Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di mata Gideon Remez dan Isabella Ginor, upaya pembicaraan damai Israel-Palestina menyedot perhatian khusus. Lewat pemberitaan di stasiun televisi Israel, Channel 1 News, pasangan ilmuwan itu menguak sebuah fakta kontroversial tentang Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa Abbas pernah menjadi agen intelijen KGB, lembaga telik sandi Uni Soviet.
Bukan tanpa sebab Remez dan Ginor mengungkap temuan mereka pada Rabu dua pekan lalu. Menurut Remez, publikasi itu sengaja diterbitkan untuk merecoki pertemuan antara Abbas dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang dijadwalkan berlangsung dua hari kemudian di Moskow, Rusia. Sebab, perundingan pertama dalam enam tahun itu ditengahi oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Sekarang penting dalam konteks upaya Rusia untuk mengatur pertemuan puncak antara Abbas dan Netanyahu," kata Remez, yang bersama Ginor menjadi peneliti di Institut Truman di Universitas Ibrani Yerusalem. Ia membantah anggapan bahwa publikasi risetnya bermaksud merusak citra Abbas. Remez mengatakan perundingan Israel-Palestina semestinya tidak dimakelari Kremlin, yang menurut dia tidak dapat dipercaya. "Itu bukan ide bagus."
Pertemuan Abbas dengan Netanyahu memang akhirnya urung. Netanyahu bahkan sejak awal menolak hadir dalam perundingan, di mana pun tempatnya, selama Abbas terus mengajukan prasyarat. " "Saya siap bertemu dengan Abu Mazen setiap saat, tanpa prasyarat, untuk pembicaraan langsung," ucap Netanyahu, merujuk pada sebutan Abbas, di sela lawatan bertemu dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di Den Haag.
Di Warsawa, Polandia, Abbas menyiratkan kekecewaannya atas pembatalan sepihak dari Netanyahu. "Saya sebenarnya siap pergi ke Moskow. Sayangnya Netanyahu menunda pertemuan entah sampai kapan," kata Abbas mengenai perundingan yang sedianya berlangsung pada 9 September lalu itu, dalam konferensi pers dengan Presiden Polandia Andrzej Duda. "Tapi saya siap untuk pergi ke pertemuan selanjutnya."
Netanyahu telah berulang kali menolak prasyarat yang diajukan Abbas. Kepada Netanyahu, suksesor pendiri Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, itu meminta Israel membekukan pembangunan permukiman Yahudi di tanah pendudukan di Tepi Barat serta melepaskan tahanan Palestina. Kini, dengan adanya temuan Remez dan Ginor, Netanyahu memiliki satu lagi alasan untuk menunda perundingan dengan Abbas.
Temuan Gideon Remez dan Isabella Ginor sebenarnya bukan kabar baru. Pada 5 Februari 2000, saat perayaan ke-50 tahun Universitas Patrice Lumumba di Moskow, Russia Today pertama kali memberitakan bahwa Mahmud Abbas adalah alumnus kampus tersebut. Di era Uni Soviet, kampus Patrice Lumumba dikenal dengan sebutan "Universitas KGB". "Sebanyak 90 persen anggota staf di sana menerima gaji dari KGB," kata seorang pembelot KGB.
Universitas Patrice Lumumba—kini bernama Universitas Persahabatan Rakyat Rusia—ditengarai menjadi tempat bagi KGB untuk merekrut mata-mata dari beberapa negara berkembang. Kampus ini di era Soviet banyak menampung mahasiswa dari negara Dunia Ketiga, yang saat itu getol memerangi penjajahan. Selain Abbas, lulusan kampus itu antara lain agen intelijen ganda, Anna Chapman, dan teroris Ilich Ramírez Sánchez alias Carlos the Jackal.
Abbas tercatat menerima gelar doktor dari Universitas Patrice Lumumba pada 1982. Namun, menurut MSNBC dan CNN, rekam jejak Abbas di kampus itu merentang sejak jauh sebelumnya. Bahkan, menurut laporan itu, Abbas pernah satu kelas dengan Putin muda pada 1968. Kantor berita Rusia, Ria Novosti, dalam sebuah artikel pada 2010, bahkan menyebut Abbas sebagai "lulusan dari fakultas hukum universitas itu".
Di kalangan pemerhati politik Palestina, dugaan Abbas sebagai agen KGB juga menjadi rahasia umum. Sepanjang era Perang Dingin, PLO dikenal sangat dekat dengan Moskow. Abbas bergabung dengan PLO sejak mahasiswa. Pria yang kini 81 tahun itu juga erat terlibat dalam Asosiasi Persahabatan Palestina-Soviet, kelompok pro-Moskow yang secara luas dilihat sebagai agen penyebar pengaruh komunis di wilayah Palestina.
Namun riset Remez-Ginor menyuguhkan bukti nyata pertama ihwal kecurigaan tersebut. Temuan itu mengungkap informasi samar yang menyebutkan Abbas pernah bekerja untuk polisi rahasia Soviet dan KGB di Damaskus, Suriah, sekitar 1983. Abbas mendapat nama sandi "Krotov", istilah Rusia yang berarti "Tahi Lalat". "Abbas bekerja di bawah Mikhail Bogdanov, yang kini menjadi Utusan Khusus Rusia untuk Timur Tengah," ucap Remez.
Beberapa baris informasi samar itu tersembunyi dalam dokumen dari Arsip Mitrokhin, koleksi catatan tulisan tangan eks pengarsip dan analis KGB, Vasili Nikitich Mitrokhin. Pada dekade 1990, setelah Uni Soviet ambruk, Mitrokhin menyelundupkan catatannya dari Rusia saat ia membelot ke Inggris. Sejak 2014, Kampus Churchill di Universitas Cambridge merilis dokumen-dokumen bekas rahasia itu ke publik. "Komunitas intelijen Rusia menganggap Arsip Mitrokhin ini dapat dipercaya," Ginor menuturkan.
Bagi Motti Yogev, anggota senior Komisi Pertahanan dan Luar Negeri Knesset, temuan Remez dan Ginor itu tak mengagetkan. "Abbas memang pernah menjadi utusan Putin dan KGB di wilayah itu (Damaskus)," kata pensiunan kolonel di Pasukan Keamanan Israel tersebut. Putin, 63 tahun, dikenal luas sebagai eks agen KGB. Selama 15 tahun ia berdinas di Jerman Timur. Pada 1990, Putin pensiun dari KGB dengan pangkat letnan kolonel.
Otoritas Palestina dengan sigap menyangkal temuan Gideon Remez dan Isabella Ginor. Menurut mereka, tudingan terhadap Mahmud Abbas itu tak lain hanya "kampanye fitnah" Tel Aviv untuk memuluskan aksi pendudukan di tanah Palestina. "Israel berupaya membingungkan masyarakat internasional dan menggagalkan proses perdamaian," kata Jamal Dajani, direktur komunikasi strategis di kantor perdana menteri Otoritas Palestina.
Mohammed al-Madani, anggota partai yang dipimpin Abbas, Fatah, menilai riset Remez dan Ginor adalah siasat Israel untuk merongrong citra Abbas. "Ini adalah upaya memfitnah Abu Mazen," ujarnya. Al-Madani membenarkan bahwa Yasser Arafat membuka jalur hubungan Soviet-PLO pada 1960. Sejak itu, kata dia, "Abbas menjadi penghubung ke Rusia atas nama PLO." Namun ia membantah informasi bahwa Abbas merangkap tugas sebagai agen KGB.
Menurut Motti Yogev, upaya Putin menengahi Abbas dan Netanyahu menunjukkan bahwa Moskow terus mencoba memperluas pengaruhnya di Timur Tengah. "Seperti Soviet zaman dulu," ujarnya. Bagi Putin, konflik Israel-Palestina ibarat papan catur ketiga setelah Suriah dan Iran. Rusia menantang dominasi Amerika, yang ingin mendongkel Presiden Suriah Bashar al-Assad. Rusia juga mendukung program nuklir Iran, sikap yang dikecam Amerika.
Di tengah perselisihan antara Abbas dan Netanyahu, Moskow berusaha menggeser peran Washington, yang dikenal sebagai sponsor tradisional perundingan Israel-Palestina. "Pertemuan itu akan mencerminkan tumbuhnya pengaruh Rusia di Timur Tengah," begitu menurut Associated Press. Gedung Putih belum merespons inisiatif Kremlin tersebut.
Sejak berkuasa pada Maret 2000, Putin terus merangkul semua pihak di Timur Tengah, entah itu kawan entah lawan, termasuk Israel. Dengan Palestina, Rusia mendekat ke Fatah dan Hamas, yang oleh Amerika dicap sebagai kelompok teror. "Putin menolak menganggap Hamas sebagai organisasi teroris," menurut kajian Washington Institute.
Bagi Gideon Remez, 70 tahun, dan Isabella Ginor—keduanya warga Israel— temuan riset mereka tentang Abbas memperkuat anggapan bahwa, bagi Kremlin, Palestina sangat vital. Mereka tambah khawatir tatkala melihat Netanyahu justru semakin akrab dengan Putin. "Menganggap Rusia sebagai sekutu kami (Israel) adalah sebuah kesalahan," kata Remez.
Mahardika Satria Hadi (Russia Today, Jerusalem Post, New York Times, Gulf News, Haaretz, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo