Dalam tulisan "Pasang Surut Intelijen Kita" (TEMPO, 22 Januari, Laporan Utama) ada yang perlu dikoreksi. Pada halaman 28, kolom 1, tertulis, "Ujung-ujungnya ketika kelompok Nasution melakukan unjuk rasa lewat 'Aksi 17 Oktober 1952', dengan mengacungkan meriam ke arah Istana menuntut pembubaran DPR. Zulkifli di pihak seberang. Usai aksi itu, Zulkifli, konon, hendak ditangkap. Ia lari, sampai kemudian bergabung dalam aksi PRRI. Akibatnya, IKP digembosi." Sebenarnya, ada tenggang waktu lima tahun lebih antara "Aksi 17 Oktober 1952" dan PRRI. Tidak benar seusai peristiwa 17 Oktober 1952, Kol. Zulkfili Lubis hendak ditangkap dan lari. Mengapa ia hendak ditangkap dan lari? Padahal, ia berada di pihak seberang kelompok aksi 17 Oktober 1952. Justru seusai peristiwa itu, Kol A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatan KSAD, lalu berurusan dengan Kejaksaan Agung. Sebagai penggantinya diangkat Kol. Bambang Sugeng. Zulkifli menjadi Wakil KSAD. Kemudian, Peristiwa 17 Oktober 1952 dideponir, yakni setelah disepakati Piagam Keutuhan AD, Januari 1955, di Yogya. Tahun 1955 itu pula nama Zulkifli menonjol, terutama setelah ia dan pimpinan AD memboikot pelantikan Kol. Bambang Utoyo sebagai KSAD menggantikan Bambang Sugeng. Presiden Soekarno, ketika menunaikan ibadah haji, akhir Juli 1955, menitipkan keamanan dan kesatuan negara kepada Zulkifli, Wakil KSAD ketika itu. Selanjutnya, ia diminta mencalonkan seseorang untuk jabatan KSAD. Ia ajukan beberapa nama, antara lain A.H. Nasution. Setelah A.H. Nasution menjadi KSAD untuk kedua kalinya pada tahun 1956, diangkatlah Kol. Gatot Subroto menjadi Wakil KSAD menggantikan Zulkifli. Zulkifli sendiri tergeser dan IKP pun mengalami penggembosan. Beberapa peristiwa terjadi kemudian. Kol. Bratamenggala, yang sangat dekat dengan Zulkifli, dicopot dari jabatannya. Peristiwa Cikini terjadi pada 30 November 1957. Zulkifli menghilang, lari, lalu timbul PRRI, yang diproklamasikan Februari 1958.HASAN TAUFIK ASSEGAFFKalimas Madya II/25 Surabaya 60162
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini