Dari London, New York, pedalaman Kamboja, atau pedesaan Mesir mereka meluncurkan karya-karya itu. Dan Salman Rushdie adalah sang pionir yang mengguncang konstelasi sastra dunia melalui Midnight's Children di era 1980-an. Setelah Rushdie, berbaris-baris nama pun lahir: Amitav Ghosh, Vikram Seth, Hanif Kureishi, Adashir Vakil, Jhumpa Lahiri, Kiran Desai, dan Shauna Singh Baldwin adalah sebagian di antaranya. Mereka lahir dari kelas menengah, berdarah India dan Pakistan, terpelajar, dan berbahasa Inggris sefasih—atau bahkan lebih fasih daripada— berbicara bahasa ibunya. Mereka membentuk barisan sastra India pasca-kolonial dan menerobos tempat-tempat terhormat dalam khazanah sastra dunia. Sastra diaspora yang mereka lahirkan tumbuh dan berbicara kepada dunia seperti yang dibahas dalam Iqra ini. Wartawan TEMPO Dewi Anggraini memperkayanya melalui wawancara dengan Amitav Ghosh dan Hanif Kureishi di sebuah festival sastra di Hong Kong beberapa waktu silam.
"It flounders on the rock of its own ineptitude. The writing is unenhanced by any dualities of vision…. Elegant but trite, it remains a novel of stasis, grown rank amid the lotus pond of India, amidst its maya and samsara."
—The Pioneer, New Delhi
"It is, I cannot hesitate to say, a work of art, a first novel of the highest achievement…. We breathe in the story with that easy certainty with which we see beauty or hear music…. It is s
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.