Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggito Abimanyu
Dosen Fakultas Ekonomi UGM dan anggota Dewan Ekonomi Nasional
BEBERAPA hari terakhir pasar uang dalam negeri (rupiah) diganggu oleh berita-berita tentang kurang pastinya komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan persetujuan dengan IMF. Disebutkan juga ada gejala bahwa ketidakhadiran tim IMF untuk melakukan review terhadap kemajuan yang telah dicapai sesuai dengan jadwal dalam Letter of Intent (LoI) adalah karena pemerintah Indonesia tidak disiplin. Padahal, hasil dari tim review IMF tersebut penting sebagai bahan pertimbangan posisi Indonesia dalam pertemuan Paris Club II untuk mengajukan penundaan pembayaran utang luar negeri.
Tanpa review IMF, pertemuan para donor dalam Paris Club II tersebut mungkin akan menemui kesulitan untuk menyetujui usul penundaan pembayaran utang luar negeri. Sementara itu, RAPBN 2000 disusun dengan asumsi telah ada penundaan pembayaran utang luar negeri. Menko Ekuin beralasan, kemunduran itu karena lemahnya koordinasi di dalam maupun dengan IMF sendiri, khususnya mengenai persepsi bahwa beberapa item yang sebenarnya telah selesai tapi dianggap belum oleh IMF. Berita tersebut berakibat bukan saja kepada nasib dan kemungkinan penundaan bantuan, yakni menyangkut persetujuan IMF secara harfiah dilanggar atau tidak. Namun, juga timbulnya citra di pasar, terutama di pasar uang luar negeri, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan IMF tidak sungguh-sungguh. Citra ini melemahkan kurs rupiah. Kabar terakhir menyebutkan pertemuan Paris Club tetap berlangsung meskipun tanpa review dari tim IMF. Ini membuktikan bahwa G-7 tidak mau meninggalkan Indonesia. Hanya, Indonesia juga diharapkan bersikap serta bertindak kooperatif mengingat pada hakikatnya LoI itu adalah komitmen yang dibuat sendiri (setelah berkonsultasi dengan IMF serta negara-negara multilateral lainnya) oleh pemerintah Indonesia. Bagi IMF, pemulihan ekonomi Indonesia sangat penting karena berkaitan dengan pemulihan ekonomi negara-negara tetangga. Campur tangan IMF dalam proses pemulihan ekonomi sebaiknya jangan dipandang sebagai pengorbanan kedaulatan negara, nasionalisme, serta pemerintah kita. IMF bisa diibaratkan sebagai faktor eksternal yang menekan (dari luar), tetapi yang juga disertai dengan bantuan, dan ini barangkali akan mempermudah kita menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Namun, jika komitmen pemerintah Indonesia kepada IMF tidak dilaksanakan sepenuhnya, kita sendiri akan repot. Bisa jadi, kepercayaan terhadap rupiah akan semakin terpuruk. Dalam Letter of Intent tersebut, penguatan serta kembalinya kepercayaan kepada rupiah berasal dari kebijakan anggaran belanja atau fiskal, kebijakan moneter, dan dari reformasi struktural di bidang perbankan yang diharapkan mengembalikan kepercayaan pasar uang dalam dan luar negeri. Di bidang moneter, inti kebijakan adalah uang ketat (kontraktif). Ekspansi moneter dalam ukuran Net Domestic Assets akan dibatasi ketat sekali. Sementara itu, Net International Reserves diperkirakan berangsur-angsur naik dalam awal tahun fiskal. Kebijakan ini memang sangat merepotkan. Walaupun demikian, IMF menyetujui adanya defisit anggaran untuk membiayai berbagai macam program sosial dan pembangunan serta rekapitalisasi perbankan. Kebijakan anggaran belanja juga akan sangat ketat, walaupun berbagai subsidi masih tetap akan ada, dan masih ada biaya besar sekali yang harus dikeluarkan dari restrukturisasi perbankan. Sementara itu, karena kebijakan di bidang moneter ini, konsekuensinya tingkat bunga dalam negeri akan tetap tinggi. High cost economy ini diharapkan akan bisa dikompensasikan oleh penggunaan modal saham yang lebih besar dan diizinkannya lebih banyak modal asing beroperasi di negara kita. Peningkatan dominasi modal asing ini merupakan konsekuensi atau "biaya" untuk mengeluarkan ekonomi dari krisis. Sentimen anti-modal asing sebagai anti-nasionalisme sebaiknya diminimumkan kalau kita mau keluar dari krisis ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Masalahnya, pemulihan ekonomi lewat kepercayaan pada rupiah harus berkejaran dengan maraknya PHK dan persoalan sosial yang mengikutinya. Ini akibat kebijakan kontraksi ekonomi yang kita tempuh. Di sisi lain, karena kontraksi ekonomi, inflasi akan relatif rendah dan ini akan membantu para kepala rumah tangga mengatasi keadaan ekonomi yang semakin terpuruk. Meskipun cost of fund akan semakin mahal, pemerintah akan mengucurkan dana murah untuk ekonomi rakyat kecil serta menyediakan dana jaring pengamanan sosial bagi kelompok rumah tangga yang rentan. Kini muncul pertanyaan besar, bagaimana pemerintah akan mengimplementasikan program pemulihan seperti tercantum dalam LoI ini. Soalnya, persetujuan ini secara tidak langsung menyangkut masalah reformasi birokrasi, hukum, dan reformasi politik seperti yang banyak dituntut masyarakat. Pertanyaan mendasar, misalnya, "Bagaimana persetujuan baru ini secara efektif bisa mengurangi korupsi, kolusi, dan nepotisme?" Ini merupakan pekerjaan rumah yang tidak kecil. Memang telah ada rumusan, misalnya mengenai pengawasan ketat dari implementasi reformasi struktur dalam program IMF lewat lembaga asing seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, tapi Indonesia juga harus menunjukkan komitmen kuat untuk mau diawasi. Tanpa reformasi di sektor birokrasi, hukum, dan politik, pelaksanaan program pemulihan ini akan lebih lambat, bahkan akan sangat menghambat. Di samping diharapkan punya komitmen dan kemauan yang kuat dan bertanggung jawab serta bertindak kooperatif, Indonesia juga diharapkan memiliki sense of ownership (rasa memiliki) terhadap LoI seperti yang selalu dikatakan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Di samping itu, karena kita harus juga berkejaran dengan waktu, harus ada sense of urgency untuk memberikan prioritas tinggi pada hal-hal yang memang penting untuk dilaksanakan lebih dahulu. Kasihan rakyat yang sudah terlalu lama menunggu bergeraknya kembali sektor rill. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |