi India tumbuh 5%. Industrinya bahkan tumbuh 6%. Kami mengetahui negeri itu punya kelas pengusaha yang tangguh, dengan naluri dagang setajam naluri dagang orang Cina. Kelas menengahnya lebih terdidik dan lebih profesional. Mereka telah menyumbang India dengan industri baja, industri kendaraan bermotor, industri komputer, dan industri pesawat tempur. Mereka terus bergerak, sekalipun dihambat oleh sebuah elite politik yang sosialistis, serta birokrasi yang memegang kunci perizinan dan lisensi. Tapi tak semua negara beruntung seperti India. Punya seorang perdana menteri yang berani melakukan sebuah reformasi ekonomi. Orang itu pernah mengenyam pendidikan insinyur di Cambridge. Juga pernah menjadi pilot Boeing, dan sadar bahwa kemampuan menganalisa jarum dan angka digital di kokpit menentukan hidup matinya. Tak heran kalau kemudian dia menjadi pemimpin yang pragmatis di tengah negeri yang penuh mistik. Dia bongkar birokrasi yang selama ini mengekang kreativitas. Berbagai bentuk perizinan dan lisensi yang tak masuk akal dihapuskan. Dia turunkan pajak. Rakyat India, yang tadinya menyembunyikan kekayaannya di pasar gelap, mulai mengeluarkan uangnya, emasnya, dan perhiasannya, lalu berbondong-bondong menanamkannya di usaha yang produktif. Dalam waktu 5 bulan, harga saham di bursa Bomba meloncat 60%, dan saham beberapa perusahaan terjual 100 kali harga nominalnya. Itukah yang Anda maksud ditengok di India? Atau masih ada hal lain? Mungkin masih ada beberapa hal yang perlu dijawab, karena banyak di antara kami yang tak senang negeri kami mengalami degradasi: menjadi negeri tukang asembling dan pengekspor TKW.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus