Sejak berpuluh tahun lampau, agama-agama lokal Indonesia telah didiskriminasi dan terpinggirkan. Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama 1965 mengharuskan penganutnya bergabung dengan Islam, Protestan, Katolik, Buddha, atau Hindu. Presiden Soeharto lantas memutuskan status agama lokal sebagai aliran kepercayaan. Kini terdata ada 239 organisasi dengan sekitar 12 juta penghayat. Belum semuanya terdaftar dan mendapat pelayanan dasar semacam kartu tanda penduduk, pendidikan agama, dan upacara pernikahan. Tempo menemui para penganut Arat Sabulungan di Mentawai, Sunda Wiwitan di Kuningan, Kaharingan di Palangkaraya, Aluk Todolo di Tana Toraja, dan Marapu di Sumba. Bagaimana mereka mempertahankan kepercayaan leluhur?
Kamis malam dua pekan lalu, para pupuhu (tokoh) Sunda Wiwitan berkumpul di Rumah Paseban Tri Panca Tunggal yang terletak di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Mereka berasal dari Baduy, Garut, Tasik, Bandung, Kuningan, Cirebon, dan daerah lain. Rumah di kaki Gunung Ceremai itu setiap tahun menggelar upacara adat Seren Taun, yang dihadiri para tokoh keturunan kerajaan di Nusantara, bahkan dari Kesultanan Brunei.
Paseban berarti tempat
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.