Pembiayaan Campuran Demi Masa Depan Berkelanjutan
Peluang nyata untuk beralih ke masa depan net-zero yang berkelanjutan. #Infotempo
Upaya menciptakan masa depan yang berkelanjutan bukanlah perkara gampang. Dunia harus memobilisasi triliunan dolar untuk mewujudkan cita-cita besar tersebut.
Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia, Francois de Maricourt, mengatakan, salah satu strategi yang paling menjanjikan adalah menggunakan pembiayaan campuran (blended finance), yakni menggabungkan investasi publik dan swasta. "Namun, cara ini ternyata belum mampu menarik dana sesuai skala yang dibutuhkan," kata dia.
Sebab, dalam skema pembiayaan campuran, pemerintah atau lembaga pemberi pinjaman multilateral menanggung sebagian besar risiko terkait proyek berkelanjutan. Menurut Francois, caranya dengan menurunkan biaya pinjaman komersial dan memilah antara proyek hijau (green project) yang potensial dan yang tidak.
"Risiko investasi pun bisa diantisipasi, dari pembangunan infrastruktur berkelanjutan, produksi hijau, hingga transisi rendah karbon. Dengan begitu, pihak swasta dapat lebih mudah diajak berkontribusi," ujarnya.
Bank Dunia memperkirakan skema pembiayaan campuran menghasilkan rata-rata US$9 miliar per tahun dalam pendanaan baru untuk proyek-proyek berkelanjutan. "Hal ini cukup baik, tetapi masih jauh di bawah perkiraan US$125 triliun yang diperkirakan akan dibutuhkan dunia untuk mencapai net zero pada 2050," kata Francois.
Padahal, dia melanjutkan, tahun lalu perusahaan keuangan menjanjikan US$130 triliun untuk transisi iklim di Glasgow Financial Alliance for Net Zero. Faktor risiko bagi sektor swasta juga sudah diantisipasi. "Jadi, jelas masalah utamanya bukan karena kekurangan uang".
Francois menjelaskan, pada dasarnya problem dalam pembiayaan campuran saling terkait, yakni kurangnya proyek, kurangnya kejelasan tentang produk hijau, kurangnya imajinasi, dan kurangnya kapasitas kelembagaan yang menghubungkan proyek dan investor. "Jadi, investor yang mencoba membangun portofolio hijau sebenarnya hanya butuh kepastian apakah aset yang mereka beli adalah bagian dari solusi perubahan iklim, bukan bagian dari masalah," ujarnya.
Namun sayangnya, tidak ada definisi pasti tentang seperti apa aset hijau itu. Semua memiliki versinya masing-masing. "Karena itu, kita semua perlu menetapkan standar yang transparan dan diterima secara luas atau dalam istilah industri disebut sebagai taksonomi. Ini akan menjadi panduan yang jelas bagi perancang proyek tentang apa yang boleh dan tidak boleh diterima dalam proyek hijau," kata dia.
Selain itu, Francois melanjutkan, taksonomi juga dapat membuat investor lebih yakin mengenai aset hijau yang mereka klaim. "Taksonomi yang jelas membuat investor mampu mengukur risiko dalam portofolio mereka dengan cara yang sama seperti yang digunakan peringkat obligasi".
Berdasarkan sebuah survei, para investor ritel sebenarnya bersedia menerima imbal hasil yang lebih rendah atas investasi berkelanjutan. Namun, ada kekhawatiran jangan-jangan mereka cuma dijadikan korban greenwashing (strategi pencitraan yang seolah-olah ramah lingkungan).
Sebenarnya, sudah ada kemajuan dalam menciptakan taksonomi tersebut. Uni Eropa sudah menerbitkan taksonomi sendiri. "Selain itu, kami di HSBC juga telah bergabung dengan IFC, Inisiatif Kebijakan Iklim (Climate Policy Initiative), OECD, dan pihak lain untuk menghasilkan FAST-Infra, sebuah kerangka kerja untuk mengubah pembiayaan infrastruktur berkelanjutan menjadi kelas aset likuid yang umum," ujar Francois.
Menurutnya, sebagian besar proyek pembiayaan campuran menggunakan pembiayaan subordinasi, struktur ekuitas, dan asuransi atau bantuan teknis untuk mengurangi risiko pemberi pinjaman komersial. Mulai ada surat berharga dengan kupon yang terkait dengan produk ramah lingkungan.
Namun, secara umum, jenis inovasi dalam teknologi hijau belum diimbangi dengan inovasi dalam pembiayaan hijau. "Kami senantiasa bekerja untuk memperdalam pasar modal di negara-negara seperti Indonesia untuk mempermudah akses keuangan secara lokal," ujarnya.
Tujuannya, Francois mengatakan, menarik investor internasional ke pasar domestik, bukan membawa proyek Indonesia ke New York, London, atau Hong Kong. Ini membuktikan komitmen bank internasional seperti HSBC dalam mendorong solusi pembiayaan hijau pada skala industri.
Berbagai data menunjukkan bahwa pertempuran melawan perubahan iklim sangat bergantung pada apa yang terjadi di Asia. Enam dari 10 penghasil karbon dioksida terbesar di dunia ada di Asia, demikian pula lebih dari separuh negra paling rentan di dunia.
Pembiayaan campuran menawarkan peluang nyata untuk memobilisasi triliunan dolar yang sangat dibutuhkan Asia untuk beralih ke masa depan net-zero yang berkelanjutan. "Namun jika ingin mewujudkan pembiayaan yang optimal, kita perlu merampingkan prosesnya dan membuatnya lebih transparan," kata Francois.