Pemilihan Umum Indonesia 2004 akan jatuh pada pekan depan, Senin, 5 April, dengan pemilih hampir 148 juta jiwa—dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai "tuan pesta". Makan biaya Rp 3 triliun—Komisi telah mengajukan Rp 900 miliar dana tambahan ke pemerintah—pentas nasional ini digelar dengan biaya logistik menjulang. Kertas suara dan surat suara, misalnya, tampil sebagai salah satu sumber ongkos terbesar. Berpangkal pada tender serba terburu-buru, biaya logistik yang membalap harga pasar, terlibatnya sejumlah pengusaha yang bahkan tak-layak-seleksi, jadilah pemilu ini perhelatan yang banjir ongkos. Investigasi TEMPO menelusuri di mana saja pemborosan itu terjadi dan bagaimana pengusaha dan makelar berpadu menggangsir dana KPU.
Hitung-hitungan itu sudah dirancang Sanusi Putra sejak dua tahun silam. Sanusi (nama asli disamarkan), pengusaha percetakan asal Jakarta, adalah wajah lama dalam bisnis surat suara pemilu. Meraup laba menggiurkan dalam Pemilu 1999—sekitar 50 persen dari harga produksi—ia bertekad merebut kembali untung serupa pada pemilu kali ini. Pengalaman mengajarkan kepada Sanusi, di antara aneka logistik pemilu (tinta, kotak, film), surat suara adala
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.