Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Tuan dan Nyonya Diktator

Inilah cerita tentang sejumlah orang yang tibatiba diceraikan dari sesuatu yang telah berpuluh tahun melekat pada diri mereka. Dari apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia, tampaklah bahwa revolusi mengejutkan mereka. Kekuasaan sekonyongkonyong lenyap dan mereka harus cepat angkat kaki dari negeri yang diroyan revolusi. Ferdinand Marcos, Shah Iran, Idi Amin, dan banyak lagiapa yang sebenarnya mereka alami dan rasakan ketika dunia tempat berpijak itu seakan longsor.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU pelajaran dari dua revolusi yang getarannya hingga kini masih mengguncang negara-negara Arab: Nyonya Diktator lebih pintar membaca keadaan dan lebih cekatan bergerak daripada Tuan Diktator.

Tentu saja kita tidak hanya membicarakan seorang Nyonya Zine el-Abidine Ben Ali dari Tunisia yang berhasil memindahkan satu setengah ton emas batangan bernilai 37,5 juta pound dari Bank Central Tunisia ke Dubai, terus ke tanah air barunya di Arab Saudi. Leila Trabelsi—demikian nama madam diktator ini—yang hingga awal Januari lalu masih berstatus Nyonya Presiden Tunisia, cepat mencium keadaan. Ia meninggalkan Tunisia dua hari sebelum suaminya menyerah lalu angkat kaki dari negeri Magribi itu.

Sebelumnya, ada Sarah Kyolaba, istri kelima diktator Uganda, Idi Amin, yang cepat terbang ke Libya begitu melihat kekuasaan suaminya nyungsep seperti kapal karam pada 1979. Sempat bekerja sebagai model pakaian dalam di Jerman dan mendirikan sebuah kafe di London, sekarang pada usia 55 tahun ia seorang event organizer yang berkedudukan di Tottenham dengan prestasi mencengangkan. Tahun lalu, Sarah menyelenggarakan acara istimewa: pemberian penghargaan khusus yang mengukuhkan almarhum mantan suaminya sebagai Presiden Uganda terbaik sepanjang masa. Hahh…?

Yang terang, Sarah berhasil menyelesaikan sebuah misi mustahil. Setelah kekuasaannya yang mengerikan berakhir, Idi Amin memang menghabiskan sisa hidupnya seperti seorang kakek yang bijak dan baik di suatu perumahan kelas menengah di Jeddah, Arab Saudi—orang sering melihatnya berjalan-jalan bersama cucunya di mal. Namun Amin adalah mimpi buruk Uganda. Pemerintahnya membantai ratusan ribu warga Uganda yang dianggap membahayakan rezim militer yang dipimpinnya.

Menurut Riccardo Orizio, penulis buku Talk of the Devil: Encounters with Seven Dictators, kegilaannya menghabisi lawan politiknya bertambah-tambah setelah Idi Amin gagal masuk tim tinju yang mewakili Uganda dalam Olimpiade. Alkisah, tatkala kekuasaan semakin kukuh dalam genggaman tangannya, Amin tiba-tiba teringat pada obsesinya dulu: menjadi petinju kelas dunia. Kemudian mulailah sang Presiden berlatih keras, menaklukkan pesaingnya satu demi satu, agar terpilih dalam tim nasional. Idi Amin sang petinju tentu melaju pesat, sampai akhirnya seorang pelatih memberanikan diri menegurnya secara halus: pertandingan di Olimpiade terlalu berat bagi orang yang telah berusia 40-an tahun seperti dia.

Menurut buku Talk of the Devil di atas, sejak itu Amin selalu kehilangan kesabaran kala menghadapi lawan politiknya, dan ia semakin kerap menyebut diri dengan gelar kesukaannya: ”Raja atas segala hewan di muka bumi dan segala ikan di samudra”.

Masih 1979, seorang diktator yang tingkat kesadisannya mungkin hanya bisa dibandingkan dengan Idi Amin terpaksa angkat kaki dari tanah airnya, Republik Afrika Tengah. Ia, Jean-Bedel Bokassa, menghadapi gempuran demonstrasi yang akhirnya menumbangkan kekuasaannya setelah menerbitkan sebuah ketetapan presiden yang kontroversial pada 1977. Isinya: semua siswa sekolah di republik itu harus mengenakan seragam yang sama. Kemarahan masyarakat bagai tak terbendung lagi tatkala mereka tahu bahwa satu-satunya pemasok seragam itu adalah perusahaan milik Catherine Martine Denguiade alias ibu negara atawa Nyonya Bokassa.

Dua sejoli Tuan dan Nyonya Diktator dari Republik Afrika Tengah ini kabur ke Prancis, lalu tinggal di tempat peristirahatan di luar Kota Paris. Nyonya Bokassa piawai dalam bisnis. Setelah suaminya meninggal, karena keberhasilannya dalam bisnis, sang Nyonya mendapat penghargaan dari pemerintah Presiden Francois Bozize. Ironis, tapi penghargaan itu seperti merehabilitasi nama buruk Jean-Bedel Bokassa.

Sementara di Afrika ada Sarah dan Catherine yang berusaha mengharumkan nama diktator yang paling beringas itu, di Asia ada Imelda Marcos yang justru menggunakan ”nama baik” mendiang suaminya untuk tampil sekali lagi di panggung politik Filipina. Itu sama seperti di Indonesia, ketika demokrasi yang berisik akhirnya mengantar para oportunis ke panggung kekuasaan, menerbitkan gelagat separatisme dan efek negatif lain, sebagian orang menampik kemajuan ini dan berpaling kepada legasi Soeharto, penguasa otoriter yang meletakkan stabilitas nasional di atas segalanya.

Imelda Marcos pintar menimbulkan simpati dan—ini yang penting—memanfaatkan keadaan. Banyak orang mungkin masih ingat akar peristiwa yang menggulingkan penguasa Ferdinand Marcos: penembakan Ninoy Aquino pada 1983. Ratusan ribu (mungkin jutaan) orang hangus hatinya, marah, dan menangis di jalan-jalan Kota Manila. Mereka mengantarkan jenazah Ninoy Aquino sambil menyanyikan lagu pujaan tanah air yang diciptakan pada 1930-an yang demikian tepat mengiringi suasana batin pada waktu itu: ”Angbayan Kung-Filipinas, kung bakit, nang ginot bulklak, pangibik ang sakanyangn palang (tanah air yang menyerap darah, kembang, cinta, air mata).”

Namun Imelda kemudian berhasil mendudukkan Marcos, bukan Ni­noy ataupun Cory Aquino, sebagai korban—di mata sebagian orang. Tak lama setelah penahbisan Cory Aquino sebagai presiden, kamera televisi mengabadikan adegan yang menyedihkan: satu per satu anggota keluarga besar Marcos memanjat tangga pesawat, kemudian menghilang di dalam empat helikopter bertulisan US Air Force yang membawa mereka ke Pangkalan Udara Clark di utara Manila, lantas ke Guam dan Hawaii. Rezim yang berkuasa selama dua dasawarsa lebih berakhir di situ.

l l l

Di kediamannya yang mewah di Sharm el-Sheikh, Husni Mubarak, 83 tahun, gering: mogok makan, menolak minum obat. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan bertengger pada pucuk kekuasaan tertinggi di negeri kuno para firaun itu. Tiga dasawarsa berkuasa mengakibatkan kekuasaan begitu melekat, mendarah daging, dan kini sekonyong-konyong ia harus mengucapkan selamat tinggal kepada manisnya sang power.

Tidak bisa tidak, pikirannya selalu melayang kepada Zine el-Abidine Ben Ali, koleganya, mantan kepala negara asal Tunisia yang nasibnya tidak lebih baik daripada dirinya. Pengalaman pahit sosok yang menggantikan Presiden Habib Bourguiba pada 1987 ini terus menghantui hari-hari Mubarak. Pada 14 Januari siang, di langit Laut Tengah yang biru, Ben Ali bertolak ke Malta bersama para ajudan, sahabat, dan pembantunya dalam iring-iringan empat buah helikopter. Mendengar penolakan halus dari pemerintah Malta, mereka tak putus asa, lalu mengalihkan tujuannya ke Eropa, ke Prancis. Namun, belum lagi pesawat melintasi perbatasan Prancis, tanpa basa-basi pemerintah Sarkozy menampiknya.

Tak punya pilihan lain, pilot banting setir menuju kawasan Teluk Persia dan akhirnya mendarat di Arab Saudi. Sama seperti terhadap eks Presiden Pakistan Pervez Musharraf dan eks Presiden Uganda Idi Amin, pemerintah Arab Saudi menyambut sang tamu yang tengah sedih itu. Tak lama kemudian terdengar bahwa Uni Eropa—atas permintaan pemerintah sementara Tunisia—membekukan aneka aset Ben Ali dan keluarganya yang berada di Eropa. Pemerintah Tunisia yang baru melakukan apa saja, tak terkecuali meminta bantuan Interpol, untuk mendapatkan kembali harta rakyat yang dibawa kabur sang diktator ke luar negeri.

Mubarak memilih tinggal di Sharm el-Sheikh, Mesir, bersama dua anaknya: Gamal dan Alaa. Mungkin sekarang ia ingat Shah Iran yang menghabiskan sisa hidupnya di pengasingannya di Mesir dan dimakamkan di sebuah sudut masjid di Kairo itu. Hari itu, pada Januari 1979, Shah Iran dan Boeing 727 yang dikemudikannya sendiri mendarat di Kairo bagai seorang tamu agung: karpet merah, 21 kali dentuman meriam, dan pelukan seorang sobat menyambutnya.

Ditolak oleh Kerajaan Yordania dan Arab Saudi, Shah Iran diterima dengan tangan terbuka oleh Presiden Mesir terdahulu, Anwar Sadat. Beberapa jam sebelumnya, di sebuah ruang khusus di Bandara Internasional Teheran, bersama beberapa wartawan dan kawan, Shah mengakhiri kata-kata perpisahannya, ”Seperti saya katakan sebelumnya, saya tak akan lama, hanya berlibur sebentar, karena saya terlampau letih.” Seorang perwira militer tampak mencium tangannya, dan ia membungkuk kala perwira lain mencoba mencium sepatunya.

Bertahun-tahun, lelaki yang berkuasa atas tanah Persia selama 43 tahun ini hidup dalam ilusi yang berbahaya: menyangka bahwa ia pemimpin yang dicintai rakyatnya sepenuh hati. Ia begitu yakin bahwa rakyat tak bisa berbuat apa pun selain berterima kasih atas kemampuannya menerapkan modernisasi dan membawa kesejahteraan negerinya. Tapi kenyataan memukulnya sangat keras: rakyat bersorak-sorai ketika ia pergi meninggalkan negerinya.

Seperti diktator atau siapa saja yang memerintah terlalu lama, Shah tercerai dari kenyataan sehari-hari masyarakatnya. Demokrasi macet, pemilihan umum hanya didesain khusus untuk memastikan kemenangannya, dan ini semua membuatnya terasing tanpa disadari, sampai akhirnya seorang ulama, ayatullah, membisikkan kata revolusi. Lalu berakhirlah kekaisaran yang telah berumur lebih dari 2.500 tahun itu.

l l l

Mungkin ilusi itu tidak berhenti dengan tumbangnya rezim yang kelewat betah bertahan. Diktator Uganda Idi Amin selalu membayangkan dirinya sebagai atlet besar yang mewakili negaranya di pertandingan tingkat dunia—melupakan catatan kriminal pemerintah militernya. ”Baby” Doc Duvalier dari Haiti hidup tenteram di Prancis, Kolonel Mengistu Haile Mariam menikmati masa tuanya di Zimbabwe, dan Jenderal Wojciech Jaruzelski menghabiskan sisa hidupnya yang tenang di tanah air sendiri, Polandia. Tidak ada diktator yang menyesali perbuatannya selama memerintah.

”Mereka justru merasa dikhianati oleh sekutu politiknya. Mereka merasa diri mereka telah digunakan kemudian dicampakkan begitu saja ketika tak diperlukan lagi,” ujar Orizio, penulis Talk of the Devil: Encounters with Seven Dictators. ”Umumnya mereka merasa pahit dan lebih memusatkan pikiran pada aspek pengkhianatan ini ketimbang menyesal.” Yang jelas, kata Orizio, ”Mereka benar-benar menguasai seni menyangkal kenyataan ini.”

Idrus F. Shahab


Para Otokrat Timur Tengah

Tunisia:
Zine elAbidine Ben Ali, presiden selama 23 tahun, digulingkan dalam demo populer antipemerintah yang makan korban jiwa

Yordania:
Abdullah II, memerintah sebagai raja selama 11 tahun

Suriah:
Bashar alAssad, presiden selama 10 tahun

Yaman:
Ali Abdullah Saleh, presiden selama 32 tahun

Bahrain:
Hamad bin Isa alKhalifa, memerintah selama 11 tahun

Arab Saudi:
Abdullah, memerintah sebagai raja selama 5 tahun

Mesir:
Husni Mubarak, memerintah selama 29 tahun, presiden yang mengundurkan diri setelah gelombang demo 18 hari

Sudan:
Omar Hassan alBashir, memerintah selama 21 tahun

Libya:
Muammar Qadhafi, memerintah selama 41 tahun

Aljazair:
Abdelaziz Bouteflika, presiden selama 11 tahun

Maroko:
Muhammad VI, memerintah sebagai raja selama 11 tahun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus