maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

BPIP

Urgensi Etika Beragama dan Mahkamah Etik

BPIP menggelar diskusi untuk membahas kerapuhan etika penyelenggaraan negara yang berfokus pada etika dan agama.

arsip tempo : 172698398313.

Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat 20 September 2024. Dok. BPIP. tempo : 172698398313.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD), pada Jumat, 20 September 2024. Diskusi bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dan Berbangsa dan Bernegara” yang berlangsung di Universitas Pattimura, Ambon.

Sejumlah narasumber yang hadir, antara lain Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Moch. Qasim Mathar; peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Najib Burhani; sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola; dan lainnya. Mereka berdialog tentang bagaimana peran agama sebagai salah satu sumber moralitas tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Semua sepakat, tiada satupun agama yang memuat nilai-nilai buruk. Semua agama memiliki ajaran yang selaras dan integral dengan prinsip etika moralitas secara umum. Logikanya, orang yang menjalankan ajaran agama secara paripurna, maka dia juga memiliki etika berperilaku yang positif. 

Bercermin dari fenomena yang terjadi saat ini, agama justru seolah hanya menjadi simbol dan institusi. Nilai-nilai agama tidak dimaknai hingga relung sanubari dan diimplementasikan menjadi perilaku. Ajaran agama hanya menggema sebagai sebuah ritual, tanpa penghayatan. 

Akar persoalan etika bukan hanya persoalan individu, namun juga menjadi tantangan bagi negara. Kerapuhan etika yang kini terjadi, salah satunya karena pola asuh yang memberikan kebebasan berlebih, terutama kepada anak usia dini. Akibatnya, anak menjadi kurang bertanggung jawab, egois, permisif, berwatak lemah, tidak berpendirian, boros, dan malas.

Di sisi lain, paradoks keagamaan juga memiliki banyak masalah. Paradoks harmoni beragama yang tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktor keamanan dan ketenangan di masyarakat, hingga pengelompokan dan kecenderungan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Akibat dari semua itu, terjadi segregasi sosial yang berdampak di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 

Selain itu, persoalan agama mayoritas dan minoritas yang dianut oleh warga negara juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keadilan dan kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Diskusi ini merumuskan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, memasukkan nilai-nilai agama yang universal ke dalam Undang-undang Etik, sehingga nilai-nilai agama tidak hanya sebagai nilai moral, tetapi juga keputusan tertulis. 

Penegakan hukum dan aturan yang ketat, yaitu pemimpin politik harus tunduk pada aturan dan sistem hukum yang kuat harus mampu menghukum mereka yang terbukti melakukan korupsi atau manipulasi politik. Perlunya penguatan pendidikan agama, bukan hanya berfokus pada ritual, tafsir agama tekstualis, simbol, namun juga pembentukan karakter yang mengedepankan toleransi, persatuan, dan kemanusiaan. Meningkatkan edukasi literasi digital sejak dini dalam jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, serta mewujudkan peran agama dalam pendidikan moral, yaitu pendidikan agama yang mengedepankan toleransi, keadilan, dan empati. 

Sebelumnya, dalam FGD yang digelar BPIP bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Perspektif Budaya Hukum” di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, pada Selasa, 17 September 2024, Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menegaskan, Indonesia sudah saatnya memiliki lembaga yang khusus menangani pelanggaran etika, yaitu Mahkamah Etika Nasional. Hal itu untuk memperbaiki kerapuhan etika penyelenggara negara.

Sejak 2009, Jimly telah berulang kali mempromosikan pentingnya menata sistem etika di Indonesia. Namun hingga kini, tidak ada usaha nyata dari pemerintah untuk mewujudkan rekomendasi yang telah tertuang dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Koentjoro, mengatakan, pentingnya pendidikan etika sejak dini. Sebab, baginya, nilai-nilai etika adalah fondasi yang harus ditanam dari akar. Dengan begitu, pohon hukum akan tumbuh kuat dan berbuah keadilan. "Saya belajar adab lebih penting dari ilmu. Aturan sopan santun etika, itu yang harus ditingkatkan. Dan budaya kita sudah mulai mengutamakan logika daripada rasa. Ini yang menjadi masalah," kata Koentjoro. 

Berita Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 22 September 2024

  • 15 September 2024

  • 8 September 2024

  • 1 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan