Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
R. William Liddle
Dari semua berita luar negeri yang saya baca tentang kunjungan singkat Presiden Bush ke Indonesia, yang paling berkesan adalah sebuah kepala berita di The New York Times: ”Next to Bush, Indonesian Backs Iraq Timetable.” Artikelnya menjelaskan lebih lanjut bahwa sambil berdiri di samping Bush, tatkala kedua presiden mengadakan konferensi pers di Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan perlunya penetapan jadwal untuk menarik kembali pasukan Amerika dari Irak. Kepala berita itu menggarisbawahi usaha SBY untuk mengubah pendapat Bush tentang sebuah kebijakan yang sangat pokok bagi pemerintahannya.
Dengan pernyataan itu, Yudhoyono masuk langsung ke tengah-tengah perdebatan yang sedang menghangat di Amerika. Di satu pihak, ada politisi seperti Senator John McCain, calon kuat dari Partai Republik untuk menggantikan Presiden Bush pada 2008. Melihat keadaan perang saudara antara kaum Sunni dan Syiah yang hampir tak terkendali, McCain ingin menambah jumlah pasukan AS, setidaknya untuk menstabilkan keamanan Kota Bagdad. Di pihak lain ada tokoh seperti John Murtha, anggota parlemen dari Partai Demokrat dan bekas marinir yang terkenal sangat pro-tentara. Murtha menyimpulkan bahwa Amerika sudah kalah perang dan menganjurkan supaya semua pasukan AS ditarik kembali dari Irak secepat mungkin.
Keyakinan Presiden Bush sendiri mungkin sudah mulai goyang. Partai Republiknya kalah besar pada pemilu sela yang baru dilakukan pada awal November lalu. Untuk pertama kali sejak 1994, parlemen dan Senat sekarang dikuasai oleh Partai Demokrat. Beberapa jajak pendapat nasional menunjukkan bahwa para pemilih menolak banyak kebijakan Bush, khususnya tentang Irak dan Timur Tengah. Setelah pemilu, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, yang dianggap gagal sebagai pelaksana utama pendudukan AS di Irak, langsung dipecat. Kini, seluruh masyarakat berharap-harap cemas sambil menunggu laporan Iraq Study Group, sebuah badan penasihat yang diangkat oleh Kongres beberapa bulan lalu. Figur utamanya adalah James Baker, menteri luar negeri pada zaman Presiden Bush pertama. Baker konon—begitulah pendapat kebanyakan pengamat—diberi tugas oleh Bapak Bush untuk menyelamatkan karier politik anaknya.
Bagi saya, intervensi SBY di Bogor merupakan hasil maksimal dari kunjungan Bush yang bisa diperoleh bangsa Indonesia dan semua orang yang melawan kebijakan AS di Irak dan Timur Tengah. Di mata dunia kini, Indonesia memiliki posisi istimewa: negara muslim terbesar dan negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Lagipula, berbagai kebijakan dalam dan luar negeri sejak SBY menjadi presiden dua tahun lalu dinilai positif di mana-mana. Reputasi pemerintah Indonesia di luar negeri, yang sempat terpuruk akibat beberapa kebijakan Presiden Soeharto, terutama penindasan rakyat Timor Timur, sudah pulih kembali. Dengan pemilihan presiden langsung pada 2004, masa transisi dari negara otoriter ke negara demokratis dianggap sudah selesai.
Namun, semua hal itu tidak berarti bahwa Indonesia sudah menjadi salah satu pemain utama di panggung global. Kekuatan politik internasional masa kini didasarkan pada kemampuan ekonomi dan militer. Dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.000 per tahun, Indonesia masih tergolong negara miskin. Peringkat kekuatan militer TNI juga jauh di bawah negara maju. Ini berarti bahwa Indonesia tidak punya banyak pilihan. Bung Karno pernah mencoba merombak tata dunia buruk ini dengan aliansi New Emerging Forces, tetapi hasilnya adalah kehancuran politik dan ekonomi. Untungnya, Soeharto pada zaman Orde Baru dan SBY pada zaman reformasi bersikap dan bertindak lebih praktis. Mereka menerima untuk sementara struktur dan aturan global yang tidak bisa dilawan, sambil mengembangkan kemampuan ekonomi nasional supaya posisi Indonesia diperkuat di masa depan.
Akhirnya, saya tidak mau mengklaim terlalu banyak bagi intervensi SBY terhadap politik Amerika. Kalau Bush mengubah kebijakannya nanti, penyebab utamanya tentu adalah penggalangan kekuatan politik dalam negeri, seperti sudah kita lihat ketika para pemilih menolak calon-calon Partai Republik pada pemilu sela yang baru lalu. Tetapi saya berharap supaya pembaca di Indonesia memaklumi dua hal. Pertama, bahwa kebijakan AS terhadap Irak dan Timur Tengah memang mungkin diubah, baik oleh Bush maupun oleh penggantinya kelak. Kebijakan AS ditentukan oleh kepentingan nasional kami, tetapi makna dan tujuan kepentingan itu diperebutkan terus oleh politisi kami. Kedua, bahwa masukan dari luar, seperti intervensi SBY, cukup bermanfaat dalam proses itu. Setidaknya sebagai sebuah batu yang kalau sudah bertumpuk bisa menggeser alur sungai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo